TAKDIR SERING MENJADI UJIAN BAGI MANUSIA

Oleh: Mln. Anom Tulus Manembah (Muballigh Sintang)

Namun siapa yang tahu tentang takdir Sang Ghaib?

Hidup tak pernah sesuai dengan keinginan-keinginan.

(Mirza Ghulam Ahmad as., Malfuzat, jld. I, hlm. 152)

Takdir dalam bahasa Indonesia berarti: ketetapan Tuhan; ketentuan Tuhan; nasib. Kata takdir sendiri berasal dari bahasa Arab قدر, qodar jika dikatikan dengan hukum syariat berarti adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi karena pilihan makhluk itu sendiri, yang akan dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di Mahsyar kelak.

Dalam perkembangannya bahasan takdir dipahami melalui tiga cara: pertama bahwa takdir mutlak bergantung kepada Allah tanpa perlu adanya usaha. Kedua, takdir mutlak bergantung dari hasil usaha seseorang. Dan, cara ketiga inilah yang paling sesuai yaitu Al-Quranul Karim telah memerintahkan kita menggunakan kedua cara itu.

Jika kita memperhatikan penjelasan Al-Quran maka kita dapati bahwa pertama, ada takdir yang tidak dapat diubah bahkan tidak boleh diubah tanpa alasan yang dibenarkan misalkan takdir akan bentuk fisik manusia hanya demi kecantikan semata ingin mengubah bentukanya atau manusia tidak akan bisa merubah takdir beredarnya matahari pada tempat peredarannya (QS 36/Yaasiin: 38).

Kedua, ada takdir yang bisa dirubah dengan usaha dan berdoa namun itu pun sesuai dengan keputusan Allah Ta'ala yang Maha Mengetahui mana yang terbaik bagi orang yang bedoa kepada-Nya, Allah berfirman :

menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri” (QS 12/Yusuf: 67).

Dan takdir apapun di dunia ini tidak akan bisa diubah tanpa seizin dari Allah, sekuat apapun manusia ingin terlepas atau ingin memiliki sesuatu maka harus sesuai dengan izin Allah, sesuai dengan firman-Nya:

“Maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah” (QS 12/Yusuf: 68).

Takdir sebenarnya perpaduan antara kekuasaan Allah dengan ikhtiar dari manusia. Dengan begitu terjalinlah hubungan antara Tuhan dan manusia, seperti penjelasan dari Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.:

“Hal yang sama berlaku dalam hubungan Tuhan dan manusia. Suatu saat Tuhan mendengarkan apa yang dikatakan manusia dan memberkatinya dengan rahmat-Nya, sedangkan lain waktu manusia menerima dengan sabar apa pun  takdir  Tuhan atas dirinya” (Malfuzāt, jld I, hlm. 311).

Pemahaman inilah yang seharusnya kita kembangkan, seringkali manusia bersifat egois atau terkesan memaksakan kehendaknya kepada Tuhan yaitu setiap usaha dan doanya harus dikabulkan sesuai keinginannya, manusia seakan-akan meletakan posisi Tuhan seperti seorang bawahan, tentu tanpa disadari oleh manusia kebanyakan.

Bagaimana sebuah hubungan akan berjalan langgeng jika salah satu dari antaranya tidak mau menerima keinginan yang lainnya.

Persahabatan antara dua orang kawan dapat terjalin dalam bentuk di mana kadang-kadang yang satu menuruti  kawannya, dan kadang-kadang kawannya yang menuruti dia. Jika satu orang  selalu hanya ingin kemauannya sendiri saja yang harus dituruti, maka hubungan itu pun menjadi hancur. Demikian pula hendaknya hubungan antara Allah Ta’ala dengan hamba-Nya. Kadang-kadang Allah Ta’ala mendengarkan si hamba, dan kadang-kadang si hamba  yang menuruti keputusan serta takdir-Nya” (Malfuzat, jld. I, hlm. 324-325).

Manusia diberikan kemampuan (izin) untuk memilih takdirnya sendiri, bukan berarti Allah ingin supaya manusia menjadi pembangkang tetapi Allah sudah menyampaikan aturannya dan memberi izin untuk memilih jika yang dipilih adalah yang melanggar maka Allah sudah beritahukan ada ganjaran.

Seperti yang dijelaskan dalam QS 18/Al-Kahfi: 30, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhan mu maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.

Takdir itu adalah pilihan kita dan Allah yang menetapkannya. Kita harus ingat takdir itu memiliki dua pilihan yaitu baik dan buruk, ambillah yang baik dan tinggalkan yang buruk, lawanlah setiap keburukan dengan kebaikan, inilah cara memilih takdir yang baik.

Terkadang masalah manusia adalah memanjangkan keingintahuan terkait takdir, manusia merasa penting untuk mengetahui takdirnya. Padahal hal ini tidak ada perintahnya bahkan dilarang karena menyebabkan manusia sering berandai-andai, ‘seandainya saya melakukan ini pasti hasilnya tidak akan buruk.

Sebagai manusia kita sering memikirkan bagaimana cara mendapatkan takdir yang baik dan terhindar dari takdir yang buruk. Dalam hal ini terdapat nasehat dari Hadhrat Rasulullah s.a.w., “Capailah dengan sungguh-sungguh apa yang berguna bagi mu. Mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi orang yang lemah” (HR. Bukhari 4816).

Takdir sering menjadi ujian keimanan dan sering manusia kecewa karenanya, ini 100% dikarenakan manusia memaksakan apa yang diinginkan harus terwujud. Nasehat terbaik telah dikemukakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s.:

“Jika aku tidak menemukan tanda-tanda izin Ilahi maka aku menaruh harapan kecil terhadap pengabulan doa, dan aku lebih bahagia lagi dengan menerima yang telah ditakdirkan oleh Allah sebab faedah dan berkatnya lebih besar jika kita menerima takdir sesuai keputusan-Nya” (Malfuzhat, Jld. 1, Hlm. .118).

Ada ungkapan sederhana yang cukup memberikan kesan mendalam yaitu apapun takdir yang sedang kita jalani baik susah maupun senang yang terpenting adalah Allah Yang Maha Mengasihi tetap mengetahui kondisi kita. Allah Ahkamul Hakimin, Allahu A’lam. Ikutilah keputusan dari Allah.

Post a Comment

0 Comments