Wanita dalam Sorotan Tafsir Al-Quran

Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori (Muballigh Jmt. Kebumen dsk./Jateng 2)

Apa perbedaan perempuan dan wanita? Menurut kbbi.web.id, perempuan (pe·rem·pu·an) berarti: 1. Orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita. 2. Istri; bini. 3. Betina (khusus untuk hewan). Sedangkan keperempuanan (ke·pe·rem·pu·an·an) berarti: 1. Perihal perempuan; 2. Kehormatan sebagai perempuan.

Adapun wanita (wa·ni·ta) diartikan sebagai 1. perempuan dewasa, kaum putri (dewasa); 2. Wanita karier yaitu wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dan sebagainya); sedangkan kewanitaan (ke·wa·ni·ta·an) yang berhubungan dengan wanita; sifat-sifat wanita; keputrian.

Dr. Ike Revita, M.Hum. (Dosen Jurusan Sastra Inggris FIB Universitas Andalas: Harian Singgalang, 30 Juli 2017) dalam menguraikan makna Perempuan dan Wanita menjelaskan bahwasecara spelling¸ perempuan dan wanita sudah pasti berbeda.

Simbol-simbol bunyi yang menyusun kedua kata ini tidak sama. Namun, secara leksikal, dalam KBBI (2008) tidak ada perbedaan antara perempuan dan wanita. Perempuan dimaknai sebagai wanita dan istri. Artinya, makna perempuan dan wanita adalah sama secara semantis.

Dalam etimologi Jawa, wanita berasal dari frasa Wani Ditoto yang berarti “berani diatur”. Kata  wanita dimaknai berdasarkan pada sifat dasar wanita yang cenderung tunduk dan patuh pada lelaki sesuai dengan perkembangan budaya di tanah Jawa pada masa tersebut.

Sementara itu menurut bahasa Sanskerta,  kata perempuan muncul dari  kata per + empu + an. Per memiliki arti makhluk dan Empu berarti mulia, tuan, atau mahir. Dengan demikian perempuan dimaknai sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan atau kemampuan.

Dalam perkembangannya, kata perempuan dan wanita mengalami perubahan di mana wanita mulai bersifat amelioratif atau membaik. Sementara itu, perempuan mengalami penurunan makna menjadi pejoratif atau  memburuk. Ini pulalah sebabnya kenapa ada yang namanya Komnas Perempuan bukan Komnas Wanita dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan bukannya Kementerian Pemberdayaan Wanita.

Yang jelas, pemaknaan wanita dan perempuan secara berbeda tidak terlepas dari pengaruh feodal dan sistem patriakis yang sudah menjadi sejarah. Apa pun itu, baik perempuan atau wanita keduanya mengacu kepada makhluk yang harus  di hormati, disayangi, atau dihargai.

Yang jelas,  sejauh ada manfaatnya, apakah namanya perempuan atau wanita bukan persoalan. Menjadi perempuan atau wanita adalah sebuah karunia yang dapat dimaksimalkan secara luar biasa.

Demikianlah perempuan dan wanita menurut kamus bahasa dan seorang dosen sekaligus pengamat sosial. Bagaimana menurut agama, khususnya agama Islam?

Berikut uraiannya:

Karena Al-Quran adalah sumber pertama dalam ajaran Islam maka kita akan menyoroti masalah ini melalui Kitab tersebut. Karena Kitab tersebut berbahasa Arab maka kita akan mempelajari melalui terjemahannya. Karena terjemahan belum menjelaskan maksud yang sesungguhya maka kita akan mengetahui dari penafsirannya. Maka itu pada kesempatan ini kita akan fokus pada salah satu Kitab Tafsir yang ada.

APAKAH TAFSIR ITU?

Dalam bukunya “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir”, Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1994: 178-179) menjelaskan bahwa ta’rif Tafsir menurut lughat (etimologi) ialah “menerangkan dan menyatakan”. Kata “tafsir” diambil dari kata “tafsirah” yaitu perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit.

Sedangkan menurut istilah (terminology) adalah sebagai berikut:

Selanjutnya Prof. Hasbi mengemukakan beberapa kutipan tentang definisi “tafsir” menurut para ahli:

Kata Al-Kilbiy dalam At-Tashiil: Tafsir itu ialah menyarahkan (dari kata: syarah) Al-Quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apayang dikehendakinya dengan nash-nya atau dengan isyaratnya ataupun dengan tujuannya.

Kata Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan: Tafsir itu ialah menerangkan makna-makna Al-Quran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.

Asy-Syaikh Thahir Al-Jazairi: Tafsir pada hakikatnya ialah menyarahkan lafazh yang sukar dipahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya atau yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah (petunjuk).

Kata Al-Jurjani: Tafsir pada asalnya ialah membuka dan melahirkan. Pada istilah Syara’ ialah menjelaskan makna Ayat, urusannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya diturunkan Ayat, dengan lafazh yang menunjuk kepadanya secara terang.

SUMBER-SUMBER TAFSIR

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam bukunya “Barakatud Du’a” (Keberkatan Do’a) [2015: 24-27] menjelaskan tujuh sumber (dasar/kriteria) penafsiran A-Quran:

Kriteria pertama: Al-Quran

Untuk penafsiran yang benar adalah Al-Quran itu sendiri.

Oleh karena itu jika kita mengartikan satu Ayat Al-Quran maka hendaknya kita harus melihat apakah ditempat lain Ayat Al-Quran mengukuhkan arti itu atau tidak. Apakah Ayat-ayat yang lain menunjang dan memberikan kesaksian atas kebenaran arti itu atau tidak.

Karena satu hal yang tidak mungkin di dalam Al-Quran ialah adanya pertentangan satu Ayat dengan Ayat lain. Tandanya bagi Ayat yang benar adalah Ayat-ayat Al-Quran yang lainnya mendukung dan mengukuhkannya.

Kriteria kedua: Rasulullah s.a.w.

Tafsir dari Rasulullah s.a.w. sendiri. Tidak ada keraguan lagi bahwa orang yang paling mengerti dan memahami Al-Quran adalah Nabi Besar Muhammad Rasulullah s.a.w.. Jika satu arti dari Ayat Al-Quran terbukti diartikan oleh Rasulullah s.a.w. maka adalah kewajiban seluruh ummat Islam untuk menerima arti itu tanpa keraguan dan keengganan sedikitpun.

Kriteria ketiga: Para Sahabat r.a.

Tafsir yang diberikan oleh para sahabat r.a.. Tidak diragukan lagi bahwa para sahabat r.a. adalah pewaris utama dari nur-nur ilmu nubuwat Rasulullah s.a.w.. Merekalah yang menerima cahaya ruhani langsung dari Rasulullah s.a.w.. Karunia Allah s.w.t. yang besar pun menyertai mereka. Dalam memahami Al-Quran, Allah s.w.t. selalu menolong menyempurnakan daya faham mereka, mereka tidak hanya membaca dan berbicara tetapi pengamalan ajaran Al-Quran telah menjadi darah daging mereka dan mereka mempunyai pengalaman ruhani yang tinggi.

Kriteria keempat:

Merenungkan isi Al-Quran dengan jiwa sendiri yang telah mencapai kesucian, sebab jiwa yang suci mempunyai keserasian dengan Al-Quran, seperti yang difirmankan Allah s.w.t.:

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak seorang pun bisa menyentuh Al-Quran kecuali orang yang telah disucikan” (QS 56/Al-Waqi’ah: 80)

Yakni ilmu hakikat dan makrifat Al-Quran akan terbuka bagi orang-orang yang hatinya bersih dan suci, karena antara kesucian hati manusia dengan kehalusan ilmu makrifat Al-Quran terdapat hubungan yang erat satu sama lain. Dia akan mengenalnya, merasakannya dan hati nuraninya akan mengatakan, “Inilah arti yang benar”.

Cahaya hati nuraninya merupakan pelita untuk menguji mana yang benar dan mana yang salah, dan merupakan satu alat untuk mencapai kebenaran Al-Quran. Oleh karena itu, janganlah seseorang dengan sombong dan takabbur menyatakan bahwa dirinya adalah ahli tafsir Al-Qur’an sebelum dia melewati jalan lurus dan sempit yang telah dilalui oleh para nabi dahulu dan sebelum dia mempunyai pengalaman-pengalaman ruhani. Jika ia tidak memperhatikan hal itu maka tafsirnya akan menjadi tafsir bir-ro’yi (penafsiran yang didasarkan atas nafsunya sendiri) yang dilarang oleh Rasulullah s.a.w.:

من فسر القران برايه فاصاب فقد اخطا

Man fassarol-Qur-aana bi-ro-’yihii fa-ashooba faqod akh-tho-a.

“Barangsiapa yang menafsirkan Al-Quran atas pendapatnya sendiri, sekalipun dia betul dalam pandangannya, dia tetap melakukan kesalahan” (HR Tirmidzi).

Kriteria kelima: Bahasa Arab

Bahasa Arab sendiri, sebagai bahasa yang dipergunakan dalam Al-Quran. Ini juga merupakan satu alat penguji meskipun kita tidak perlu mempergunakannya dengan seksama karena kata-kata Al-Quran sendiri cukup untuk mengartikan Ayat-ayat yang lain.

Jadi tidak perlu untuk menyelidiki ilmu logat lebih dalam lagi. Tapi kadang-kadang mempelajari ilmu logat bahasa Arab bisa membukakan arti Al-Quran yang lain yang tadinya tersembunyi.

Kriteria keenam: Nizam Ruhani dan Jasmani

Untuk memahami susunan nizam ruhani perlu juga memahami susunan jasmani karena di dalam kedua susunan nizam Allah s.w.t. ini terjalin hubungan yang selaras dan bersamaan.

Kriteria ketujuh:

Muhadditsin (Penerima Wahyu, Ilham dan Kasyaf)

Wahyu para Wali, orang suci, dan mimpi serta kasyaf para muhaditsin. Kriteria ini seolah-olah mencakup seluruh kriteria. Karena penerima wahyu muhaddatsiah merupakan refleksi yang benar dari Rasulullah s.a.w. yang diikutinya. Seorang Muhaddats melakukan peranan seorang nabi hanya saja ia tidak mempunyai peraturan sendiri. Semua sifat diberikan kepada seorang muhaddats kecuali sifat kenabian, dan seorang muhaddats tidak membawa peraturan baru. Kepadanya diperlihatkan ajaran yang benar. Tidak hanya itu saja tapi semua hal yang terjadi pada Rasulullah s.a.w. juga terjadi pada seorang muhaddats, dan itu sebagai suatu karunia dan rahmat Ilahi. Seorang muhaddats mempunyai keinginan seperti gurunya yaitu Hadhrat Rasulullah s.a.w.. Ajaran-ajaran Rasulullah s.a.w. yang diturunkan kepadanya merupakan rahmat dan karunia Tuhan yang terkandung di dalam rahmat dan karunia ruhani Rasulullah s.a.w..

APAKAH AL-QURAN ITU?

Sekarang tentang Al-Quran. Tentang hal ini umumnya masyarakat sudah memahami.

Menurut Etimologi (Bahasa)

Dalam Muqaddimah “Al Qur’an dan Terjemahnya” Depag RI (1993: 17) menjelaskan bahwa “Qur’an” menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti “bacaan”, asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk mashdar dengan arti isim maf’ul yang maqru (dibaca).

Sedangkan, Malik Ghulam Farid (editor Tafsir) [2014: 132] menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an diderivasi dari qara’a yang berarti: ia membaca; ia menyampaikan atau memberi pesan; ia mengumpulkan benda itu (Catatan Tafsir No. 207B).

Menurut Terminologi (Istilah)

Setelah mengetahui arti kata “Qur’an”, sekarang mari kita cari tahu tentang definisi “Qur’an” dari segi istilah.

Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1994: 3) mengutip pendapat beberapa ahli, di antaranya:

Asy-Syafi’i: “(Al-Qur’an) itu nama resmi bagi kalamullah yang diturunkan kepada (Nabi) Muhammad (s.a.w.).”

As-Sayuthi: “Al-Qur’an itu kalamullah yang diturunkan kepada (Nabi) Muhammad (s.a.w.), yang tak dapat ditandingi oleh yang menentangnya, walaupun sekedar sesurat saja daripadanya.”

Asy-Syaukani: “Al-Qur’an itu kalamullah yang diturunkan kepada (Nabi) Muhammad (s.a.w.), yang ditilawatkan dengan lisan lagi mutawatir.

Sementara itu Malik Ghulam Farid (2014: 132) berdasarkan beberapa arti “Qur’an”, beliau mendefinisikan “Al-Qur’an” adalah sebuah kitab yang dimaksudkan untuk dibaca, pesan yang harus diteruskan dan disampaikan kepada dunia, yang memuat segala kebenaran, khazanah ilmu yang mengandung segala kebenaran abadi yang terkandung dalam kitab-kitab wahyu terdahulu, juga segala kebenaran yang diperlukan umat manusia pada setiap zaman dan dalam seriap keadaan (Catatan Tafsir No. 207B).

Untuk tema ini lebih lanjut, silahkan baca tulisan saya: “Nuzulul Qur’an pada Bulan Ramadhan: Sejarah Awal dan Akhir Turunnya Al-Qur’an” dalam www.islam-damai.com.

BERBAGAI MACAM KITAB TAFSIR

Dalam “Al-Quran dan Terjemahnya: Juz 1-30” Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia yang diterbitkan oleh Gema Risalah Press Bandung (edisi revisi) tahun 1992, dimuat daftar beberapa Kitab Tafsir sebagai sumber bacaan yaitu antara lain:

Tafsir Al-Manaar (Muhammad Rasyid Ridha), Tafsir Al-Kasysyaf (Abul Qaasim Jaarullah Az-Zamakhsyari), Tafsir Ath-Thabari (Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath-Thabari), Tafsir Al-Maraaghi (Ahmad Mushthafa Al-Maraaghi), Tafsir Mafaathihul Ghaib (Abdullah Muhammad Ath-Thabarastani Fakhruddin Ar-Razi), Tafsir Anwaarut Tanzil (Zadhi Nashiruddin Al-Baidhawi), Tafsir Jalalain (Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi), Tafsir As-Su’uud (Abu As-Su’uud), Ruuhul Bayaan fii Tafsiiril Qur-aan (Isma’il Haqqi), Tafsir Ruuhul Ma’ani (Allaama Al-Alusy), Tafsir Al-Wadhih (Muhammad Mahmud Hijazy), Fii Dzilaalil Qur-aan (Sayyid Quthub), Terjemah Al-Quran (Prof. Mahmud Junus), Tafsir Al-Furqaan (A. Hasan), An-Nur/Tafsir Quraanul Majid (Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy), Tafsir Quraan (H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.), The Holy Quraan (Maulana Muhammad Ali, M.A.), The Holy Quraan (A. Jusuf Ali), The Holy Quraan (Maulwi Sher Ali) dan The Holy Quraan (Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad).

WANITA DALAM SOROTAN TAFSIR

Setelah kita mengetahui tiga kata dan istilah yang menjadi objek tulisan ini yaitu “perempuan dan wanita”, “tafsir” dan “Al-Quran”, maka kini kita akan memasuki tema inti yaitu “Perempuan/Wanita dalam Sorotan Tafsir Al-Quran”.

Dari sekian banyak Kitab Tafsir tersebut kita akan fokus kepada sebuah Tafsir yang terkait dengan beberapa Kitab Tafsir di atas, khususnya Kitab Tafsir The Holy Quraan (Maulwi Sher Ali) dan The Holy Quraan (Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad), kitab itu bernama: “Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Singkat” karya (Editor) Malik Ghulam Farid. Neratja Press: Jakbar, 2014.

Dalam indeksnya pada bagian “wanita”, kita temukan beberapa poin yaitu:

Persamaan hak-dengan kaum pria, 3:196 (549); 16:98 (1576); 33:36 (2355);

Fungsi-fungsi wanita, 2:188 (212);

Perlakuan terhadap wanita, 4:20 (580-581).

Mari kita telusuri satu demi satu penafsiran tersebut:

Persamaan Hak Wanita dengan Kaum Pria

QS 3/Ali ‘Imran: 196:

فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأُدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ

Maka Tuhan mereka mengabulkan doa mereka seraya berfirman, “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal dari antara kamu, baik laki-laki, maupun perempuan. Sebagian kamu adalah dari sebagian lain (Ba’dhukum-mim-ba’dhi).

Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari rumah-rumahnya, yang ditimpa kesusahan pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, niscaya Aku akan menghapuskan dari mereka keburukan-keburukannya dan niscaya Aku akan memasukkan mereka ke dalam kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai sebagai ganjaran dari Allah, dan di sisi Allah ada sebaik-baik ganjaran.”

Tafsir Ayat tersebut adalah bahwa kata-kata “Ba’dhukum-mim-ba’dhi” (sebagian kamu adalah dari sebagian lain), dimaksudkan untuk menekankan persamaan kedudukan kaum pria dan kaum wanita (Catatan Tafsir No. 549).

QS 16/An-Nahl: 98:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa berbuat amal saleh dari antara laki-laki maupun perempuan, dan ia adalah orang yang beriman, tentulah akan Kami berikan dia kehidupan yang suci; dan pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka ganjaran yang lebih baik, sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”

Tafsir Ayat tersebut adalah bahwa Ayat ini mengakui persamaan hak kaum laki-laki dan kaum wanita, dan menjanjikan pembagian yang sama dalam nikmat-nikmat Ilahi kepada kedua golongan itu (Catatan Tafsir No. 1576).

QS 33/Al-Ahzab: 36:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang berserah diri, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang patuh, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang merendahkan diri,laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kesuciannya, serta laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka semua ampunan dan ganjaran yang besar.

Tafsirnya ialah bahwa Ayat ini mengandung sangkalan yang paling jitu terhadap tuduhan bahwa Islam memberi kedudukan yang rendah terhadap kaum wanita. Menurut Al-Qur’an, kaum wanita berdiri sejajar dengan kaum pria dan mereka dapat mencapai ketinggian-ketinggian rohani yang dapat dicapai kaum pria, dan menikmati semua hak politik dan sosial yang dinikmati kaum pria. Hanya, karena lapangan kegiatan mereka berbeda maka kewajibankewajiban mereka lain. Perbedaan dalam tugas kedua golongan jenis kelamin inilah, yang dengan keliru atau mungkin dengan sengaja, telah disalahartikan oleh pengecam-pengecam yang tidak bersahabat terhadap Islam, seolah-olah memberikan kedudukan lebih rendah kepada kaum wanita.

Fungsi-fungsi Wanita

QS 2/Al-Baqarah:188:

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“… mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.”

Tafsirnya ialah bahwa betapa indahnya indahnya Al-Qur’an telah melukiskan dengan kata-kata singkat ini hak dan kedudukan wanita dan tujuan serta arti pernikahan dan hubungan suami istri.

Tujuan pokok perkawinan, demikian Ayat ini mengatakan ialah: kesentausaan, perlindungan, dan memperhias kedua pihak, sebab memang itulah tujuan mengenakan pakaian (QS.7: 27 dan QS.16: 82). Sudah pasti tujuannya bukan hanya semata-mata pemuasan dorongan seksual.

Suami-istri sama-sama menjaga satu sama lain terhadap kejahatan dan keburukan (Catatan Tafsir No. 212).

Perlakuan terhadap Wanita

QS 4/An-Nisa’: 20:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mewarisi perempuan-perempuan secara paksa, dan jangan pula kamu menahan mereka dengan aniaya agar kamu dapat mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali jika mereka itu melakukan perbuatan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka (‘aa-syiruuhunna) secara baik, karena jika kamu tidak menyukai mereka, maka boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan banyak kebaikan di dalamnya.”

Tafsirnya ialah bahwa Keluarga orang yang meninggal tidak boleh menghalangi jandanya untuk mengikat tali perkawinan yang baru dengan tujuanagar mereka menguasai harta-bendanya; tetapi, mereka boleh menghalanginya dari berbuat demikian jika ia menginginkan kawin dengan seseorang yang mempunyai tabiat yang tercela.

Jika ditujukan kepada para suami maka ayat ini akan berarti bahwa andaikata istri-istri mereka tidak mau hidup bersama suami mereka dan ingin bercerai dengan mereka dengan jalan khulak, si suami hendaknya jangan menghalangi maksud mereka oleh ketamakan akan uang mereka. Tetapi mereka boleh menghalangi jika ada gejala istri-istri mereka akan terperosok ke dalam perbuatan yang jelas-jelas keji (Catatan Tafsir No. 580).

Rasulullah s.a.w. diriwayatkan bersabda, “Yang terbaik dari antara kamu sekalian adalah dia yang berlaku paling baik terhadap istrinya” (HR Bukhari).

Kata-kata ‘aa-syiruuhunna itu dari ukuran mufaa‘alah dan menunjukkan perbuatan timbal-balik; suami dan istri, kedua-duanya, diperintahkan hidup dengan rukun satu sama lain dan cinta mencintai (Catatan Tafsir No. 581).

SEKEDAR MENGENAL KITAB TAFSIR DAN EDITORNYA

 Tafsir yang menyoroti tentang “wanita” tersebut di atas berasal dari “Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Singkat”, yang merupakan terjemahan dari “The Holy Qur’an English Translation & Commentary” dengan editornya Maulana Malik Ghulam Farid, yang diterbitkan oleh Islam International Publication Limited Islamabad, Sheecphatch Lane, Telford, Surrey GU 10 2AQ England.

Menurut Editornya, pekerjaan menyiapkan The English Commentary ini beberapa tahun yang lalu telah dipercayakan kepada Panitia Penerjemah yang terdiri atas Hadhrat Maulvi Syer Ali (r.a.), Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (r.a.) dan penulis “Kata Pendhuluan” ini yaitu Malik Ghulam Farid, sedang pekerjaan landasan telah dilaksanakan terlebih dahulu oleh Hadhrat Maulvi Syer Ali (r.a.).

Penyelesaian “Tafsir” memakan waktu beberapa tahun lamanya. Segera sesudah pemisahan India-Pakistan pada tahun 1947, Hadhrat Maulvi Syer Ali (r.a.) wafat dan Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (r.a.) ditarik untuk menyelesaikan tugas-tugas penting lainnya, sedang ketika itu catatan Tafsir hanya untuk Sembilan Surah pertama saja sempat terbit. Sehingga penulis (Maulana M.G. Farid) ditinggal seorang diri untuk melanjutkan dan menyelesaikan karya ini.

Tafsir tersebut meliputi kurang lebih 3000 halaman berikut Pengantar yang amat berbobot karya Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (r.a.), Khalifatul Masih II dan Putra Yang Dijanjikan, diterbitkan pada tahun 1963 dalam bentuk tiga jilid tebal. Kitab yang setebal demikian sudah jelas amat sukar bagi pembaca yang awam untuk mempergunakannya sehari-hari secara dawam, padahal keperluan edisi ringkas amat dirasakan. Sedangkan Kitab ini dimaksudkan untuk memenuhi keperluan itu.

Beruntung sekali bahwa pada masa-antara itu, terjemahan dan tafsir singkat Ayat-ayat Al-Quran karya Hadhrat Khalifatul Masih II (r.a.) telah terbit dalam bentuk “Tafsir Saghir” (Tafsir Kecil/Ringkas). Penyunting Tafsir ini telah berusaha keras memasukkan ke dalam Kitab ini segala sesuatu yang berfaedah lagi penting seperti terdapat dalam “Tafsir Saghir” tersebut, khususnya bagi kalangan tertentu yang terhadap mereka jalan pikiran modern dan ilmu pengetahuan Barat member dampak yang sama sekali tidak baik.

Penyunting (Maulana M.G. Farid) juga telah memeriksa dengan teliti terjemahan Ayat-ayat Al-Quran edisi tahun 1954 yang dicetak di Belanda dengan bertumpu pada “Tafsir Saghir” dalam bahasa Urdu.

Selanjutnya Sang Editor menjelaskan bahwa Adapun mengenai catatan penjelasan atau tafsir, setiap catatan bersandar pertama-tama pada isi dan jiwa Al-Quran seperti diungkapkan pada berbagai tempat lain dalam Al-Quran. Tempat kedua, sesudah Al-Quran diberikan kepada Hadits dan kemudian baru datang giliran kamus-kamus bahasa Arab terkemuka. Terakhir sekali dicari bantuan dari kesaksian-kesaksian sejarah yang perlu sekali untuk menjelaskan kejadian-kejadian sejarah yang terkenal.

Editor (Maulana M.G. Farid) juga menjelaskan bahwa dalam member momor-nomor Ayat-ayat Al-Quran, kami telah mengikuti sistem yang lazim terdapat pada terbitan-terbitan Al-Quran yang sudah baku: Basmalah dihitung sebagai Ayat pertama setiap Surah, sedangkan dalam terbitan-terbitan lainnya, Ayat sesudah Basmalah dihitung sebagai Ayat pertama Surah itu. Surah ke-9 merupakan kekecualian dalam kaedah tersebut. Surah tersebut tidak dimulai dengan Basmalah dan oleh karena itu penomoran kami dalam Surah tersebut sama dengan terbitan-terbitan Al-Quran lainnya.

Sumber: 

Ahmad a.s., Hahdrat Mirza Ghulam (2015). Barakatud Du’a (Berkat dari Doa). Jakarta Barat: Neratja Press.

Ash Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi (1994). Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Agama Republik Indonesia (1992). Al-Quran dan Terjemahnya: Juz 1-30 Kitab Suci Al-Qur’an. Bandung: Gema Risalah Press (edisi revisi).

Farid, Malik Ghulam (Editor) [2014]. Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakbar: Neratja Press.

kbbi.web.id

*Penulisan nomor ayat Alquran dalam makalah ini berdasarkan Hadis Nabi Besar al-Mushthafa Muhammad s.a.w.. Riwayat Sahabat Ibnu Abbas r.a. yang menunjukkan bahwa setiap basmalah pada tiap awal surah adalah ayat pertama surah itu:

كان النبيّ صلّى الله عليه و سلّم لا يعرف فصل السورة حتّى ينزل عليه بسم الله الرحمن الرحيم

“Nabi s.a.w. tidak mengetahui pemisahan antara surah itu sampai turun kepadanya bismillaahir rohmaanir rahiim.” (HR. Abu Daud, “Kitab Shalat”. dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak”)

Post a Comment

0 Comments