BULAN RAMADHAN YANG PENUH BERKAT






Oleh: Mln. Solehudin

Puasa merupakan salah satu rukun (pokok) mendasar dalam Islam dan kewajiban yang harus dipenuhi. Ada beberapa pertanyaan sederhana yang muncul dari waktu ke waktu sehubungan dengan puasa yaitu mengenai sahur, berbuka dan berpuasa dalam perjalanan dan sakit. 

Dengan karunia Allah Ta’ala, ratusan ribu orang bergabung ke dalam Jemaat kita ini setiap tahunnya dari berbagai kelompok kaum Muslimin dan selainnya dari agama-agama selain Islam. Di kalangan berbagai kelompok Muslim terdapat aneka pandangan fiqih seputar hukum-hukum Islam. 

Ketika kalangan muslim dari berbagai golongan tersebut bergabung dengan Jemaat, mereka membawa pemikiran-pemikiran sebelumnya [yang mungkin berbeda] yang menyebabkan kebingungan dalam beberapa hal sehingga mereka memerlukan penjelasan atas persoalan tersebut dan jawaban rinci atas persoalan yang mereka angkat. 

Ada juga dari mereka yang bergabung dengan kita yang berasal dari agama yang berbeda [yaitu non Islam]. Mereka belajar agama Islam dari nol dan itu menjadi kewajiban kita supaya mereka memahami rukun Islam tersebut.

Pada masa ini, Hadhrat Masih Mau’ud as telah diutus oleh Allah Ta’ala dan Dia menjadikannya sebagai ‘Hakim yang Adil’. Beliau as memutuskan tiap keputusan dangan terang ajaran-ajaran Islam dan memberikan kita solusi atas berbagai persoalan. 

Beliau telah melakukan hal itu. Maka dari itu, pada masa ini kita perlu merujuk kepada beliau as guna mengatasi semua permasalahan dan persoalan yang muncul pada kita, dan dengan itu juga memperoleh tambahan bagi pengetahuan kita. 

Sebagaimana telah saya katakan, ada banyak keputusan dan persoalan seputar puasa. Kita jangan lupa bahwa pernyataan dan pandangan Hadhrat Masih Mau’ud as tentang persoalan-persoalan yang berhubungan dengan syariah merupakan keputusan final di zaman ini. 

Kita harus ingat senantiasa bahwa dasar utama pengamalan hukum Islam adalah ketaqwaan. Oleh karena itu, harus senantiasa menjadi pertimbangan utama kita sabda Hadhrat Masih Mau’ud as berikut ini: “Tunaikanlah secara sempurna puasa kalian dengan jujur demi ridha Tuhan.”[1  Kisyti Nuh, Ruhani Khazain, jilid 19, h. 15.] (Khotbah Jumat Khalifatul Masih al-Khaamis ATBA 03 Juni 2016 di Baitul Futuh, London)

Bulan Ramadhan Dan Keutamaannya
Bulan Ramadhan ditetapkan oleh Allah Ta'ala sebagai bulan yang penting dan beberkat. Permulaan turunnya Alquran Karim dimulai dari bulan ini. Difirmankan:
            
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang berkenaan dengannya Alquran Karim diturunkan. Itu adalah Alquran yang diturunkan dan dijadikan hidayah (petunjuk) bagi semua orang”. (Al-Baqarah: 185)

Rasulullah saw. telah bersabda:

اِذَا جَآءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ اَبْوَابُ اْلجَنَّةِ وَ غُلِّقَتْ اَبْوَابُ النَّارِ وَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ

“Pada bulan yang beberkat ini, pintu-pintu surga terbuka, pintu-pintu Jahanam ditutup dan setan-setan dibelenggu”. (Bukhari, kitabus Shaum, jilid 1, halaman 255)

Yakni, bulan ini adalah bulan yang beberkat untuk menarik karunia dan rahmat Ilahi. Pada bulan ini, secara khusus dalam 10 hari terakhir, Rasulullah saw. banyak memanjatkan doa dan bersedekah.

PUASA BISA MEMPERTAJAM KEKUATAN ROHANI.
Hadhrat Khalifatul Masih I ra. bersabda:

“Orang-orang yang meninggalkan barang-barang untuk mengkonsumsinya, dia tidak melanggar hukum dan akhlak, maka dia akan terbiasa tidak menggunakan barang-barang orang lain dengan cara yang tidak semestinya dan berpaling ke arah itu. Manakala dia meninggalkan barang-barang yang diperbolehkan demi Tuhan, maka pandangannya tidak dapat tertuju pada barang-barang yang tidak semestinya”. (Al-Fadhl, 17 Desember 1966, halaman 8)

Ringkasnya, dimana terdapat pensucian diri dan kesucian kalbu dengan puasa, maka puasa seperti itulah yang bisa mendatangkan faedah-faedah jasmani, akhlak dan lingkungan sosial. Dengannya kekuatan kasyaf bertambah dan terus bertambah maju. Seperti halnya tubuh mendapatkan kekuatan dengan hidangan jasmani, demikian pula hidangan rohani (yakni dalam keadaan puasa) menguatkan ruh dan dengannya juga kekuatan rohani menjadi semakin tajam. Oleh karena itu, difirmankan:
    
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ 

"dan seandainya kalian senantiasa berpuasa, maka di dalamnya terdapat kebaikan yang besar bagi kalian. (Al-Baqarah: 184)

Di dalam Alquran Karim dijelaskan bahwa puasa merupakan satu resep mujarab untuk menjadi orang yang bertakwa (mutaki), yakni seandainya kalian mengamalkan resep ini, maka kalian akan menjadi orang yang bertakwa (mutaki). Difirmankan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
             
“Wahai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepada kalian berpuasa seperti halnya telah diwajibkan kepada orang-orang terdahulu sebelum kalian supaya kalian terhindar dari kelemahan-kelemahan rohani dan akhlak”. (Al-Baqarah: 183)

“Seberapa banyak keburukan yang muncul, sumbernya ada 4 hal. Yang lain adalah furu’ (cabang). Keempat sumber itu adalah: pertama, makanan; kedua, minuman; ketiga, syahwat; keempat, ada keinginan untuk menghindar dari hal-hal yang tidak semestinya.

Semua aib berhubungan dengan 4 hal ini. Untuk menghindarkan diri dari keempat sumber keburukan tersebut, diperintahkan untuk berpuasa. Misalnya, seseorang berkhianat karena ingin terhindar dari kerja keras, yakni dia ingin makan tapi tidak mau kerja keras, malahan memakan harta orang lain. 

Akan tetapi, orang yang berpuasa harus bangun pada sebagian besar malam untuk beribadah. Dia bangun untuk sahur. Dia menutup mulut sepanjang hari. Dia mengurangi tidur. Sampai sebulan orang yang berpuasa harus menanggung kesusahan yang menyebabkan tubuhnya menjadi terbiasa dan menyingkirkan kebiasaan lalai. Jadi, makan, minum dan syahwat menimbulkan keburukan-keburukan. Untuk itu pun dilakukan puasa. 

Manusia meninggalkan makan, minum dan keperluan-keperluan hidup. Jadi, keperluan-keperluan yang menyebabkan manusia terjerumus dalam dosa, itu dihindari untuk sementara waktu”. (Al-Fadhl, 17 Desember 1966)

Puasa bermanfaat juga secara jasmani dan itu adalah bahwa tubuh manusia menjadi terbiasa untuk menanggung penderitaan-penderitaan dan kesusahan-kesusahan serta dengan faktor inilah muncul daya tahan dan sabar di dalamnya. Selain itu, pentingnya menahan lapar diakui secara kedokteran dalam menata kesehatan. 

Seandainya keseimbangan diperhatikan, maka dalam kesehatan terdapat perbedaan yang mencolok. Seolah-olah puasa merupakan jaminan kesehatan tubuh dan dari segi rohani, merupakan sumber dan pokok ketakwaan. Karenanya, mendapatkan taufik untuk berakhlak baik, menjaga kesucian, jujur, berkarakter baik dan mensucikan diri, memunculkan kekuatan-kekuatan sabar dan keberanian, merasakan kesusahan-kesusahan orang-orang miskin dan meningkatkan semangant untuk menolong. 

Demikianlah perhatian terhadap keseimbangan ekonomi dan martabat meningkatkan kemajuan status ekonomi dan sosial dan bersamaan dengan itu juga kesehatan menjadi tertata.

Derajat Orang Yang Berpuasa
Hadis Qudsi:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ اٰدَمَ لَهُ اِلاَّ الصِّيَامُ فَاِنَّهُ لِىْ وَ اَنَا اَجْزِىْ بِهِ وَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ

"Semua amal manusia adalah untuk dirinya sendiri, akan tetapi puasa adalah untuk-Ku. Oleh karena itu, Aku sendiri yang akan menjadi ganjarannya. (karena dia meninggalkan semua keinginannya, makan dan minum demi Aku)." (Bukhari, kitabus Shaum, jilid 1, halaman 255)

Selanjutnya disabdakan:

وَ الَّذِىْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخَلُوْفُ فَمُ الصَّآئِمِ اَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ

“Sumpah demi zat yang dalam genggaman kudrat-Nya terdapat jiwa Muhammad saw.. Bau mulut orang yang berpuasa, di hadapan Allah Taala, lebih suci dan harum daripada kesturi”. (Bukhari, kitabus Shaum, jilid 1, halaman 255)

Demikian pula disabdakan:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَّ اِحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa bangun pada waktu malam dan mengerjakan shalat serta berpuasa sesuai tuntutan keimanan dan dengan niat untuk mendapatkan pahala, semua dosanya yang dahulu diampuni”. (Bukhari, kitabus Shaum, jilid 1, halaman 260) (Fiqih Ahmadiyah penterjemah: Mln. Agus Mulyana)

Waktu Shalat Tahajjud dan Makan Sahur yang Dicontohkan Hadhrat MAsih Mau'ud as
Berkenaan dengan pelaksanaan Shalat Tahajud dan makan Sahur dengan Hadhrat Masih Mau’ud as, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad ra menuturkan sebuah riwayat bahwa Tuan Dr. Mir Muhammad Ismail ra menceritakan, “Pada tahun 1895, saya menghabiskan sebulan penuh Ramadhan di Qadian. 

Saya melaksanakan seluruh shalat Tahajjud yaitu Tarawih di belakang Hadhrat Shahib as. Kebiasaan beliau as mengerjakannya dengan membagi dalam dua bagian yaitu melaksanakan shalat Witir pada awal malam dan melaksanakan 8 raka’at shalat Tahajjud di akhir malam dua rakaat-dua rakaat. 

Beliau as membaca ayat Kursi pada setiap raka’at pertama dan surah al-ikhlas pada setiap raka’at kedua dan pada saat ruku’ dan sujud, beliau as juga membaca, يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ‘Ya Hayyu Ya Qayyum bi-Rahmatika astaghits’.[Ibnu As Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 46, An Nasai dalam Al Kubro 381: 570. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda pada Fatimah (puterinya), (( مَا يَمْنَعُكِ أَنْ تَسْمَعِي مَا أُوصِيكِ بِهِ أَنْ تَقُولِي إِذَا أَصْبَحْتِ وَأَمْسَيْتِ: “Apa yang menghalangimu untuk mendengar wasiatku atau yang kuingatkan padamu setiap pagi dan petang yaitu ucapkanlah, ((يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ)) “Ya hayyu ya qoyyum bi rahmatika astaghiits, wa ash-lihlii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin abadan” (artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya).”] 

Kebanyakan beliau as membacanya dengan suara yang membuat saya dapat mendengarnya dengan jelas. Lalu beliau as biasa makan sahur setelah tahajjud dan menyengaja melakukannya di akhir waktunya sampai-sampai saat masih makan adzan mulai berkumandang atau di lain waktu masih terus makan hingga adzan selesai.”

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad ra berkata, “Pokok persoalannya ialah bersahur masih diperbolehkan hingga fajar shadiq terbit di ufuk timur. Sahur tidak bergantung dengan adzan [melainkan dengan fajar shadiq]. Tetapi, dikarenakan waktu Adzan dibatasi dengan terbitnya fajar maka orang-orang mengira di berbagai tempat bahwa adzan adalah akhir waktu Sahur. 

Selama adzan subuh di Qadian tidak dikumandangkan bersamaan dengan terbitnya fajar melainkan dikumandangkan selang waktu sebelumnya, maka dalam kondisi-kondisi seperti ini Hadhrat Masih Mau’ud as [dalam hal berhenti makan sahur] tidak memfokuskan pada adzan melainkan tetap melanjutkan makan sahur hingga jelas terbitnya fajar.

Tujuan syariat dalam masalah ini bukanlah supaya seseorang meninggalkan makan-minum sejak awal fajar berdasarkan hitungan Hisab Ilmiah. Melainkan, ketika telah jelas cahaya pagi mulai terbit dalam pandangan umumnya manusia maka barulah ia harus menghentikan makan sahurnya. Inilah yang bisa dijelaskan dari kata يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ‘telah jelas bagimu’. 

Dalam sebuah Hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, «إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِالَّيْلِ. فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمِ» ‘Adzan Bilal bukan menghentikanmu dari makan sahur karena saat ia adzan masih kategori malam. Teruslah makan tetapi berhentilah saat kamu mendengar Ibnu Maktum mengumandangkan Adzan untuk memanggil orang shalat.’[ Al-Bukhori (no.617) Muslim (no.1092)] Ibnu Maktum seseorang yang buta dan hanya Adzan ketika mendengar banyaknya percakapan orang yang mengatakan hari sudah mulai memasuki fajar.”[ Siratul Mahdi jilid I, bagian dua, halaman 295-296, riwayat 320]

Tahun lalu, saya berkata kepada seorang teman, “Anda telah tetap makan sahur hingga waktu telah lewat”, dan ia pun mengulang puasanya terpengaruh oleh kata-kata saya. Tetapi, jika ia belum melewati waktu yang jelas tersebut ia tetap tak bermasalah dengan puasanya. Ia tidak perlu mengulanginya jika ia mengikuti keterangan di atas. Di negara-negara ini (Barat atau non Muslim), Adzan tidak berkumandang [seperti di Negara-negara Islam]. Maka dari itu, tiap orang penting untuk mengamati dan memeriksa waktu fajar terbit.

Saya hendak menyampaikan perihal contoh pelayanan tamu oleh Hadhrat Masih Mau’ud as saat waktu sahur. Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menulis bahwa istri almarhum Tn. Dr. Khalifa Rashidudin menulis pernyataan melalui Lajnah Imaillah Qadian, “Pada 1903 saya dan Tn. Dr. Khalifa Rashidudin datang ke Qadian dari Rurki dan diizinkan tinggal selama empat hari. 

Kami (istri Tn. Doktor dan suaminya) merasa malu. Tapi, karena pengaruh dan kesan atas kesantunan Hudhur as yang dengan kasih sayang melayani kami sehingga menimbulkan keceriaan pada kami maka kami pun menyantapnya. Sejurus kemudian terdengarlah Adzan. 

Hudhur as bersabda, ‘Lanjutkanlah makan. Waktu masih banyak. Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran, كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ “Makanlah dan minumlah hingga tampak jelas kepadamu benang putih (terang pagi) dari benang hitam (gelap malam) yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah 2: 187) Tetapi, orang-orang tidak mengamalkan hal ini. Teruslah makan jika waktu masih panjang dan Muadzin tak sengaja mengumandangkan adzan sebelum waktunya.’ 

Hudhur as masih tetap bersama kami dan berjalan-jalan [di ruangan itu] sementara kami tengah makan. Tn. Doktor (suami saya) berulang kali meminta beliau as untuk duduk dan memintakan makanan dari pembantu atau meminta saya menyajikan makanan, tapi beliau as menolaknya, bahkan masih memuliakan dan melayani kami dengan kerendahan hati. Di dalam hidangan itu terlihat salen (kuah sayur kental), bihun beserta susu.”[ Siratul Mahdi jilid 2, bagian lima, halaman 202-203, riwayat 1320] (Khotbah Jumat Khalifatul Masih al-Khaamis ATBA 03 Juni 2016 di Baitul Futuh, London)

Puasa bagi Perempuan Yang Menyusui, Hamil, Anak-Anak dan Pelajar
“Di dalam Alquran hanya ada penjelasan tentang larangan berpuasa bagi orang yang sakit dan musafir. Bagi perempuan yang sedang menyusui dan hamil tidak ada perintah seperti ini. Akan tetapi, Rasulullah saw. menetapkannya dalam batas sakit. 

Demikian pula anak-anak yang tubuhnya masih berkembang atau kesehatannya melemah karena sibuk mempersiapkan ujian, termasuk dalam batas sakit juga. Pada hari-hari itu otak mereka terbebani sedemikian rupa sehingga sebagian anak terkadang menjadi stress (yang mengarah kepada kegilaan-pent). Kesehatan seseorang terkadang menjadi rusak. Jadi, apa gunanya berpuasa sekali dan mahrum untuk selamanya”. (Al-Fadhl, jilid 18, nomor 88, halaman 30-31)

Soal: Apa petunjuk bagi seorang pelajar yang sibuk dalam mempersiapkan ujian berkenaan dengan puasa?

Jawab: Kita tidak diperintahkan untuk meninggalkan kesibukan sehari-hari karena puasa. Oleh karena itu, seandainya seseorang tidak mampu berpuasa karena pekerjaan sehari-hari, maka dia termasuk dalam hukum sakit. Akan tetapi, dalam hal ini dia bertanggungjawab sepenuhnya terhadap tindakan-tindakannya dan Allah Taala akan memperlakukannya sesuai niat dan keadaannya. Seolah-olah seseorang menjadi mufti dalam memberikan keputusan tentang keadaannya sendiri. 

“Barangsiapa karena puasa menjadi sakit, meskipun sebelumnya tidak sakit, maka puasanya dimaafkan. Seandainya keadaannya selalu demikian, maka puasa tidak menjadi wajib baginya. Seandainya keadaannya seperti ini dalam musim tertentu, maka puasalah di waktu lain. Ya, bertakwalah dan berpikirlah bahwa bukan hanya alasan, melainkan sakit yang sesungguhnya”. (Al-Fadhl, 22 Mei 1922)

Soal: Ramadhan terkadang tiba pada musim ketika begitu banyak melakukan pekerjaan bertani. Misalnya, menanam benih atau panen. Demikian pula mereka yang mata pencahariannya sebagai buruh, mereka juga tidak dapat berpuasa. Apa petunjuk berkenaan dengan mereka?

Jawab: Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. Orang-orang ini menyembunyikan keadaannya. Setiap orang harus memahami keadaannya dengan ketakwaan dan kesucian. Seandainya seorang buruh dapat berpuasa di suatu tempat, maka lakukanlah demikian. Jika tidak, dia akan termasuk dalam hukum orang sakit. Ketika ada kemudahan, berpuasalah. Arti dari عَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ adalah orang-orang yang tidak mampu”. (Badr, 26 September 1907)

Seorang sahabat bertanya kepada Hadhrat Sahib tentang puasa dalam keadaan sakit Diabetes. Dalam jawabannya, beliau bersabda:

“Dalam keadaan sakit, tidak diperbolehkan berpuasa dan untuk diabetes, puasa merupakan hal yang sangat memudharatkan”. (Al-Fadhl, 15 Juli 1915) (Fiqih Ahmadiyah penterjemah Mln Agus Mulyana)

Post a Comment

0 Comments