Universalitas Islam, Pondasi Kokoh Toleransi dan Perdamaian


Oleh : Mln. Muhammad Hasyim

Al-Quran di berbagai tempat mengklaim bahwa syari’at yang dibawanya adalah syari'at yang universal. Dalam surah Al-A’raf ayat 158 dikatakan mengenai Nabi Muhammad s.a.w., sang pembawa syari’at Islam bahwa:

Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah kepadamu semua.”

Lagi di dalam surah Saba ayat 28 :
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan untuk umat manusia seluruhnya.”

Tentunya setelah adanya klaim tersebut timbul pertanyaan, aspek-aspek mana sajakah di dalam Islam yang menunjukkan keuniversalan ajarannya.

Secara sederhana universalitas Islam dapat diuji dan dibuktikan dari rukun-rukun iman yang wajib diyakini oleh para penganutnya.

Allah S.w.t. - yang disebutkan pada urutan pertama dalam rukun iman - adalah Sang Pencipta alam semesta dan dipahami sebagai Tuhan yang bukan hanya milik suatu agama tertentu saja.

Dia-lah yang telah menciptakan segala sesuatu dan di bawah naungan sifat Rahmaniyyat (Kemaha Pengasihan)-Nya, tanpa diminta pun Dia telah menyediakan segala sarana dan sumber daya kehidupan untuk setiap makhluk, bahkan sejak sebelum mereka diciptakan.

Kemudian di bawah naungan sifat Rahimiyyat (Kemaha Penyayangan)-Nya, Dia mengganjar setiap makhluk sesuai dengan usaha dan jerih payah mereka. Sifat-sifat ini juga berlaku bahkan bagi mereka yang mengingkari-Nya sekalipun.

Jadi ini adalah Sang Rabbul ‘Aalamiin, Tuhan Universal, bukan Tuhan yang hanya untuk suatu bangsa atau suku tertentu saja.

Selanjutnya, fakta bahwa seorang muslim mempercayai semua Nabi Allah S.w.t. juga telah meletakkan suatu pondasi kokoh Universalitas. Al-Quran, kitab suci umat Islam tidak hanya menyebutkan Nabi-nabi yang berasal dari bangsa Arab saja, melainkan juga Nabi-nabi non-Arab yang disebutkan sebagai representasi dari  dunia luar Arab.

Sebagai contoh misalnya Dzul-Kifli a.s. yang namanya tidak pernah terdengar dalam referensi-referensi berbahasa Arab dan Semitic. Beberapa ilmuwan menelusuri nama ini hingga pada sosok Buddha, yang berasal dari Kapeel, yang merupakan ibu kota dari sebuah negara kecil di perbatasan India dan Nepal. Buddha tidak hanya milik Kapeel, namun seringkali disebutkan berasal ‘dari Kapeel’. Ini adalah arti persis dari kata ‘Dzul Kifl’. Dikarenakan di dalam Bahasa Arab tidak ada huruf konsonan ‘P, dan yang paling mendekati adalah ‘fa’, maka Kapeel ditransliterasikan menjadi Kifl.

Keyakinan terhadap Nabi dan pendiri umat lain seperti ini tentunya mendorong seorang Muslim untuk belajar memahami keyakinan dan akidah penganut agama-agama lainnya, lebih lanjut hal ini akan menciptakan sikap hormat kepada para pendiri agama lain dan juga menciptakan penghargaan dan penghormatan setinggi-tingginya kepada semua Nabi. Oleh karena itulah tidak pernah kita menyaksikan seorang Muslim merendahkan, mengolok-olok atau membuat gambar karikatur Nabi Isa a.s., Nabi Musa a.s. atau Nabi-nabi yang lainnya.

Demikian juga selaras dengan itu, Islam pun mengakui semua Kitab-kitab suci terdahulu. Ini juga merupakan sebuah soko guru universalitas.  Allah Ta’ala berfirman :

“Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya.” (Al-Baqarah : 286)

Dengan keyakinan yang seperti ini Umat Islam diberikan motivasi untuk membaca kitab-kitab suci umat terdahulu tersebut dan mengembangkan pemahaman terhadap dasar-dasar akidah para penganut agama lainnya. Cara ini pun merupakan resep yang sangat baik untuk meningkatkan keimanan dan kerohanian.

Konsep penghisaban amal perbuatan manusia di akhirat juga merupakan aspek universalitas lainnya, di mana setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal-amal perbuatan dan niatan-niatan mereka masing-masing selama di dunia. Tidak ada konsep penebusan dosa dalam Islam. Kita semua akan menanggung sendiri konsekuensi dari setiap amal perbuatan kita masing-masing.

Islam adalah satu-satunya agama yang sama sekali menolak gagasan bahwa kebenaran adalah monopoli atau milik dari suatu agama, ras atau bangsa tertentu. Alih-alih demikian, Islam meyakini bahwa petunjuk samawi adalah suatu anugerah Tuhan yang senantiasa menyertai dan menyokong umat manusia di segala zaman.

Al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa tidak ada suatu ras atau bangsa pun yang tidak dianugerahi petunjuk samawi oleh Allah Ta'ala. Tidak ada suatu kawasan pun, tidak pula suatu kaum pun di muka bumi ini yang tidak menerima karunia kedatangan para Nabi dan Utusan Allah S.w.t. sebagaimana firman-Nya :

"Dan tiada suatu kaum pun melainkan telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan.” (Faathir : 25)

Asas yang besar lagi mulia ini membawa kepada kepercayaan bahwa semua agama berasal dari Tuhan, dan bahwa pendiri-pendiri agama itu adalah Rasul-rasul Allah, yang oleh karenanya setiap muslim wajib menghormati dan memuliakan mereka itu semua.

Itulah beberapa pondasi ajaran Universal Islam, dengan mengemukakan semua kebenaran agung itu maka Islam telah mengusahakan iklim persahabatan dan harga-menghargai di antara berbagai agama dan menghilangkan serta membasmi dendam kesumat dan ketegangan yang telah meracuni hubungan antara pengikut-pengikut berbagai agama di seluruh dunia.

Post a Comment

0 Comments