Read Time:4 Minute, 30 Second
nabi muhammad, rasulullah, ke langit

Di dalam Alquran surah Bani Israil ayat 91-94 kita mendapati bagaimana orang-orang kafir meminta syarat kepada Rasulullah supaya mereka dapat menerima kenabian Beliau. Syarat ini sebenarnya semacam olok-olok dari mereka, karena permintaan mereka tidak masuk akal. 
Dan mereka berkata, 
  • Kami tidak akan percaya kepadamu (Muhammad) sebelum engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami
  • Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur,
    lalu engkau alirkan di celah-celahnya sungai yang deras alirannya,
  • Atau engkau jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana engkau katakan, 
  • Atau (sebelum) engkau datangkan Allah dan para malaikat berhadapan muka dengan kami,
  • Atau engkau mempunyai sebuah rumah (terbuat) dari emas, 
  • Atau ENGKAU NAIK KE LANGIT. Dan kami tidak akan mempercayai kenaikanmu itu sebelum engkau turunkan kepada kami sebuah kitab untuk kami baca. 
Dan atas permintaan mereka yang tidak masuk akal tersebut Allah memerintahkan Rasulullah untuk menjawab sebagai berikut:
Katakanlah (Muhammad),  سُبْحَانَ رَبِّيْ هَلْ كُنْتُ اِلَّا بَشَرًا رَّسُوْلًا Mahasuci Tuhanku! Aku tidak lain hanyalah seorang manusia, yang diutus sebagai rasul.
Tuntutan ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan perkembangan rohani, yang mereka minta itu semacam olok-olok pada Rasulullah saw. 
Tetapi ada yang menarik dari ayat ini, bahwa ayat ini membantah keyakinan adanya seseorang yang bisa naik ke langit atau surga secara fisik. Termasuk keyakinan bahwa Nabi Isa naik ke langit. 
Pada umumnya umat Islam berpendapat bahwa Nabi Isa naik ke langit secara fisik dan masih hidup, yang kemudian di akhir zaman akan turun dari langit, juga secara fisik.

Tetapi dalam ayat ini Rasulullah secara implisit membantah adanya kemungkinan orang naik ke langit. Bukanlah kebiasaan Allah untuk mengangkat jasmani seorang manusia ke langit atau surga, dan jawaban Rasulullah di sini sangat jelas, beliau hanyalah seorang manusia yang diutus sebagai rasul. 

Jika kita menerima bahwa Nabi Isa naik secara fisik ke langit, maka jawaban Rasulullah saw di atas tidak dapat kita terima, orang-orang Kristen tentu akan menentang kita dan membuat serangan-serangan pada sosok Rasulullah, dengan anggapan bahwa Nabi Isa bisa naik ke langit sedangkan Rasulullah diminta naik ke langit, tetapi beliau menolak. 
Kedua, hal ini juga dapat berarti bahwa jika nabi Isa dapat naik ke langit secara fisik hal itu berarti kita menganggap bahwa Nabi Isa as bukan manusia dan bukan pula seorang Rasul, karena Rasulullah ketika diminta naik ke langit, beliau menjawab bahwa beliau adalah manusia dan beliau adalah Rasul. Jadi ayat di atas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah dan Rasulullah saw menentang kenaikan fisik. 
Terkait dengan ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelakan: 
Seperti telah saya sebutkan di tempat lain, orang-orang kafir di Mekkah juga ingin supaya Sayyidina wa Maulana, Hadhrat Khatamul Anbiya saw melakukan mukjizat ini, yaitu beliau naik ke langit di hadapan mata mereka dan kemudian turun kembali. Balasan yang mereka terima adalah:

سُبْحَانَ رَبِّيْ هَلْ كُنْتُ اِلَّا بَشَرًا رَّسُوْلًا
Artinya hal ini bertentangan dengan hikmah dan keagungan Allah Ta’ala jika kita menunjukkan hal luar biasa di darul ibtila [dunia yang penuh cobaan ini], karena hal demikian akan melemahkan hakikat kepercayaan terhadap hal-hal gaib.

Sekarang aku berkata kepada kalian: perkara yang tidak diperbolehkan bagi Nabi Saw yang merupakan Nabi terbaik, dan juga bertentangan dengan sunnatullah, mengapa bisa dibolehkan bagi Nabi Isa as? Sungguh suatu hal yang tidak hormat jika kita menganggap bahwa hal yang mustahil bagi Rasulullah untuk melakukan sebuah kamaal (keunggulan), tetapi untuk Nabi Isa kita menerimanya. Adakah seorang Muslim sejati menerima penghinaan seperti itu? Sama sekali tidak.
Sekarang kami ingin menjelaskan bahwa Hadiyuna wa Sayyidu Maulana, Khatamul Mursalin saw, telah menjelaskan perbedaan antara Almasih pertama dengan Almasih kedua, tidak hanya menjelaskan bahwa Almasih yang kedua adalah seorang laki-laki muslim dan akan beramal sesuai syariat Al-Qur’an lainnya, dan akan terikat oleh perintah-perintah Furqani seperti puasa, shalat dll, dia akan terlahir dari kalangan umat Islam dan menjadi imam bagi mereka, tidak akan mambawa syariat baru dan dia tidak akan mengaku nabi indipenden, tetapi Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa ada perbedaan mencolok dari segi fisik antara Almasih Pertama dan Almasih Kedua.
Nabi saw melihat Almasih pertama pada malam mi’raj. Menurut hadits yang disebutkan dalam Shahih Bukhari, halaman 489, Nabi muhammad saw menggambarkannya sebagai seorang yang memiliki tinggi sedang, kulit kemerahan, rambut keriting dan berdada bidang. Namun dalam kitab yang sama, Nabi Muhammad saw diriwayatkan telah menggambarkan Almasih kedua sebagai seorang yang berkulit coklat muda warna gandum, dan tidak berambut keriting, melainkan lurus sampai telinga.
Sekarang marilah kita pikirkan. Bukankah kedua ciri khusus yang dipaparkan oleh Rasulullah saw pada Almasih pertama dan Almasih kedua itu cukup meyakinkan kita bahwa Almasih pertama dan kedua adalah dua pribadi yang benar-benar berbeda. Penyebutan keduanya dengan nama ‘ibnu maryam’ merupakan istiarah (metafora) halus yang digunakan karena kesamaan sifat dan kualitas rohani. Jelas sekali bahwa dua orang yang baik dapat mendapatkan nama yang sama karena kesamaan watak dan karakter, begitu juga dua orang jahat dapat dikatakan serupa satu sama lain karena mereka memiliki sifat jahat yang sama.

Umat Islam sering menamai anaknya dengan nama Ahmad, Musa, Isa Sulaiman, Daud dll. Mereka menganggap harapan ini dimaksudkan sebagai pertanda baik bahwa anak-anak mereka juga dapat mengembangkan wujud rohani dan sifat-sifat orang-orang suci tersebut sedemikian utuh dan sempurnanya sampai ia menjadi seolah-olah wujud aslinya.

Sumber: AhmadiAnswer 

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Sir Zafrullah Khan, Sosok yang Mengkritik Pembagian Palestina Tahun 1947 di Majelis Umum PBB
Next post Jika Tuhan itu Ada, Mengapa Ada Anak yang Terlahir Cacat?