Kesahihan Hadits Cinta Tanah Air Bagian dari Iman

hadits cinta tanah air sebagian dari iman


Seseorang menulis kepada Hazrat Amirul Mukminin, Khalifatul Masih V (aba) bahwa beberapa ulama non-Ahmadi berpendapat bahwa kalimat حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيمَانِ [Cinta tanah air adalah bagian dari iman] yang dikaitkan dengan Nabi Muhammad (saw), sebenarnya tidak berasal dari beliau, dan mereka meminta referensi. Mereka lebih lanjut menulis, "Saya coba mencari rujukannya tetapi tidak menemukannya. Apa yang harus saya katakan kepada ulama non-Ahmadi itu?" 

***
Dalam sebuah surat tertanggal 14 April 2021, Huzur (aba) memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut: 

Hadis Rasulullah saw ini telah diriwayatkan dalam berbagai kitab. Misalnya Allamah Mulla Ali al-Qari telah mencatatnya dalam bukunya Al-Mawdu'aat al-Kabir, Hafiz Syams al-Din Abi al-Khair Muhammad Ibn Abd al-Rahman al-Sakhawi telah menyebutkannya dalam bukunya Al-Maqasid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Mushtahirah alal-Alsinah, dan Allamah Jalal al-Din al-Suyuti telah memasukkannya dalam kitabnya Al-Durar al-Muntathirah fi al-Ahadits al-Mushtahirah

Beberapa ulama klasik menolak hadits ini dengan alasan yang tidak jelas dan dalil yang aneh, malah menghubungkannya dengan beberapa ulama salaf. Namun, semua kritik dan argumen para ulama ini tidak valid mengingat dukungan dari hadis-hadis lain dan ajaran-ajaran yang tercantum dalam Al-Qur'an. Jadi, orang tidak dapat menyangkal bahwa hadits ini sebagai sabda Rasulullah saw semata-mata berdasarkan pandangan para ulama tersebut. 

Mereka berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara cinta kepada negara dengan cinta pada iman, karena orang-orang kafir dan munafik juga mencintai negara mereka meskipun mereka tidak memiliki sedikitpun keimanan. Mereka bertanya, bagaimana mungkin cinta tanah air menjadi bagian dari iman? 

Dalil ulama klasik ini tidak dapat diterima, karena terdapat beberapa hadits Nabi (saw) dalam kitab-kitab hadits shahih, yang pokok bahasannya sama-sama berlaku bagi umat Islam maupun orang kafir dan munafik, sebagaimana bahasan dalam hadits di atas. 

Misalnya terdapat dalam Shahih Bukhari, Hazrat Anas ra bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi (saw) bersabda:

 لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ 

 'Tidak ada seorang pun dari kalian yang bisa menjadi mukmin (sejati) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.' (Sahih Bukhari, Kitab al-Iman) 

Demikian pula, Hazrat Abdullah bin Umar ra meriwayatkan:

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ 

Suatu ketika Rasulullah (saw) melewati seorang laki-laki Anshori dan ia menasihati saudaranya tentang sifat malu [haya']. Kemudian Rasulullah (saw) bersabda, 'Biarkanlah ia, [...] karena malu adalah bagian dari iman." 

Sekarang pertanyaannya, apakah menyukai untuk saudaranya seperti apa yang ia sukai untuk diri sendiri, atau menerapkan sifat haya' hanya untuk orang beriman dan orang kafir dan munafik tidak dapat mendapatkan akhlak ini? Artinya, jika seorang kafir atau munafik menyukai untuk saudaranya apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri, atau jika mereka menanamkan sifat haya', dapatkah dikatakan atas dasar ini bahwa karena akhlak ini juga diterapkan oleh orang-orang kafir dan munafik, maka hadits ini, naudzubillah min dzalik, tidak dapat dikatakan sebagai perkataan dari Nabi saw? 

Selain itu, di dalam Alquran dan hadits terdapat penekanan besar dalam menepati perjanjian dan hal ini telah dianggap sebagai sifat yang terpuji. Jadi, jika seorang kafir atau munafik menjadi orang yang menepati janji, tepatkah kita mengatakan bahwa sikap memenuhi janji bukanlah perintah Alquran atau sabda Nabi (saw), karena orang kafir dan munafik pun dapat melakukan hal yang sama? Jadi, kami sangat tidak menerima bahwa hadits yang memiliki kalimat yang sangat bijaksana yaitu, حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيمَانِ bukanlah sabda Nabi (saw), berdasarkan penjelasan para ulama klasik ini. Hadits ini tentu saja merupakan kalimat beberkat yang diucapkan oleh Nabi (saw) yang dicatat dalam kitab-kitab tersebut di atas. 

Saya cantumkan di bawah ini referensi lengkap kitab-kita tersebut sebagai pengetahuan kalian. 

  • Al-Maqasid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadith al-Musytahirah ‘ala l-Alsinah (Kitab al-Iman) oleh kritikus dan sejarawan al-Imam al-Hafiz Syams al-Din Abi al-Khair Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Sakhawi (wafat 902 H) 
  • Al-Durar al-Muntathirah fi al-Ahadith al-Mushtahirah (huruf ha, bagian 1, hal. 9) oleh ‘Allamah Jalal al-Din al-Suyuti [wafat 911 H] 
  • Al-Mawdu'aat al-Kabir (Urdu Bazar Karachi: Quran Mahal, hal. 193 -197) oleh Mulla Ali al-Qari [wafat 1014 H] 

Post a Comment

1 Comments