KHILAFAH YANG TAK DIHARAPKAN? (Bagian 1)



Oleh: Mln. Yusuf Awwab
Menanggapi tulisan Bung Satriadharmadi situsnya www.satriadharma.com
“..SEBEGITU TOLOLNYAKAH KITA…?! (BAGIAN 2)…”
Bung Satria begitu menentang berdirinya Khilafat di Indonesia. Tulisannya di blog dan FB pribadinya amat sarkatis “SEBEGITU TOLOLNYAKAH KITA…?! (BAGIAN 2)” seakan menggambarkan penolakan bung satria yang meluap-luap terhadap kelompok-kelompok pengusung Konsep Khilafah seperti HTI dan Sejawatnya.
Secara pribadi saya sepakat dengan Bung Satria yaitu menentang konsep Khilafah yang dipropagandakan HTI dan sejawatnya. Namun, ada beberapa poin yang coba saya luruskan tentang Khilafah atau Kekhalifahan menurut bung Satria. Jadi mengatakan Khilafah bukan keharusan dalam Islam adalah sebuah kekeliruan, karena bagaimanapun Khilafah bagi umat Islam sangat diperlukan.

Al-Quran sendiri menyinggung tentang Khilafah (24:55) begitupun Nabi saw mengabarkan bahwa akan berdiri Khilafah atau Kekhalifahan sepeninggalan beliau.
Dalam tulisannya bung Satria menulis: 
“Mari saya tunjukkan lagi betapa ngawurnya argumentasi tentang perlunya sebuah negara berbasis khilafah. 
PERTAMA, Anda harus tahu bahwa Nabi Muhammad sama sekali TIDAK PERNAH meminta atau menyuruh siapa pun sahabatnya untuk mendirikan negara sesudah wafatnya beliau. TIDAK ADA satu pun sahabatnya yang MENDAPAT MANDAT untuk mendirikan kekhalifahan atau meneruskan kepemimpinan beliau. Khalifah Abu Bakar yang menjadi Khalifah pertama yang menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad BUKANLAH MENDAPAT MANDAT dari Rasulullah sendiri. (https://satriadharma.com)
Saya setuju bahwa Muhammad SAW tidak pernah meminta umatnya untuk mendirikan Negara dan juga tidak secara mutlak menyuruh para sahabat beliau untuk membangun Kekhalifahan. Karena urusan menegakan kekhalifahan bukanlah tanggung jawab beliau.

Tugas beliau sebagai seorang utusan selesai tatkala Allah Ta’ala berbicara kepada beliau SAW di padang Arafah tepatnya hari Jum’at saat perayaan haji akbar. Dia berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu. [QS. Al-Maidah: 3]
Abu Bakar, Umar dan para sahabat lainnya menangis tatkala Nabi SAW menyampaikan wahyu tersebut. Mereka mengerti bahwa tugas Nabi SAW sebagai pesuruh Allah telah selesai. Dan kebersamaan mereka dengan Nabi SAW akan segera berakhir.

Sebenarnya muncul kekhawatiran besar dalam benak para sahabat tentang nasib keberlangsungan agama Islam sepeninggalan Nabi Muhammad saw. Hal ini tersirat dari perkataan Umar bin Khattab ra saat wahyu terakhir tersebut disampaikan, ia berkata  bahwa sesuatu yang sempurna pasti akan berkurang karena tidak ada sesuatu pun yang sempurna[1].
Umar bin Khattab ra merasa bahwa agama Islam ini sempurna karena adanya Muhammad SAW. Agama ini hidup dan memiliki ruh karena adanya Muhammad SAW. Oleh karena itu ia khawatir agama ini akan mati seiring kepergian beliau SAW. Sedangkan, Nabi SAW tidak menunjuk seorang pengganti  pun untuk melanjutkan tugas beliau. Karena, memang sebagai pesuruh Tuhan bukanlah wewenang beliau untuk menunjuk siapa yang akan menggantikan dan meneruskan misi beliau.

Hak dan kewenangan tersebut ada di tangan Dzat yang menyuruh beliau yaitu Allah Ta’ala. Dia lah Sang Pemilik Agama Islam sebenarnya. Al-Quran mengatakan bahwa Islam adalah agama milik Allah (3:19); dan Mereka akan rugi jika tidak memilih Islam sebagai agama mereka (3:85).
Jadi jika bung Satria mengatakan bahwa Nabi SAW tidak pernah memberikan mandat kepada para sahabatnya untuk menjadi Khalifah maka hal tersebut benar, sebab kewenangan menentukan Khalifah ada di tangan Allah Ta’ala (24:55).
Kemudian bung Satria menulis:
…. Begitu mendengar Rasulullah wafat umat Islam langsung terbelah. Ada dua kelompok yang langsung bertikai soal siapa yang harus berkuasa ini, yaitu kelompok Anshar dan Muhajirin. Masing-masing menganggap kelompok merekalah yang paling berhak untuk MEWARISI kepemimpinan yang ditinggalkan oleh Rasulullah meski pun tidak mendapat mandat. Golongan Anshar menggabungkan diri kepada Said b. ‘Ubada; pihak Muhajirin, menggabungkan diri kepada Abu Bakr. Sementara Ali b. Abi TalibZubair ibn al-Awwamdan Talha b. ‘UbaidillahTIDAK IKUTdalam kedua kelompok tersebut dan masuk ke rumah Fatimah, di mana jenazah Nabi beradaAli r.a. baru berbaiat setelah Fatimah istrinya, yang juga anak kesayangan Nabi, meninggal berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupanpublik(https://satriadharma.com)
Benarkah umat Islam bertikai saat hari kewafatan Nabi SAW. Separah itu kah kondisi umat Islam sehingga mereka bertengkar untuk memperebutkan pucuk pimpinan Islam di saat jenazah Nabi SAW masih terbaring. Dimana letak penghormatan mereka terhadap junjungan suci mereka, sehingga mereka lebih memilih bertikai demi kekuasaan daripada berduka atas kewafatan Rasulullah SAW. 

Mari kita simak penuturan Anas bin Malik ra tentang situasi tersebut. Ia berkata bahwa: Di hari ketika Nabi SAW wafat, semuanya berubah menjadi gelap, dan ketika kami berada di kuburannya untuk menghilangkan (debu dan kotoran yang ada di atasnya) dengan tangan-tangan kami, seolah-olah hati kami mengingkari (wafatnya Rasulullah).” (Sunan At-Tirmidzi, no. 3551)
Kondisi umat Islam pasca wafatnya Nabi SAW bisa tergambarkan dari penuturan Anas bin Malik tersebut. Hampir semua umat Islam berduka atas kewafatan Rasulullah SAW, bahkan Umar bin Khattab menghunuskan pedang menentang setiap orang yang mengatakan Nabi SAW wafat.[2]

Kejadian tersebutmengharuskan Abu Bakar ra turun tangan menenangkan Umar bin Khattab serta meyakinkan umat Islam akan kewafatan Rasulullah SAW.[3] Hari itu semua umat Islam berduka, mereka seperti tidak menerima kenyataan jika Nabi SAW sudah wafat.
Adapun pandangan bung Satria tentang dua kelompok Islam, Muhajirin dan Anshar yang bertikai memperebutkan kekuasaan sepeninggalan Nabi SAW agaknya terpengaruh serta terjebak pada tulisan dari kelompok sejarahwan tertentu.
Nampak sekali bahwa sirah atau sejarah yang dikutip bung Satria banyak bersumber dari para sejarahwan Syiah, khususnya kelompok Rafidhah. Saya secara pribadi tidak ada masalah dengan Syiah. Tapi dalam hal ini ada baiknya merujuk kepada sejarahwan yang bisa diterima kedua belah pihak baik Syiah maupun Sunni, meski tidak mudah. Oleh karena itu, saya akan mencoba mengutip riwayat Imam Bukhari, seorang ulama yang integritasnya diakui semua kalangan. Dalam riwayatnya dikisahkan sebagai berikut:
“Dari Aisyah ra, Istri Nabi SAW menuturkan bahwa tidak lama setelah Rasulullah SAW wafat orang-orang Anshar berkumpul menghadap Sa’ad bin Ubadah di Saqifah bani Sa’idah seraya berkata, “Kami akan mengangkat pemimpin kami, dan silahkan kalian mengangkat pemimpin kalian.”

Maka Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Abu ‘Ubaidah bin Jarrah mendatangi mereka. Lalu Umar hendak berbicara namun Abu Bakar memintanya diam. 

Umar bercerita, “Demi Allah, aku ingin berbicara karena sudah menyiapkan pernyataan yang bagus, dan aku khawatir apa yang disampaikan Abu Bakar tidak seperti pernyataan yang telah aku persiapkan.” 

Namun ternyata Abu Bakar berbicara amat lugas. Diantara isi pernyataannya tersebut adalah, “Kami yang menjadi para pemimpin dan kalian menjadi para penasihatnya.”

 Al-Hubab bin Mundzir ra menyela, “Demi Allah, kami tidak setuju. Kami akan mengangkat pemimpin kami dan kalian angkatlah pemimpin diantara kalian sendiri.” 

Abu Bakar menanggapinya, “Tidak lah demikian, kami yang menjadi pemipin dan kalian menjadi penasihat. Karena mereka orang-orang Quraisy adalah orang-orang Arab yang paling mulia kedudukannya. Juga suku Arab yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, berbaiat lah kepada Umar atau Abu Ubaidah ini!” 

Mendengar hal itu Umar pun berkata kepada Abu Bakar, “Tidak, kami lah yang akan baiat kepada engkau. Engkaulah pemimpin kami, orang yang terbaik di antara kami, dan orang yang paling dicintai Rasulullah SAW di antara kami.” 

Kemudian Umar memegang tangan Abu Bakar dan berbaiat kepadanya. Tiba-tiba, seseorang berseru, kalian (hampir saja) membunuh Sa’ad bin Ubadah. Umar menghiraukannya dan berkata, semoga Allah membalas perbuatannya.[4]
Semua umat Islam menerima kisah yang diriwayatkan Imam Bukhari tersebut. Beberapa sejarahwan baik dari kalangan Sunni maupun Syiah menulis kisah yang hampir sama bahwa memang benar setelah kewafatan Rasulullah SAW ada pertemuan atau musyawarah antara kaum Anshar dan Muhajirin di Saqifah bani Saidah[5]Hanya pertanyaannya kapan pertemuan atau musyawarah tersebut terjadi, apakah di hari kewafatan Rasulullah SAW, atau satu hari setelah kewafatan beliau SAW atau beberapa hari setelah wafatnya beliau. 

Sebagaimana Imam Bukhari, Imam Ath-Thabari dalam Tarikhnya pun tidak menjelaskan dengan pasti jarak peristiwa tersebut dengan kewafatan Rasulullah SAW. Namun para penulis sejarah yang datang kemudian mengatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi selang satu hari setelah wafatnya Nabi SAW. Meski kesimpulan mereka masih bisa diperdebatkan. (...Bersambung)


[1]Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/15-16), cet I, Maktabah Daarus Salam th. 1413 H.
[2]Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, (8/146); & HR. Ahmad dalam al-Fath ar-Rabbani(21/241-242)
[3]Lihat Sahih Bukhari nomor hadits 1165, serta dalam Fathul Bari,( 8/150 No. 4463)
[4]Lihat Sahih Bukhari, kitabFadhaa-ilush Shahaabah(3667-3668); serta dalam Fathul Bari,( 7/384)
[5]Saqifah Bani Saidahadalah sebuah balai pertemuandi Madinah, seperti Darul Nadwahyang merupakan balai pertemuan bagi orang Quraisy di Mekah. Maka Saqifah Bani Saidahmerupakan balai pertemuan bagi suku Aus dan Khazraj di Madinah. Meski kedua suku tersebut sudah masuk Islam dan berganti nama menjadi kaum Anshar, namun mereka masih tetap melaksanakan kebiasaan tersebut yaitu berkumpul di balai itu untuk memusyawarahkan masalah-masalah umum yang menyangkut kota Madinah. (Lihat Muhammad Dhiya’ al-Rayis, Al-Nazariyat al-Siyasat al-Islamiyyat, Maktabah al-Anjlu, Mesir, 1957, hlm. 25.)

Post a Comment

0 Comments