Menjawab Dr. Yasir Qadhi Tentang Ahmadiyah

Menjawab Yasir Qadhi tentang Ahmadiyah

Baru-baru ini, Syekh Yasir Qadhi menyampaikan ceramah nya yang berjudul 'The Limits of Tolerance PT 2: The Finality of Prophethood'. 

Dalam ceramahnya ia berusaha membongkar kekeliruan Ahmadiyah dan pendirinya, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Banyak hal  yang ia sampaikan, tetapi di antara tuduhannya tersebut adalah 4 poin yang akan dibahas di bawah ini. Dari argumen yang ia sampaikan menunjukkan bahwa ia keliru melihat sebuah fakta dan mengabaikan banyak keilmuan dan literatur-literatur Islam tentang masalah yang ia sampaikan. 

30 Pembohong Besar [Dajjal Yang Akan Mengaku Nabi

Yasir Qadhi menjelaskan tentang nubuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa akan ada 30 pembohng besar [Dajjal] setelah beliau (saw), yang mana mereka akan mengaku sebagai nabi. [1] Ia kemudian menyebut beberapa orang yang mengaku nabi seperti Musailamah Al-Kadzab dan Aswad Ansi. Ia mengatakan: 

"Dan saya mendapati ini luar biasa, saudara-saudara, dalam perjalanan umat ini, kita memiliki lusinan orang yang mengaku Nabi, lusinan mereka sepanjang sejarah Islam, dimulai Musailamah hingga zaman sekarang. Tidak satupun dari mereka, tanpa terkecuali di zaman dahulu, yang berhasil. Mereka datang, mereka mengaku nabi, dan mereka mati. Selalu seperti itu. Kita tidak pernah melihat satupun sisa Dajjalun yang masih ada hingga hari ini, kecuali satu atau dua Dajjalun yang muncul di zaman modern, ketika dunia sudah berbeda."

Dalam upayanya untuk menyatakan kepalsuan pendakwahan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Yasir Qadhi menetapkan sebuah kriteria - di mana tidak ada perbedaan di antara kita, bahwa orang-orang yang mengaku nabi mereka akan gagal total, dan masuk jurang antah berantah. 

Padahal berdasarkan kriteria ini, secara tidak langsung justru membuktikan kebenaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as). Seandainya, naudzubillah min dzalik, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) seorang Nabi palsu, maka pasti ia akan mengalami nasib yang sama. Tetapi sebaliknya, sudah lebih dari 130 tahun sejak pendakwahannya, kita terus menyaksikan kemajuan Ahmadiyah yang terus berkembang secara luas biasa. Walaupun mendapatkan penentangan yang keras secara terus menerus, jamaah Ahmadiyah nyatanya telah berdiri di lebih dari 200 negara di dunia, dengan pengikutnya mencapai puluhan juta orang. Setiap tahun, ratusan ribu orang masuk Islam Ahmadiyah, yang tersebar dari Afrika hingga Timur Jauh; dari pelosok desa sampai ke kota-kota. Banyak di antara mereka yang memiliki pengalaman bagaimana Allah menjawab doa mereka yang tulus dan membimbing mereka pada kebenaran, dengan jalan menunjukkan kebenaran Hazrat Masih Mau'ud (as) melalui kasyaf, mimpi-mimpi ataupun tanda-tanda tertentu. 

Pertanyaan kunci yang harus diajukan kepada Yasir Qadhi: berdasarkan kriterianya sendiri, ketika para pendakwah nabi - dengan menggunakan kata-katanya - 'benar-benar hilang tertiup angin' dan 'bahkan tidak ada yang mengingatnya, dapatkah orang yang berpikiran adil menempatkan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as) dalam kriteria yang sama dengan orang-orang seperti itu?

Dalam materi ceramahnya, Yasir Qadhi membuat referensi yang aneh, dengan menghubungkan pendirian Nation of Islam di Amerika dengan Jamaah Muslim Ahmadiyah. 

2. Benarkah Tidak Ada Nabi Setelah Nabi Muhammad (saw)?

Hal lain yang disampaikan oleh Yasir Qadhi adalah tidak ada lagi nabi yang dapat datang setelah Rasulullah, shallallahu 'alaihi wasallam, karena beliau adalah 'Khatamun Nabiyyin' - Penutup para Nabi. Tetapi Yasir Qadhi sendiri, sebagaimana halnya dengan mayoritas umat Islam, berkeyakinan bahwa Nabi Isa bin Maryam (as), diangkat ke langit secara fisik dan akan turun kembali untuk Umat Islam di akhir zaman. Bukankah ini hal yang kontradiktif dari seorang Yasir Qadhi, satu sisi ia mengklaim bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad, shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi ia juga percaya bahwa Nabi Isa (as) yang menurut Al-Qur'an adalah seorang nabi, akan turun setelah Nabi Muhammad, shallallahu 'alaihi wasallam di akhir zaman. 

Menanggapi kesulitan ini, beberapa ulama Islam mengatakan bahwa Isa bin Maryam (as) akan muncul di tengah-tengah umat Islam, tetapi tidak menjadi nabi.

Dalam hal ini, apa tanggapan mereka tentang ayat Al-Qur'an yang jelas menyebut Isa bin Maryam sebagai 'Rasul yang diutus untuk Bani Israel'?

وَرَسُوۡلًا اِلٰی بَنِیۡ اِسۡرَآءِیۡلَ 

"Dan akan menjadikannya (Isa) sebagai seorang rasul kepada Bani Israil." [2]

Selain itu, dalam Sahih Muslim, ketika menyebutkan tentang Nabi Isa yang akan turun di tengah-tengah umat Islam di akhir zaman, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tegas mengatakan bahwa ia akan menjadi 'Nabiullah' - seorang Nabi Allah. Bukan sekali, bahkan empat kali disebut sebagai Nabi dalam hadits yang sama. 

وَيُحْصَرُ نَبِيُّ اللَّهُ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ حَتَّى يَكُونَ رَأْسُ الثَّوْرِ لأَحَدِهِمْ خَيْرًا مِنْ مِائَةِ دِينَارٍ لأَحَدِكُمُ الْيَوْمَ فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللَّهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ فَيُرْسِلُ اللَّهُ عَلَيْهُمُ النَّغَفَ فِي رِقَابِھِمْ فَيُصْبِحُونَ فَرْسَى كَمَوْتِ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ يَھْبِطُ نَبِيُّ اللَّهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى الأَرْضِ فَلاَ يَجِدُونَ فِي الأَرْضِ مَوْضِعَ شِبْرٍ إِلاَّ مَلأَهُ زَهَمُھُمْ وَنَتْنُھُمْ فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللَّهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى اللَّهِ فَيُرْسِلُ اللَّهُ طَيْرًا كَأَعْنَاقِ الْبُخْتِ فَتَحْمِلُهُمْ فَتَطْرَحُھُمْ حَيْثُ شَاءَ اللَّهُ

"...Nabiullah Isa dan para sahabatnya dikepung, (dan mereka sangat terdesak), sampai kepala lembu akan lebih berharga bagi mereka daripada seratus dinar milik salah seorang dari kalian saat ini. Lalu Nabiullah Isa dan para sahabatnya menginginkan Allah mengirimkan serangga (yang akan menyerang leher mereka) dan pagi pagi hari mereka akan binasa seperti matinya satu jiwa. Lalu Nabiullah Isa dan para sahabatnya akan turun turun ke bumi, dan mereka tidak akan menemukan sejengkal pun tempat di bumi melainkan telah dipenuhi oleh bangkai dan bau busuk darah mereka. Nabiullah Isa dan para sahabatnya berdoa kepada Allah, lalu Allah mengirimkan burung-burung yang lehernya seperti leher unta Baktir dan mereka akan membawanya dan melemparkannya ke tempat yang dikehendaki Allah..." [3]

Selain itu, pendapat-pendapat ulama yang ia kutip untuk memperkuat pernyataannya bahwa tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad, shallallahu 'alaihi wasallam, ia tidak menyebutkan ulama-ulama lain yang memiliki pandangan yang sama dengan Ahmadiyah terkait makna 'Khatamun Nabiyyin. Misalnya, ulama terkenal, Muhammad ibnu Abi Syaiba al-'Abasi, telah mencatat perkataan Aisyah (ra) di mana beliau mengatakan: 

قولوا خاتم النبيين، ولا تقولوا لا نبي بعده

"Katakanlah ia Khotamun Nabiyyin, tetapi jangan katakan bahwa tidak ada nabi setelahnya.' [4]

Demikian pula, Yasir Qadhi tidak menyebutkan ulama-ulama yang memiliki pandangan serupa dan mendukung pernyataan Aisyah (ra) ini sehubungan dengan makna 'Khatamun Nabiyyin'. Berikut kami sampaikan beberapa daftarnya: 

  • Al Imam Ibn Qutaybah al-Dinawari: ‘Ta’wil Mukhtalif al-Hadith,’ hal 127 (diterbitkan Dar Al Kitab Al-Arabiyya, Beirut, Lebanon)
  • Abu al-Hasan Ali ibn Sultan Muhammad al-Hirawi al-Qari: ‘Al-Asrar Al-Marfu’a Fil-Akhbar Al-Mawdu’a‘ hal 192, (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah: Beirut, Lebanon)
  • Syekh Muhammad ibn Tahir ibn 'Ali al-Fattani al-Gujrati: 'Majma Bihar al-Anwar fi Gharaib al-Tanzil wa Lataif al-akhbar' hal 502 (Majlis Da'irah al Ma'arif al 'Uthmaniyyah: Hyderabad, India)
  • Shah Waliullah Dehlawi: ‘Al-Tafhimat Al-Ilahiyyah‘, Vol, 2, hlm. 53, 72-73 dan 85 (Akademi Shah Waliullah, (Saddar), Hyderabad, Pakistan)
  • Imam Abd al-Wahhab al-Sha'rani: 'Kitab al-Yawaqit wa al-Jawahir fi Bayan Aqa'id al-Akabir', Vol 2, hal 27, 35, 39 (Dar al-Marifah li al-Taba'ah wa al-Nashr, Beirut, Lebanon)
  • Muhammad Qasim Nanautvi: ‘Tahzir al-Nas’ hlm. 41-43 (Idarah Al-Aziz, Gujranwala, Pakistan)

Selain itu, dia tidak memberikan satu pun referensi dari kamus bahasa Arab untuk menjelaskan istilah 'Khatam'. Seandainya dia memerikasa kamus bahasa Arab seperti: Taj al-Arus, Aqrab Al-Mawarid, Lisan al-Arab, Lane, Mufradat dari Imam Raghib, dia akan melihat bahwa kata 'Khatam' tidak selalu berarti 'terakhir', tetapi telah digunakan dalam literatur Arab untuk menandakan keunggulan sempurna dan untuk mencapai puncak kebesaran. Mari kita periksa literatur Arab untuk melihat bagaimana orang Arab menggunakan kata 'Khatam':

  • Di Kanzul Ummal, setelah Abbas (ra) hijrah ke Madinah, Nabi (saw) berkata kepadanya: 'Wahai Pamanku! Engkau adalah Khatam Al-Muhajirin, sama seperti saya adalah Khatam Al-Nabiyyin'.[5]
Menurut pendapat orang-orang yang menganggap bahwa 'Khatam' artinya 'terakhir', berarti Abbas (ra) adalah orang terakhir yang hijrah. Apakah hijrah berhenti setelah Abbas (ra)? Apakah tidak ada yang melakukan perjalanan dari satu negeri ke negeri lain atau berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya?

  • Penyair terkenal Al-Mutanabi disebut 'Khatam Al-Syuara' - apakah ini berarti tidak ada lagi penyair setelah Mutanabi meninggal? Apakah dia penyair terakhir yang pernah hidup? [6]
  • Pada halaman judul Tafsir cendekiawan Islam Irak abad ke-19, Mahmud Al-Alusi: 'Ruh al-Ma'ani fi Tafsiri al-Qur'an al-Azim wa al-Sab'a al-Matsani,' tertulis: 'Khatam al-Muhaqqiqin'. Apakah ini berarti dia adalah peneliti/ulama terakhir, dan tidak ada ulama setelahnya? [7]
  • Pada halaman judul kitab Shihab al-Din Ibn Hajr Al-Haytami Al-Makki, 'Al-Fatawa Al-Haditsiyyah', dia telah dinyatakan sebagai: 'Khatam Al-Fuqaha wa Al-Muhaditsin'. Yasir Qadhi kini memiliki masalah ganda; dengan pemahamannya tentang kata khatam, Imam Al-Haytami tidak hanya akan menjadi 'Fuqaha' terakhir tetapi juga 'Muhadditsin' [ulama hadits] terakhir, karena tidak akan ada lagi setelah dia. 

Daftar ini belum lengkap semuanya, tetapi hanya beberapa contoh yang telah dicantumkan untuk memperjelas pembahasan ini. 


3. Tadhkirah Bukan Kitab Suci Ahmadiyah

Yasir Qadhi kemudian melanjutkan: 

"Salah satu wahyu yang ia miliki, ngomong-ngomong ini adalah Al-Qur'annya, disebut 'Al-Tadhkirah", ia menyebut Al-Qur'annya, 'Al-Tadhkirah', dan kalian dapat menemukannya, ini nama kitabnya..."

Sekali lagi, Yasir Qadhi memperlihatkan tingkat keilmuannya sendiri, ketika ia secara terang-terangan berbohong dengan mengatakan bahwa Tadhkirah, yang merupakan kumpulan wahyu dari Mirza Ghulam Ahmad (as), adalah Al-Qur'an untuk para Ahmadi. Seandainya ia bertanya pada setiap Ahmadi, laki-laki dan perempuan, bahkan anak-anak, 'apa Al-Qur'anmu?' Maka mereka akan tegas mengatakan bahwa kitab kami adalah Al-Qur'an yang sama yang dibaca oleh semua umat Islam di seluruh dunia. 

Ia mengaku telah membaca tulisan-tulisan Hazrat Masih Mau'ud (as), tapi itu sulit dipercaya, karena jika ia membaca satu buku saja karangan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as), maka ia akan tahu bagaimana derajat dan ketinggian Al-Qur'an di mata beliau. Dalam buku A'ina Kamalati Islam, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menguraikan keindahan dan pentingnya Al-Qur'an:

"Saya bersaksi kepada Allah, bahwa Al-Quran merupakan mutiara yang langka. Bagian luarnya adalah Nur, bagian dalamnya juga Nur, begitu pula bagian atas dan bawahnya adalah Nur semata serta Nur disetiap kata di dalamnya. Kitab ini merupakan taman ruhani yang rangkaian buahnya mudah dijangkau dan melalui mana mengalir banyak sungai. Semua bentuk kemaslahatan bisa ditemukan di dalamnya dan setiap obor penunjuk jalan dinyalakan daripadanya. Nur Kitab ini telah menembus hatiku dan aku tidak akan mungkin memperolehnya dengan cara lain. Demi Allah, jika tidak ada Al-Quran maka aku tidak akan menemukan kegembiraan hidup." [8]

Di tempat lain, Hazrat Masih Mau'ud (as) menulis: 

"Selama 1300 tahun sudah Al-Quran mengemukakan sifat-sifatnya sebagai tantangan bagi seluruh dunia bahwa dalam sifat-sifat internal dan eksternalnya Kitab ini adalah tanpa tanding dimana tidak ada manusia yang mampu membuat kitab lain yang sejenis, namun nyatanya tidak ada seorang pun manusia yang sanggup memenuhi walaupun hanya misalnya satu Surah kecil seperti Al-Fatihah." [9]

Demikian pula, Hazrat Masih Mau'ud (as) menulis: 

"Ikatan sejati dengan Allah Ta’ala sama sekali tidak dapat terjalin, selama hubungan spesial itu tidak terwujud dengan perantaraan Allah Sendiri, dan kotoran-kotoran jiwa sama sekali tidak akan dapat hilang dari dirinya selama cahaya Allah Yang Mahakuasa tidak masuk ke dalam hati. Perhatikanlah, sesungguhnya aku akan mengemukakan penglihatan yang aku alami sendiri, yaitu hubungan itu akan dapat diraih hanya dengan mengikuti Al-Qur’an saja. Dalam kitab-kitab yang lain, saat ini tidak dapat ditemukan ruh kehidupan, dan di kolong langit ini hanya ada satu kitab, yaitu Al-Qur’an, yang dapat menampakkan wajah Tuhan Sang Kekasih Sejati." [10]

Bahkan jika Yasir Qadhi selintas saja melihat tentang upaya dan kontribusi Ahmadiyah dalam pengabdian pada Al-Qur'an, maka ia tidak akan pernah mengucapkan tuduhan yang tak berdasar seperti itu. 

Upaya Jamaah Muslim Ahmadiyah untuk menyebarkan ajaran Al-Qur'an dan menyampaikan pesan hakikinya ke seluruh penjuru bumi nampak dari keberhasilan mereka menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam 75 bahasa lebih. Dalam beberapa terjemahan, Ahmadiyah mendapatkan kehormatan karena berhasil membuat terjemahan pertama dalam bahasa lokal tertentu. Belum lagi jika ia melihat bagaimana upaya Ahmadiyah dalam melakukan berbagai macam konferensi, pameran-pameran Al-Qur'an. Jadi itulah pekerjaan utama yang dilakukan oleh Ahmadiyah. 

4. Apakah Mirza Ghulam Ahmad (as) Membatalkan Jihad?

Yasir Qadhi sekali lagi telah mengungkapkan ketidakjujuran ilmiahnya, kendati ia mengaku telah mencari rujukan-rujukan dan kutipan langsung, tetapi ia benar-benar telah keliru dalam menafsirkan tulisan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Masih Mau'ud (as). 

Ia secara keliru mengatakan bahwa Hazrat Masih Mau'ud (as) telah membatalkan perintah jihad. 

Hazrat Masih Mau'ud (as) telah menyebutkan berulang kali dalam berbagai tulisan dan ceramah-ceramah bahwa beliau tidak membuat perubahan satupun terhadap hukum Islam, melainkan tunduk sepenuhnya pada Al-Qur'an dan Nabi Muhammad, shallallahu 'alaihi wasallam. 

Tiadka ada satupun peristiwa dimana Hazrat Masih Mau'ud 9as) pernah mengatakan bahwa perintah jihad telah dibatalkan. Seandainya Yasir Qadhi melakukan penelitian yang jujur, ia akan menemukan banyak tulisan Hazrat Masih Mau'ud (as) yang mana beliau berulang kali menyebutkan bahwa jihad di zaman ini bukanlah dengan pedang, melainkan beliau menyeru untuk melakukan jihad pena. 

"Ketahuilah dengan pasti bahwa di zaman ini bukan pedang yang dibutuhkan, melainkan pena. Lawan kita telah menyebarkan keraguan tentang Islam dan berusaha menyerang agama yang benar yang dikirim oleh Allah Ta'ala melalui berbagai ilmu dan strategi. Karena itu, saya telah digerakkan oleh Allah untuk memasuki medan perang ilmu pengetahuan dan kemajuan akademis yang dipersenjatai dengan senjata sastra, dan juga untuk menunjukkan kegagahan spiritual Islm dan menunjukkan kekuatan batinnya yang luar biasa." [11]

Contoh lain beliau menulis: 

"Kita harus maju dengan senjata yang sama seperti yang digunakan oleh pendeta Kristen ke medan pertempuran, dan senjata itu adalah pena. Karena alasa inilah allah Ta'ala menamai saya yang lemah ini sebagai 'Raja Pena' dan menamai pena saya 'Dzulfiqar Ali [Pedang Ali]'. Hakikat dari rahasia ini adalah bahwa zaman sekarang bukanlah zaman perang melainkan zaman pena." [12]

Hazrat Masih Mau'ud (as) tidak hanya menyerukan jihad dengan Pena dan menegakkan keunggulan Islam melalui tulisan-tulisan yang damai, tetapi memperjuangkan upaya tersebut dan tak tertandingi dalam upaya ini. Hasilnya, para pendeta Kristen yang sebelumnya mendapatkan keberhasilan dalam dakwah mereka di sub-benua, kini mendapat tanggapan yang sangat kuat, sehingga mereka dibuat bingung oleh tantangan yang diajukan oleh Hazrat Masih Mau'ud (as) dan bahkan mereka mendokumentasikan ini dalam laporan mereka. 

Sekali lagi, jikat niat Yasir Qadhi adalah murni untuk memberikan ceramah akademis, lalu mengapa ia tidak menyebutkan banyak ulama Muslim terkemuka saat itu yang juga memiliki pandangan yang sama bahwa Jihad melawan pemerintah Inggris sebagai tindakan yang melanggar hukum. 

Fakta ini tercatat dan telah diterbitkan oleh The Homeward Mail, 19 Oktober 1907:

"Setelah banyaknya diskusi dan argumentasi, dengan suara bulat disepakati oleh semua Maulwi yang hadir bahwa menurut Mazhab Hanafi segala jenis riba dilarang di India, karena negara ini tidak dianggap sebagai 'darul harb [sic]" [13]

Lebih lanjut, dalam upayanya untuk menyerang keyakinan Ahmadiyah, Yasir Qadhi telah menunjukkan kekurangan ilmunya tentang sumber-sumber pokok agama Islam. Misalnya ia mengatakan: 

'Tidak ada Arab Anbiya [Nabi] sebelum dia [yaitu Rasulullah (saw)]. Tidak ada orang yang berbicara bahasa Arab danmenjadi seorang Nabi sebelum Nabi (saw).'

Ini tidak benar. 

Dalam Sahih Bukhari, Ibnu Abbas (ra) meriwayatkan bahwa ketika Nabi Ismail (as) masih kecil, ia belajar bahasa Arab dari suku Jurhum yang datang dan menetap di Mekkah. [14] Jadi Nabi Ismail (as) adalah seorang nabi, dia berbicara bahasa Arab dan datang sebelum Nabi (saw). Mungkin ia perlu memeriksa fakta-fakta ini sebelum menyampaikan kuliah akademis. 

Jadi, setelah pemeriksaan sedehana, kita diberikan kelemahan utama dalam kuliah akademisnya Syekh Yasir Qadhi. Saat mencoba menjelaskan tentang 'batas toleransi, ia dengan jelas melangkahi ketidakjujuran intelektual, bias dan kecurangan. 

Artikel Asli dapat dilihat: Reviewofreligions.org 

Referensi:

[1] Sahih Muslim, Kitab al-Fitab wa Ashrat al-Sa’a, Hadith No. 157 

[2] The Holy Qur’an: 3:50 

[3] Sahih Muslim, Kitab Al-Fitan, Bab Dhikr al-Dajjal wa Sifatihi wa ma ma’hu, Hadith No. 2937a 

[4] Musannaf Ibn Abi Shaybah,vol 13, pg 566 [Sharikat Dar al-Qibla & Mu’assisah Ulum al-Qur’an]

[5] Muassisah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, Vol 13, pg 519

[6] Sharh Diwan al-Mutanabi by Abdul Rahman Al-Barqauqi, page 12

[7] Dar Ihya Al-Turath Al-Arabi, Beirut, Lebanon

[8] A’ina-e-Kamalat-e-Islam, Ruhani Khaza’in, Vol. 5, pp. 545-546

[9] Barahin-e-Ahmadiyya, pt.4, p. 175, footnote no.11 [English Translation] 

[10] Haqiqatul Wahi – The Philosophy of Divine Revelation, p.2, [English Translation)

[11] Malfuzat [English], Vol. 1, p. 58

[12] Malfuzat [English], Vol. 1, p. 238

[13] https://www.alhakam.org/british-india-darul-islam-not-darul-harb/

[14] Sahih Al-Bukhari, Kitab Ahadith al-Anbiya, Hadith No. 3364

Post a Comment

0 Comments