KHILAFAH YANG TAK DIHARAPKAN? (Bagian 2)



Oleh : Mln. Yusuf Awwab

Semua umat Islam menerima kisah yang diriwayatkan Imam Bukhari tersebut. Beberapa sejarahwan baik dari kalangan Sunni maupun Syiah menulis kisah yang hampir sama, bahwa memang benar setelah kewafatan Rasulullah SAW ada pertemuan atau musyawarah antara kaum Anshar dan Muhajirin di Saqifah bani Saidah[1].

Hanya pertanyaannya kapan pertemuan atau musyawarah tersebut terjadi, apakah di hari kewafatan Rasulullah SAW, atau satu hari setelah kewafatan beliau SAW atau beberapa hari setelah wafatnya beliau. Sebagaimana Imam Bukhari, Imam Ath-Thabari dalam Tarikhnya pun tidak menjelaskan dengan pasti jarak peristiwa tersebut dengan kewafatan Rasulullah SAW. Namun para penulis sejarah yang datang kemudian mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi selang satu hari setelah wafatnya Nabi SAW. Meski kesimpulan mereka masih bisa diperdebatkan.
Imam Ath-Thabari dalam kitabnya menjelaskan bahwa pertemuan tersebut merupakan inisiatif dari kelompok Anshar yang terdiri dari dua suku ternama Aus dan Khazraj. Mereka bermusyawarah guna memikirkan nasib umat Islam sepeninggalan Rasulullah SAW. Apakah kembali kepada kesukuan atau tetap dalam keumatan. Oleh karena itu muncul perdebatan dikalangan Anshar sendiri.

Kaum Anshar dari suku Khazraj sepakat menjadikan Sa’ad bin Ubadah sebagai pemimpin. Namun, kaum Anshar dari suku Aus keberatan dengan hal itu, mereka tetap menginginkan Islam dalam keumatan dan mendesak agar kaum Muhajirin pun dilibatkan dalam musyawarah tersebut.[2]
Jadi salah jika bung Satria menulis bahwa semua kaum Anshar pro kepada Said bin ‘Ubada. Karena kenyataannya tidak demikian. Bahkan, kaum Anshar dari kalangan Khazraj sendiri, Uwaim ibn Saidah lebih condong kepada para Muhajirin. Artinya di antara kaum Anshar Khazraj pun belum sepakat atas penunjukan Sa’ad bin Ubadah.[3]
Lalu di mana para sahabat terkemuka[4] saat musyawarah tersebut terjadi. Imam Ath-Thabari mengisahkan bahwa saat itu beberapa sahabat terkemuka masih berada di kediaman Rasulullah SAW. Umar bin Khattab yang mendengar pertemuan tersebut segera menyampaikannya kepada Abu Bakar.

Awalnya Abu Bakar menolak untuk pergi, namun Umar meyakinkannya. Saat di tengah perjalanan mereka berjumpa dengan Abu Ubadah bin Al-Jarrah. Kemudian ketiganya pergi ke pertemuan tersebut. 
Sesampainya di Saqifah, musyawarah dihiasi dengan banyak sekali interupsi. Sebagian kaum Anshar Khazraj tetap menghendaki agar umat Islam kembali kepada kesukuan. Jadi, masing-masing kaum baik Anshar maupun Muhajirin memiliki pemimpinannya masing-masing. Namun, hal tersebut ditentang oleh kaum Anshar Aus dan kaum Muhajirin yang tetap menghendaki keumatan
Di tengah situasi seperti itu, sahabat Anshar, Basyir bin Sa’ad yang juga merupakan pemimpin bagi suku Khazraj berdiri sambil berkata:

Wahai orang-orang Anshar, demi Allah sesungguhnya kita paling utama dalam memerangi kaum musyrik dan membela agama ini, kita tidak menghendakinya kecuali atas ridha Allah dan ketaatan kita kepada nabi kita, maka tidaklah tepat kita memperpanjang masalah ini. Ingatlah bahwa Muhammad  SAW itu dari Quraisy, karena itu kaumnya lebih berhak dan utama atas masalah ini. Bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu saling berselisih dan bertentangan dengan merekayaitu kaum Muhajirin”.[5]
Musyawarah pun berakhir dengan ditetapkannya Abu Bakar sebagai pemimpin bagi kedua belah pihak yaitu kaum Muslim Anshar dan Muslim Muhajirin. Hal ini menyelamatkan umat Islam terjerumus kembali kepada kesukuan. Hari itu juga umat Islam yang bermusyawarah di Saqifah berbaiat kepada Abu Bakar. Ketika Seseorang memanggil Abu Bakar dengan sebutan Khalifatullah, ia menolaknya dengan mengatakan Aku bukan Khalīfatullāh akan tetapi aku Khalīfatu Rasūlillāh.[6]
Para Sejahrawan Islam menyebut baiat tersebut sebagai Bai’at Saqifah, namun ada juga yang menyebutnya sebagai Bai’at Khahsshah yaitu Bai’at terbatas yang dilakukan oleh orang-orang khusus, golongan elit shahabat. Sedangkan, bai’at kedua yang lebih luas berlangsung esok harinya di Masjid Nabi yang disebut Bai’at Ammah, yaitu bai’at yang dilakukan oleh seluruh umat Islam. 
Jadi, keliru sekali jika bung Satria beranggapan bahwa Umat Islam bertikai hanya untuk memperebutkan pucuk pemimpin pasca kewafatan Rasulullah SAW. Perlu bung Satria pahami bahwa musyawarah tersebut awalnya hanya membahas bahwa apakah keumatan ini lenyap seiring kewafatannya Rasulullah SAW.

Jika memang keumatan itu hilang maka kaum Anshar harus menyiapkan pemimpin untuk kelompoknya atau sukunya sendiri. Namun ternyata tidak semua kaum Anshar menerima ide tersebut. Oleh karena itu, untuk memastikan apakah keumatan ini berakhir atau tidak kaum Anshar dari suku Aus meminta agar kaum Muhajirin pun dilibatkan dalam diskusi tersebut. 
Oleh karena itu amat terlalu berlebihan jika menggunakan kata “bertikai” untuk menggambarkan situasi umat islam pasca kewafatan Nabi SAW. Sebab, kata tersebut seakan-akan menggambarkan adanya keributan, kerusuhan dan pertempuran antara kedua kelompok Islam. Padahal hal tersebut sebatas musyawarah yang sudah pasti di dalamnya ada silang argument dan pendapat. 
Lalu bagaimana dengan Ali bin Abi Thalib yang menurut bung Satria menolak kepemimpinannya Abu Bakar dan menutup diri dari kehidupan publik. Dan, baru mau berbaiat setelah enam bulan lamanya. Mari kita simak kisah yang disampaikan Imam Bukhari tentang peristiwa mengapa Ali bin Abi Thalib tidak langsung baiat saat itu juga dan harus menunggu enam bulan baru baiat. Imam Bukhari meriwayatkan:

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari ‘Uqaildari Ibnu Syihabdari ‘Urwahdari Aisyah bahwasanya Fatimah binti Nabi SAW mengutus utusan kepada Abu Bakar meminta WARISAN Rasulullah SAW dari harta fa’i yang Allah berikan kepada beliau di Madinah dan Fadak, serta sisa seperlima ghanimah Khaibar. 

Maka Abu Bakar berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Kami tidak diwarisi, segala yang kami tinggalkan hanya sebagai shadaqah. Hanya saja keluarga Muhammad SAW makan dari harta ini”. Dan, demi Allah, aku tidak akan merubah sedikitpun shadaqah Rasulullah SAW dari keadaannya semula sebagaimana harta itu dikelolah semasa Rasulullah SAW, dan aku akan mengelolahnya sebagaimana Rasulullah mengelolahnya.

Maka Abu Bakar enggan menyerahkan sedikitpun kepada Fatimah, sehingga Fatimah pun jengkel kepada Abu Bakar. Lalu Fatimah menjauhi Abu Bakar dan tidak pernah mengajaknya bicara hingga meninggal. Ia pun hidup selama enam bulan dari sejak kewafatannya Rasulullah SAW. 

Ketika Fatimah wafat, Ali memakamkan dan menshalatinya di malam hari. Dan Ali sama sekali tidak mengabarkan tentang kewafatan Fatimah kepada Abu Bakar. Semasa Fatimah hidup, Ali dituakan oleh masyarakat, namun saat Fatimah wafat, Ali menolak penghormatan orang-orang kepadanya, dan ia cenderung berdamai dengan Abu Bakar dan berbaiat kepadanya, karena selama bulan-bulan tersebut (enam bulan lamanya) ia belum berbaiat. 

Lalu Ali mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada Abu Bakar yang isinya: “Tolong datanglah menemui kami dan mohon jangan ada orang lain bersama Anda.”Ali menyampaikan pesan demikian karena khawatir Umar turut serta menemani Abu Bakar.

Lalu Umar pun berkata: Demi Allah, Anda jangan datang ke sana sendirian. Abu Bakar menjawab: Kalian kan belum tahu apa yang akan dilakukan mereka terhadapku? Jadi, demi Allah, biar aku sendiri saja yang menemui mereka. 

Abu Bakar pun menemui mereka. Lalu, Ali mengucapkan syahadat, dan berkata:

“Sungguh kami mengetahui keutamaan Anda, dan juga karunia yang telah dianugerahi Allah kepada Anda. Kami sama sekali tidak iri atas karunia Allah Ta’ala tersebut. Namun Anda sangat kukuh atas keputusan Anda, padahal kami berpandangan bahwa kami ini keluarga dekat Rasulullah SAW dan selayaknya memperoleh bagian tersebut.” 

Mendengar hal tersebut Abu Bakar pun menangis, lalu berkata:

Demi Dzat yang jiwaku ada digenggaman-Nya. Sungguh aku lebih mencintai keluarga Rasulullah dibandingkan keluargaku sendiri. Adapun, perbedaan paham antara aku dan kalian semua atas harta tersebut adalah bahwa aku ingin sebisa mungkin dapat berbuat baik. 

Tidaklah aku meninggalkan sebuah perkara yang mana aku melihat hal tersebut dilakukan Rasulullah SAW, melainkan aku pun melakukannya. Kemudian Ali berkata kepada Abu Bakar: Aku akan baiat kepada Anda sore ini

Seusai shalat Zhuhur, Abu Bakar naik ke atas mimbar. Lalu, mengucapkan syahadat dan menjelaskan alasan mengapa Ali terlambat mengambil baiat.

Setelah itu, Ali mengucapkan Istigfar, Syahadat serta menyanjung keutamaan Abu Bakar, lalu menyampaikan bahwa apa yang dilakukannya selama ini sama sekali bukan karena iri terhadap Abu Bakar, bukan juga menolak karunia yang diberikan Allah kepada Abu Bakar, hanya saja kami berpendapat bahwa kami seharusnya layak mendapatkan bagian (warisan) tersebut. 

Namun, Abu Bakar bersikeras terhadap keputusannya. Inilah yang membuat kami jengkel terhadapnya. Maka umat Islam pun bergembira atas pernyataan Ali tersebut, lalu berkata, Anda benar. Dan umat Islam dekat kembali dengan Ali setelah ia menyelesaikan perkaranya dengan baik. [HR.Bukhari no. 4240-4241].
Sepertinya kisah yang diriwayatkan Imam Bukhari ini cukup jelas. Dan, sangat terang benderang untuk mengetahui alasan mengapa Ali bin Abi Thalib ra sampai terlambat untuk mengambil baiat kepada Abu Bakar. Jadi, jika bung Satria mengatakan bahwa Ali menolak dan tidak mengakui Abu Bakar sebagai Khalifah maka perlu diteliti kembali sumbernya darimana.
bersambung


Kudus, 15 Agustus 2019
Yusuf Awwab
Mubda Jateng 5


[1]Saqifah Bani Saidahadalah sebuah balai pertemuandi Madinah, seperti Darul Nadwahyang merupakan balai pertemuan bagi orang Quraisy di Mekah. Maka Saqifah Bani Saidahmerupakan balai pertemuan bagi suku Aus dan Khazraj di Madinah. Meski kedua suku tersebut sudah masuk Islam dan berganti nama menjadi kaum Anshar, namun mereka masih tetap melaksanakan kebiasaan tersebut yaitu berkumpul di balai itu untuk memusyawarahkan masalah-masalah umum yang menyangkut kota Madinah. (Lihat Muhammad Dhiya’ al-Rayis, Al-Nazariyat al-Siyasat al-Islamiyyat, Maktabah al-Anjlu, Mesir, 1957, hlm. 25.)
[2]Lihat Al-Thabari, kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Jilid IV/38) cetakan tahun 1987
[3]Lihat Syarah Ibn Hisyamyang diterjemahkan Samson Rahman (2012)
[4]Sahabat terkemuka disini adalah 10 orang yang dijamin masuk syurga yaitu Abu BakarUmarUtsmanAliTalhahZubair bin AwwamAbdurrahman bin AufSa’ad bin Abi WaqasSa’id bin Zaid, & Abu Ubadah bin Jarrah.
[5]Lihat Al-Thabari, kitab Tarikh al-Umam wa al-Muluk, (Jilid IV/40) cetakan tahun 1987
[6]Lihat Muṣannaf Ibni Abī SyaibahKitāb al-MaghāzīMā Jā’a fī Khilāfat Abī Bakr, no. 36351.

Post a Comment

0 Comments