Mengapa Harus Bangga Terhadap Nasabmu

Oleh: Mln. Nanang Salman Lesmana

Fenomena di tengah – tengah masyarakat mengenai status sosial seperti  gelar dan nasab (faktor keturunan) seseorang menjadi suatu identitas yang sering dibanggakan bahkan lebih dari itu sehingga menimbulkan sifat ujub dan takabaur. Semisal gelar Haji, Kiai, Ustadz, Mubaligh, Tuan Guru, dan juga gelar akademik yang mengiringi namanya.

Lalu terkait dengan Nasab seperti Habib (keturunan Nabi), Gus, Ajengan (keturunan kiai), Raden,Pangeran, Elang (keturunan  Raja), semuanya itu tidak berarti apa – apa  selama tidak adanya akhlaknya. 

Mengapa masalah Nasab menjadi tolak ukur ditengah – tengah masyarakat yang perlu dibanggakan dan diagungkan derajatnya pada hal itu kita tahu didalam ajaran Islam bahwa setiap orang itu setara kedudukannya dihadapan Allah Taala yang membedakan hanya derajat ketakwaanya yang dengan hal itu membawa seseorang  kepada kemulyaan. Jadi untuk apa membanggakan nasab keturunannya.

Sebagaimana Allah Taala berfirman  didalam Alquran surah Al-Hujuraat ayat 14 berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ 

“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan; dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sesungguhnya  Allah Maha Mengetahui, Mahawaspada. (1)

Ayat di atas dikatakan bahwa sesungguhnya diantara kamu yang paling mulia di sisi Allah swt adalah yang paling bertakwa. Ini menandakan bahwa tingkat kemulian seseorang disisi Allah swt adalah nilai ketakwaannya bukan berdasarkan nilai Nasabnya.

Menurut tafsir alquran terjemah dan  tafsir singkat editor Malik Ghulam Farid diterangkan   mengenai ayat diiatas bahwa Pada hakikatnya, ayat ini merupakan “Magna Charta” – piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia. Ayat ini menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul yang semu lagi bodoh, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional. Karena umat manusia sama-sama diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan, maka sebagai makhluk manusia, semua orang telah dinyatakan sama dalam pandangan Allah Swt.

Nilai seseorang tidak dinilai oleh warna kulitnya, jumlah harta miliknya, oleh pangkatnya atau kedudukannya dalam masyarakat, keturunan atau asal-usulnya, melainkan oleh keagungan akhlaknya dan oleh caranya melaksanakan kewajiban kepada Tuhan dan manusia.

Seluruh keturunan manusia, tidak lain hanya suatu keluarga belaka. Pembagian suku-suku bangsa, bangsa-bangsa dan rumpun-rumpun bangsa dimaksudkan untuk memberikan kepada mereka saling pengertian yang lebih baik, terhadap satu-sama lain agar mereka dapat saling mengambil manfaat dari kepribadian serta sifat-sifat baik bangsa-bangsa itu masing-masing.

Pada peristiwa Haji perpisahan di Mekah, tidak lama sebelum Rasulullah Saw wafat, beliau berkhutbah di hadapan sejumlah besar orang-orang Muslim dengan mengatakan, “Wahai sekalian manusia! Tuhan-mu itu Esa dan bapak-bapakmu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan dan manusia. Orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Tuhan ialah yang paling bertakwa di antaramu” (Baihaqi). (2)

Dari keterangan tafsir di atas sangat jelas sekali ayat ini menumbangkan rasa dan sikap keegoan lebih unggul yang terlahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan Nasional, setiap orang dipandangan Allah swt sama kedudukannya, nilai seseorang tidak dinilai oleh warna kulitnya, jumlah harta, pangkat atau kedudukannya, keturunan atau asal-usulnya. Melainkan yang membedakannya adalah keagungan Akhlaknya dan oleh caranya melaksanakan kewajiban kepada Tuhan dan Manusia. 

Sebagaimana Rasulullah Saw pun menyampaikan larangan membanggakan Nasab (keturunan) dan disebutkan didalam hadits sebagai berikut :

“Hendaknya kaum-kaum itu benar-benar berhenti dari membangga-banggakan nenek moyang mereka yang sudah mati, bersama-sama mereka yakni arang api neraka Jahannam. Atau, hendaknya mereka sungguh-sungguh lebih hina di sisi Allah daripada kumbang kelapa yang mengguling-gulingkan tahi (kotoran) dengan hidungnya. Sesungguhnya Allah sudah melenyapkan daripadamu kemegahan jahiliyah dan pujian dengan nenek moyangnya. Yang dipandang special untuklah apakah ia seorang Mu’min yang bertakwa, atau seorang durhaka yang nista. Manusia, tiruaannya yakni anak cucu Adam, dan Adam diciptakan dari tanah”. (H. R. Abu Daud dan At-Tirmidzi) (3)

Kita juga membaca apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Berkenaan dengan  prinsip-prinsip hak-hak insan yang Beliau  sampaikan pada pidato Haji Wada’ (perpisahan):

“Wahai manusia, bersama-sama Tuhanmu yakni satu. Bapa­mu yakni satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab atas bangsa non-Arab, tidak pula non-Arab atas bangsa Arab, tidak pula orang Merah atas yang Hitam, tidak pula Yang Hitam atas yang Merah kecuali dengan takwa.“(H.R. Al- Baihaqi). (4)

Kita memahami dari beberapa hadits diatas Rasulullah dengan tegas mengatakan berhenti dari membangga – banggakan Nasab serta menjungjung tinggi persamaan hak – hak umat manusia. Jadi sia – sialah yang senantiasa membangga-banggakan akan nasab keturunannya. Seharusnya umat Islam berpatokan kepada ayat dan hadits – hadits diatas sehingga tidak membutakan penghormatan dan membangga – banggakan Nasab seseorang, semisal contoh penghormatan dan membangga – banggakan seorang Habib (keturunan Nabi saw ) yang sangat berlebihan dan Rasulullah saw tidak  pernah mengajarkan seperti  itu .

Perlu diingat bahwa seorang habib (keturunan Nabi saw) belum tentu sama dengan Nabi Saw baik secara sifat, akhlak dan ketakwaannya. Jadi sangat salah besar kalau kita menyamakan Habib (keturunan Nabi saw) dengan Nabi Saw, begitu juga dengan nasab – nasab yang lainnya.

Kemudian Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Khalifahtul Masih ke-V didalam Jamaah Ahmadiyah belaiu sampaikan didalam khutbah Jumat terkait nasab sebagai merikut : Hadhrat Masih Mau’ud (as) biasa menyampaikan sabda Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (saw) kepada putri beliau saw, Hadhrat Fatimah (ra), لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا laa aghni ‘anki minAllaahi syai-a – Sabda itu artinya, “Wahai Fatimah! Kamu tidak akan dapat meraih ridha Allah Ta’ala hanya karena keadaanmu menjadi putri saya. Melainkan, untuk meraih ridha Allah Ta’ala, kamu harus berupaya membiasakan hidupmu sesuai dengan perintah-perintah Allah Ta’ala. Jika kamu telah melakukannya, kamu harus tetap menanamkan rasa takutmu kepada Allah Ta’ala dan memperbanyak berdoa, ‘Semoga Allah Ta’ala menerima amal dan usaha keras saya dan membuat akhir hidup saya sebagai akhir yang baik melalui karunia-Nya.” (5)

Jadi jelas mengenai Nasab pun Rasulullah memberi Nasihat kepada Putrinya Hadhrat Fatimah (ra) jangan bergantung kepda nasab sebagai keturunan Rasulullah untuk meraih ridha Taala akan tetapi berusahalah membiasakan hidupmu sesuai perintah – perintah Allah, menanamkan rasa takut kepada Allah Taala dan berbanyaklah berdoa. Hal ini lah harusnya dipahami oleh semua durriyah Nabi saw. Jangan mentang – mentang keturunan Nabi saw seenaknya bisa berbuat apa saja bahkan Hukum – hukum Allah Taala pun banyak dilanggar. 

Membanggakan serta mengagungkan Nasab keturuan tidak akan memberikan keselamatan bahkan hal itu akan menjerumuskan kepada  dosa, maka dengan itu jauhilah membanggakan dan mengagungan Nasab (keturunan) seseorang itu semua hanyalah sia – sia belaka. Oleh karena itu yang terpenting marilah tinggkatkan nilai dan prilaku Akhlah yang baik dan meningkatkan tingkat ketakwaan kita kepada Allah Taala, hal itu yang akan mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala.

Sumber :

- Penulisan nomor ayat Alqur’an dalam makalah ini mengikuti mushaf yang basmallahnya diberi nomor ayat pertama, seperti dalam surat Al-Fatihah. Peny.

- Malik Ghulam (Editor) [2014]. Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Singkat. Hal.1761 – 1762, Jakbar: Neratja Press.

- Hadits kitab HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi

- Hadits kitab H.R. Al- Baihaqi

- Khutbah Jumat hal.1 , 19 Januari 2018.

Post a Comment

0 Comments