Dosa dan Keselamatan

Oleh: Mln. Neki Firdaus, Mbsy.

Definisi dosa menurut istilah adalah segala sesuatu yang membuat hati menjadi tidak tenteram (Riyadush Sholihin). Sedang pengertian menurut bahasa, dosa berasal dari kata junaahun yang berarti condong kepada sesuatu hal secara sengaja. Jadi, dosa itu artinya adalah secara sengaja condong kepada keburukan [Malfuzhat, Add. Nazir Isyaat, London, 1984, Jld. III, h. 10].

Kata junaahun bukan satu-satunya istilah yang digunakan al-Quran untuk pengertian dosa. Istilah lain yang digunakan di antaranya: itsmun, dzanbun, sayyiaatun, haroomun, khotiiatun, ma’shiyatun, harojun dan wizrun [Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta 13 Januari 1972].

Setiap istilah atau kata dalam pengertian dosa di atas memiliki perbedaan makna dan kekhususan tersendiri sesuai dengan hikmah yang Allah Ta’ala letakkan di dalamnya. Sebagai contoh: Kata khathi’ah (kesalahan) dan itsm (dosa) yang disebut berdampingan [4:113] ialah yang pertama bisa jadi dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja dan acapkali terbatas pada si pelaku sendiri saja; sedangkan yang kedua dilakukan sengaja dan ruang lingkupnya dapat meluas kepada orang-orang lain juga. Tambahan pula, yang kedua menunjukkan pengabaian kewajiban terhadap Allah s.w.t. maupun terhadap manusia, dan karenanya lebih parah dan layak menerima hukuman lebih besar daripada yang petama. Lihat juga QS 2:82 dan 2:174.

Suatu kesalahan atau dosa akan berlipatganda beratnya apabila si pelakunya berusaha melimpahkan kesalahannya itu kepada orang yang tidak bersalah. Itulah sebabnya tindakan semacam itu telah dinamai bukan saja sebagai buhtan (fitnah) tetapi juga sebagai itsm mubin (dosa yang nyata) [Al-Quran Terjemah dan Tafsir Singkat, hal. 382-383].

Dalam sebuah buku Kristen dituliskan definisi dosa yakni suatu perkara yang bertentangan dengan akal atau pun syari’at. Terkait hal tersebut Al-Quran menyatakan:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

Dan mereka berkata, “Seandainya kami mendengarkan atau mempergunakan akal, niscaya kami tidak akan termasuk di antara penghuni Api yang menyala-nyala [Al-Mulk/67:11].

Jadi, dalam hal ini tidak ada perbedaan yang berarti terkait definisi dosa baik dari kalangan Kristen maupun Islam.

Namun demikian, ketika dosa dikaitkan dengan keselamatan, dalam dunia Kristen penyaliban Yesus dipahami sebagai suatu kemartiran. Yakni Yesus mati untuk menebus dosa-dosa umat manusia [For a Recent Defendence of the Moral Transpormation: The Original Christian Paradigm of Salvation, New Zealand: Bridgehead, 2011].

Kitab Injil menyatakan bahwa Yesus memanggil umat yang percaya kepada-Nya untuk menjadi saksi-Nya [Kisah Para Rasul  1:8].

Di sini gereja memberikan pemahaman bahwa mereka dipanggil untuk memberi kesaksian bahwa Yesus Kristus adalah Mesias yang sudah datang, mati di kayu salib, dan bangkit pada hari ke-3 untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Dalam pengertian yang lebih jelas lagi, Yesus datang untuk memberi keselamatan bagi manusia dengan meletakan beban dosa seluruh umat manusia di pudaknya melalui kematian terkutuk di palang kayu salib. Pandangan ini berbanding terbalik dengan pemahaman umat Islam di mana setiap jiwa hanya akan memikul dosa dan kesalahannya masing-masing. Tidak ada seorang pun yang dapat menanggung kesalahan yang dilakukan orang lain karena hal ini jelas bertentangan dengan asas keadilan, asas manfaat dan akal sehat.

Al-Quran menyatakan:

أَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى    

(Yaitu) bahwa sanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain [An-Najm/53:38]. Lalu dikatakan:

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya [Al-Muddatstsir/74:38). Lihat juga As-Saffat/37:39; Al-Jatsiyah/45:14; Al-Ankabut/29:12; dan Al-Isra/17:7.

Ayat tersebut di atas mengingatkan umat Islam untuk tidak bermain-main denga dosa, baik itu kecil atau besar karena segala sesuatu akan mendapatkan balasannya meskipun perbuatan itu sebesar zarrah sekalipun [Al-Zalzalah/99:8-9].

Islam mengajarkan untuk terbebas dari dosa manusia dituntut untuk memiliki Ma’rifat Ilahi (Pengetahuan yang Benar tentang Tuhan).

Al-Quran menyatakan:

وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلا

Artinya: “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)” (Al-Isra/17:73).

Mereka yang tidak mempergunakan mata rohani mereka dengan cara yang wajar di dunia, akan tetap mahrum dari penglihatan rohani di akhirat.

Al-Quran menyebut mereka, yang tidak merenungkan Tanda-tanda Tuhan serta tidak memperoleh manfaat darinya, “buta”. Orang-orang seperti itu di Alam Akhirat pun akan tetap dalam keadaan buta [Al-Quran dan Terjemah Singkat, hal. 988-989].

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda: “Yakin kepada Tuhan adalah suatu harta yang besar. Jadi orang yang buta adalah orang yang di dunia ini juga tidak memperoleh keyakinan yang sempurna tentang Tuhan. Tatkala kehebatan, keindahan dan keperkasaan-Nya tampil pada diri seseorang maka itu merupakan manifestasinya. Dan dengan menyaksikan hal itu tidaklah mungkin manusia mengarah kepada dosa. Ketika manusia ragu akan Tuhan, barulah manusia melakukan dosa.

Jadi, seseorang yang menginginkan kebaikan (keselamatan) bagi jiwanya, dia hendaknya yakin terhadap Tuhan [Malfuzhat, Add. Nazir Isya’at, London, 1984, jld. III, hal. 428].

Konsep sebenarnya dari keselamatan sejati adalah bahwa manusia selamat dari neraka dosa yang besar di dunia. Manusia hendaknya menghindarkan diri dari perbuatan dosa seperti: pencurian, penumpahan darah, berbuat syirik, dusta, kesaksian palsu, arogan sombong, zina, judi, minuman keras, melihat dengan pandangan kotor dan berbagai perbuatan dosa lainnya. Faktanya adalah bahwa manusia yakin tentang efek berbahaya dari dosa. Oleh karena itu, mereka tidak akan membuang waktu untuk segera melarikan diri dari dosa. Namun, sekali lagi kami katakana bahwa tidak ada seorang pun yang dapat selamat dari bahaya dosa sebelum berhasil mencapai kemurnian yang mengarah kepada kepastian tentang Tuhan. Cobalah untuk memahami fakta dan merenungkan kebenarannya. Cobalah resep ini, dengan begitu anda akan segera menyadari bahwa tidak ada cahaya yang dapat melepaskan kegelapan jiwa, selain keyakinan yang sejati kepada Tuhan [Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Bagaimana Terbebas dari Dosa, Neratja Press, November 2019].

Post a Comment

0 Comments