PILKADA SERENTAK & PEMERINTAHAN YANG BAIK MENURUT ISLAM

Oleh: Mln. Sholehudin

Pada 9 Desember 2020, pemerintahan kita akan kembali menyelenggarakan Pilkada serentak. Pilkada tahun ini menjadi gelombang keempat setelah  pelaksanaan tahun 2015, 2017 dan 2018. Pilkada ini akan diikuti 270 daerah terdiri dari 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten.

Semula Pilkada 2020 akan berlangsung tanggal 23 September. Tetapi karena ada pandemi covid-19, maka Pilkada akan dilaksanakan 9 Desember mendatang. Artinya, Pilkada mundur tiga bulan dari jadwal yang telah ditentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

PEMERINTAHAN YANG BAIK MENURUT ISLAM

Dalam Islam, konsep dasarnya adalah segala kedaulatan atas seluruh alam adalah milik Allah. Tetapi manusia, sebagai wakil-wakil Tuhan di bumi, diberi wewenang pada bidang-bidang tertentu, sebagai bentuk amanah yang mereka pertanggung jawabkan kepada Allah. Rasulullah saw bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.

Dua Jenis Kepemimpinan Menurut Islam

Pertama: Khilafah

Dari studi Alquran mengungkapkan bahwa Islam meyakini dua jenis pemerintahan, yaitu pemerintahan yang memiliki cita-cita dan tujuan yang sama, namun berbeda dalam lingkup otoritas pemerintahan dan cara pembentukannya. Cita-cita lainnya adalah pemerintahan di mana kepala pemerintahannya menjalankan otoritas sekuler dan spiritual.

Difirmankan dalam Alquran:

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah orang-orang yang sebelum mereka; dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka; dan niscaya Dia akan menggantikan mereka sesudah ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka akan menyembah Aku, dan mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu dengan Aku. Dan barangsiapa ingkar sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka. (QS An-Nur [24]: 56)

Jabatan khalifah dilakukan dengan pemilihan. Ia dapat dipilih secara langsung, atau seperti yang terjadi dalam masa Umar ra, Khalifah Kedua Islam, beliau diusulkan oleh pendahulu beliau, usulan itu kemudian disetujui oleh umat Islam setelah wafatnya Khalifah yang menjabat.

Khalifah memegang jabatan seumur hidup. Ia tidak diperkenankan untuk turun tahta, dan tidak juga bisa dituntut untuk melakukannya. Ia harus mengabdikan seluruh waktunya, semua kapasitas dan kemampuannya untuk melayani umat. Ia terikat oleh hukum-hukum Allah dan pada prinsip-prinsip yang mendasarinya. Ia harus melaksanakan hukum-hukum itu baik yang tersurat maupun tersirat. Dan memastikan semuanya ditegakkan di dalam pemerintahan secara semestinya.

Seorang Khalifah harus menetapkan berbagai isu-isu kebijakan dan semua permasalahan mengenai urusan administrasi setelah bermusyawarah dengan para perwakilan rakyat yang dipilih, baik untuk tujuan memberitahukan mereka dalam mengambil keputusan terkait masalah yang dihadapi, ataupun untuk melatih para wakil dalam menjalankan urusan publik (QS Ali Imran [3]: 160).

Pelaksanaan urusan publik dengan cara musyawarah dari orang-orang yang berkompeten merupakan karakteristik umat Islam (QS Asy-Syura [42]: 39). Dari sisi masyarakat, kerjasama dan taat kepada mereka yang dipercaya sebagai pemimpin yang menjalankan urusan publik adalah sama wajibnya dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS An-Nisa [4]: 60)

Jadi, lembaga Khilafat memiliki karakter sekuler dan juga religius. Khalifah adalah wakil yang dipilih rakyat, dan ia memiliki janji dukungan dari Allah selama lembaga tersebut mempertahankan karakter yang diajarkan Al-Qur’an, bukan khalifah yang hanya sekedar gelar, seperti yang sering terjadi dalam sejarah di dunia Islam.

Kedua: Kepemimpinan sebagai Wakil Rakyat

Jenis pemerintahan yang lainnya adalah yang di dalamnya juga terdapat kepala pemerintah yang menjabat sebagai wakil rakyat, yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dengan yang dimiliki khalifah; tetapi terkait jabatannya, ruang lingkup kekuasaan, dan batasan-batasannya, terikat oleh ketentuan-ketentuan Konstitusi di mana ia terpilih sebagai pemimpin, dan ia harus menjunjung tingginya. Dalam hal ini, berhubungan dengan perannya sebagai wakil rakyat, Alquran mengatakan:

“Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu memutuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah menasihatimu sebaik-baiknya dengan cara itu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS An-Nisa [4]: 59)

Dalam konteks ini jelas bahwa kedaulatan dipegang oleh rakyat. Mereka diperintahkan untuk mempercayakan kepada orang yang paling pantas untuk menjalankan tanggung jawab yang menyertainya. Sehingga pelaksanaan pemilihan dengan tujuan memilih perwakilan untuk melaksanakan berbagai tanggung jawab meningkat menjadi sebuah kepercayaan yang suci.

Ayat ini selanjutnya menyatakan bahwa ketika Anda diminta untuk menghakimi menjalankan otoritas terhadap rakyat, maka Anda harus melakukannya dengan adil dan bijaksana.

Dua kewajiban ini merupakan inti dari tata laksana pemerintahan yang baik, pertama yang ditujukan kepada masyarakat untuk memilih wakil mereka dengan bijak, dan satu lagi diarahkan kepada pemimpin yang dipilih supaya menjalankan wewenangnya secara adil dan bijaksana.

Ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa ‘Allah sebaik-baiknya pemberi peringatan dan bahwa Allah adalah maha mendengar lagi melihat’. Hal ini menyiratkan bahwa umat Islam mungkin saja, seiring berjalannya waktu, tergoda untuk meninggalkan dua prinsip fundamental ini, dan mencoba sistem pemerintahan lain, namun mereka diperingatkan bahwa apa yang telah diperingatkan oleh Allah kepada mereka adalah metode yang paling baik dan paling menguntungkan jika tanggung jawab ini dapat dilaksanakan. Allah akan mengawasi pelaksanaan tanggung jawab ini, dan mereka yang memegang amanah akan bertanggung jawab kepada Allah.

Pemimpin sebuah pemerintahan Islam kebal dari tindakan peradilan sehubungan dengan pemberhentian tugas publiknya, tetapi terkait kewajiban yang dilakukannya dalam kapasitas pribadinya sebagai warga negara, ia tidak memiliki hak istimewa, ia tunduk pada proses peradilan yang sama yang berlaku untuk semua warga negara lainnya.

Tugas pemerintahan Islam

Tugas-tugas pemerintahan Islam tidak berbeda dengan pemerintahan atau kepala pemerintah lain, namun tugas tersebut harus dipahami dan dilaksanakan dengan semangat keislaman dalam setiap lini kehidupan. Hal ini diungkapkan secara ringkas dalam sabda Rasulullah saw. Setiap dari kalian adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.

Seorang penguasa bertanggung jawab kepada rakyatnya, setiap kepala keluarga bertanggung jawab atas anggota keluarganya, setiap wanita bertanggung jawab atas keluarga dan anak-anak mereka, dan setiap pelayan bertanggung jawab atas properti milik tuannya di bawah pengawasannya.

Islam menganggap pemerintah sebagai gembala yang bertanggung jawab atas sebuah kawanan domba, dan sebagai gembala, ia berkewajiban untuk melindungi dan merawat kawanan domba tersebut dan memenuhi semua kebutuhannya, menjaga domba-domba itu agar tidak hilang arah, menjaga mereka dari serigala, memberi mereka makanan dan tempat tinggal, dan melindungi mereka dari wabah dan penyakit. 

Jadi inilah kewajiban pemerintahan Islam, yaitu melindungi rakyatnya dari pertikaian, kekacauan, gangguan, dan penindasan; melindungi mereka dari serangan luar, dan menyediakan kebutuhan intelektual dan material. Tugas utama pemerintahan Islam adalah melindungi keamanan negara, dan memelihara pengaturan pertahanannya dalam kondisi yang tepat. (QS Ali-Imran [3]: 201)

Islam merupakan pelopor pertama konsep negara sejahtera. Martabat para buruh sangat diperhatikan. Dalam satu kesempatan, Rasulullah saw memegang tangan-tangan kasar seorang buruh di antara telapak tangannya yang lembut, dan beliau memijatnya dengan lembut.

Sambil mengamati, beliau bersabda “Tangan-tangan ini sangat diridhai Allah.” Islam menetapkan pemerintahan Islam bertugas untuk menjamin ketersediaan kebutuhan hidup rata-rata bagi semua warganya. Hal ini dianggap sebagai persyaratan minimum bagi organisasi sosial yang baik. (QS. Taha [20]: 119-120)

Pada suatu kesempatan, Umar ra, semasa menjabat sebagai Khalifah, secara tidak sengaja mendengar kabar bahwa di luar kota Madinah ada seorang wanita beserta ketiga anaknya telah ditinggalkan tanpa perbekalan yang layak selama dua hari, karenanya ia tidak memiliki sarana untuk itu.

Mendengar cerita tersebut, Umar segera kembali ke Madinah, kemudian mengumpulkan tepung, mentega, daging, dan kurma dalam kantung besar dan meminta bantuan seorang pelayan untuk mengangkat kantung itu ke punggung Umar. Tetapi, pelayan tersebut melarang beliau dan menawarkan diri untuk membawa buntalan itu sendiri.

Umar menolak tawarannya dan berkata, “Tentu saja engkau dapat membawa kantung ini untuk membantuku, tetapi siapa yang akan memikul beban saya pada hari kiamat?” Umar akhirnya membawa bekal untuk wanita tersebut yang lantas memuji kebaikan beliau, seraya berkata: “Anda jauh lebih pantas menjadi Khalifah daripada Umar.” Beliau tidak mengetahui nasib umatnya.” Khalifah umar membalas dengan lembut sambil tersenyum, “Wahai ibu, nampaknya Umar tidak begitu buruk”.

Kewajiban Pemerintah Islam memberikan bekal perkembangan intelektual rakyatnya telah ditekankan oleh Rasulullah saw sejak awal. Beliau sangat memperhatikan hal ini sehingga setelah Perang Badar beliau mengumumkan bahwa setiap tawanan perang yang dapat membaca bisa bebas jika mereka mengajar sepuluh anak Muslim dalam hal membaca dan menulis.

Tugas ini diteruskan dengan baik oleh para Khalifah beliau, sehingga dalam waktu singkat para pengendara unta di padang pasir, yang dipandang rendah oleh Iran dan Byzantium, telah menjadi guru dunia dan pembawa obor pencerahan.

Ketetapan membuat administrasi peradilan pada tingkat yang sangat tinggi segera dibuat setelah Rasulullah saw, dengan mempercayakannya kepada seorang Kepala Eksekutif di Madinah. Umar ditunjuk sebagai salah satu hakim, dan Nabi saw sendiri acapkali juga melakukan fungsi itu. Alquran menetapkan sebuah kondisi keyakinan dalam Islam bahwa seorang Muslim harus menerima hasil peradilan dari suatu perselisihan, dan tidak menaruh keberatan dalam hati dari hasil akhir peradilan yang ditetapkan, dan ia harus melaksanakan hasil itu sepenuhnya. (4: 66).

Selain perlindungan terhadap keberlangsungan proses administrasi peradilan yang tertib, Rasulullah saw juga memperingatkan dengan sangat tegas bahwa pihak manapun yang memperoleh keputusan yang menguntungkannya seharusnya tidak menganggap dirinya memiliki hak yang sah atas pokok putusan jika ternyata ia tidak berhak atas hak tersebut.

Fakta penghakiman semata yang menguntungkannya tidak akan melindunginya dari kesimpulan yang salah, maka dia akan bersalah jika mengambil alih apa yang sebenarnya ia tidak berhak. Beliau menambahkan bahwa jika ada pihak yang secara keliru mengambil alih apapun di bawah corak peradilan, ia hanya akan membawa masalah.

Para hakim harus menjalankan tugasnya mereka dengan beracuan kepada netralitas dan keadilan yang tinggi. Pihak manapun tidak diperkenankan merusak jalannya keadilan melalui penyuapan (QS Al-Baqarah [2]: 189) atau memberikan bukti palsu (QS Al-Furqon [25]: 73). Perintah yang lebih tegas dan komprehensif dijabarkan sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang menjadi penegak keadilan dan jadilah saksi karena Allah walaupun bertentangan dengan dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat. Baik ia orang kaya atau miskin, maka Allah lebih memperhatikan kepada keduanya. Karena itu janganlah kamu menuruti hawa nafsu agar kamu dapat berlaku adil. Dan, jika kamu menyembunyikan kebenaran atau mengelakkan diri, maka sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan. (QS An-Nisa [4]: 136)

Kebencian kepada orang lain tidak lantas menjadi alasan bagi seorang Muslim, atau Pemerintah Muslim untuk bertindak tidak adil terhadap mereka:

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri teguh karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah [5]: 9)

Dalam kerangka yang luas ini, Pemerintah Muslim bebas membuat suatu peraturan dan menetapkan yang dianggap tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Alquran melarang kecenderungan untuk mencari hukum yang diperintahkan Allah yang jika diterangkan akan membatasi dan menyusahkan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang apabila diterangakan kepadamu, hal itu akan menyusahkan kamu, dan jika kamu menanyakan mengenai itu ketika Alquran sedang diturunkan niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah menahan diri untuk menerangkan hal itu. Dan Allah Maha Pengampun.” (QS Al-Maidah [5]: 102)

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Pemerintah Muslim menumbuhkan ketaatan penuh kepada otoritas pemerintah; seperti dijelaskan:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. (An-Nisa [4]:60)

Hak, tugas dan kewajiban dari warga negara non-Muslim yang tunduk ada otoritas pemerintah berdasarkan suatu pakta perjanjian diatur oleh ketentuan perjanjian atau kesepakatan, sesuai dengan kondisi. Dalam hal lain, terkait dengan hak dan kewajiban di bidang-bidang selain agama, tidak boleh ada diskriminasi sama sekali. Sedangkan dalam bidang agama, dalam segala hal, ada jaminan kebebasan dalam kebebasan beragama dan keyakinan. Hal ini telah ditegaskan dalam Al-Quran.

Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan.” (QS Al-Baqarah [2]: 257)

Kemudian:

“Inilah kebenaran dari Tuhan-mu; maka barangsiapa menghendaki, maka berimanlah, dan barangsiapa menghendaki, maka ingkarlah.” (QS. Al Kahf) [18]: 30)

Lalu:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti-bukti yang terang dari Tuhan-mu; maka barangsiapa melihat maka faedahnya untuk dirinya; dan barangsiapa buta maka ia sendiri menanggungnya. Dan, aku bukanlah pemeliharamu.” (QS Al-Anam [6]: 105)

Rasulullah saw begitu sedihnya ketika orang-orang tidak mempedulikan semua dalil dan argumen dari semua tanda-tanda nyata di hadapan mereka, serta setiap penjelasan dan perumpanaan yang digunakan dalam Al-Quran. Sedemikian gundahnya beliau sampai-sampai Allah taala menghibur beliau saw:

“Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Alquran) (QS Al-Kahf [18]: 7).

Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu dengan kesedihan, karena mereka (penduduk Mekah) tidak beriman. (QS Asy-Syu’ara [26]: 4)”

“… Maka janganlah diri engkau binasa karena kesedihan mengenai mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS Fatir [35]: 9)

Ayat ini menjelaskan bahwa kebebasan hati nurani dan berkeyakinan merupakan hal esensial dari kehendak Ilahi. Allah bisa saja memaksakan satu agama karena Dia memiliki Kuasa bahkan terhadap hati nurani manusia. Tetapi Dia memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih bagi diri mereka sendiri, sebagaimana difirmankan:

“Dan sekiranya Tuhan engkau menghendaki, niscaya orang yang ada di bumi akan beriman semuanya. Apakah engkau akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang beriman?” (QS Yunus [10]: 100)

Petunjuk yang jelas telah diberikan sehubungan dengan bagaimana cara pesan Islam harus disampaikan kepada umat manusia. Difirmankan:

“Inilah jalanku; aku memanggil kepada Allah dengan hujjah yang nyata, aku dan orang yang mengikutiku.” (QS Yusuf [12]: 109)

Ini adalah tugas Nabi dan para sahabat beliau, tetapi tentunya ini juga kewajiban setiap Muslim sepanjang waktu, untuk mengajak orang-orang pada kebenaran, baik dengan lisan maupun dan perbuatan; namun lisan dan perbuatan itu harus dengan sedemikian rupa supaya tidak ada kesan tekanan dan paksaan sedikitpun. Sebagaimana difirmankan:

“Panggilah kepada jalan Tuhan engkau dengan bijaksana dan nasihat yang baik, dan bertukar-pikiranlah dengan mereka, dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau Dia lebih mengetahui siapa yang telah sesat dari jalan-Nya; dan Dia Maha Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS An Nahl [16]: 126)

Di sebuah pemerintah Islam, semua hak-hak dasar, termasuk hak memilih agama, menjalankan ibadah dan menyebarkan keyakinan agama, semuanya dijamin, baik bagi Muslim maupun non-Muslim.

Arti dari kata ‘Islam’ adalah kedamaian dan ketundukan, maksudnya adalah pencapaian kedamaian ditempuh melalui ketundukan penuh kepada kehendak Ilahi, sesuai syariat dan petunjuk Allah. Dalam konsep Islam, Petunjuk Ilahi itu mencakup semua aturan untuk seluruh alam.

Di antara sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Alquran ‘Sumber segala kedamaian, Pelimpahan keamanan’. (QS Al Hasyr [59]: 24). Karenanya, pembentukan perdamaian dan memelihara keamanan harus menjadi tujuan manusia. Perdamaian dan ketertiban merupakan hal yang penting untuk material, moral dan dan spiritual.

Setiap daya dan upaya yang cenderung untuk mengganggu perdamaian sangat tidak dibenarkan. Dalam Alquran difirmankan bahwa:

“Janganlah kamu melakukan kerusakan di bumi sambil berbuat kekacauan.” (QS Al-Ankabut [29]:37)

“Dan, janganlah kamu berbuat kerusuhan di muka bumi sesudah perbaikannya (QS An Nahl [7]: 57)

“…Dan, mereka berusaha membuat kerusuhan di muka bumi, dan Allah tidak menyukai perusuh-perusuh.” (QS. Al Maidah [5]: 65)

“…janganlah engkau menimbulkan kekacauan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang berbuat kekacauan.” (QS. Al-Qasas [28]: 78)

“Dan, di antara manusia ada orang yang ucapannya mengagumkan engkau mengenai kehidupan dunia dan ia menjadikan Allah sebagai saksi atas apa yang ada dalam hati nya; padahal ia petengkar dan sekeras-keras-nya. Dan apabila ia berkuasa, berkeliaranlah ia di muka bumi untuk membuat kekacauan di dalamnya dan membinasakan sawah-ladang dan keturunan, dan Allah tidak menyukai kekacauan.

(QS. Al Baqarah [2]: 205-206).

Ketika Nabi mengumumkan misi beliau kepada penduduk Mekah, yang telah mengenal beliau sebagai seorang yang jujur, tulus, dan setia, pengumuman tersebut diterima dengan keraguan. Kegigihan beliau dalam mengumumkan dakwah beliau, dan dalam menyeru orang-orang untuk menyembah Satu Tuhan, dan upaya melakukan revolusi akhlak dan rohani dalam kehidupan mereka, pada awalnya hanya mendapatkan olok-olok. Ketika seruan beliau mendapatkan penerimaan yang baik dimana-mana perolokan tersebut berubah menjadi intimidasi.

Selama sepuluh tahun lamanya, Nabi beserta kelompok kecil sahabat-sahabatnya menjadi sasaran penganiayaan yang kejam dan tanpa ampun. Tetapi di bawah kondisi yang sangat sulit itu mereka memikulnya dengan sabar. Caci maki atau persekusi tidak mempengaruhi mereka untuk melanggar hukum atau tidak setia. Kecuali dalam hal menentang keras penyembahan berhala dan kegigihan dalam menegakkan Tauhid, Rasulullah saw maupun jamaah kecil umat Islam di Mekkah tidak pernah mencoba untuk menentang otoritas Majelis Para Tetua, atau berbagai aturan dan adat istiadat yang mengatur gerak dan tingkah laku warga Mekah.

Ketika penganiayaan semakin gawat, daripada mengambil risiko membuat kekacauan di kota, Nabi Muhammad menasihati bahwa umat Islam yang mampu harus meninggalkan Mekah dan mencari perlindungan ke negara tetangga Abyssinia, di seberang Laut Merah. Kemudian, umat Islam lainnya, termasuk Rasulullah saw sendiri, hijrah ke Madinah. Periode Mekkah dalam misi dakwah Rasulullah merupakan contoh luar biasa dalam hal penegakan hukum dan ketertiban oleh sebuah kelompok yang tertekan dan teraniaya, padahal jumlah mereka terus bertambah baik jumlah maupun kekuatan.

Sir Muhammad Zafrullah Khan, Review of Religions, February 1993}


Post a Comment

0 Comments