Amanat Adalah Bagian dari Iman Yang Perlu Kelurusan Hati

Oleh: Mln. Mubarak Achmad

Salah satu amalan pokok yang harus dipegang dan diamalkan oleh setiap orang Islam adalah memelihara amanat dan menepati janji. Allah Ta’ala pun menyampaikan jika ingin menjadi orang Islam yang memperoleh kemenangan, maka salah satunya adalah:


وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

Dan mereka yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjiannya. (Al-Mu`minun : 8)


إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu memutuskan dengan adil. Sesungguhnya demikian sebaik-baik hal yang dengan itu Allah menasihatimu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (An-Nisa : 58)


Bahkan Junjungan kita Rasulullah saw. juga bersabda:

"Apabila amanat mulai menjadi sia-sia, maka tunggulah kiamat”. Si penanya bertanya: “Ya, Rasulullah, apa maksud amanat itu menjadi sia-sia?” Bersabda: “Apabila orang-orang yang tidak ahli dijadikan memegang kendali pemerintahan, maka tunggulah kiamat.”;

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Barangsiapa yang di dalam dirinya tidak ada amanat, maka di dalam dirinya tidak ada iman. Barangsiapa yang tidak memenuhi janjinya, di dalam dirinya tidak ada agama. Demi wujud yang ditangan-Nya terletak jiwa Muhammad, agama siapa pun tidak akan benar/lurus selama lidahnya/tutur katanya tidak jujur. Dan lidahnya tidak akan lurus selama hatinya tidak lurus. Dan barangsiapa mendapatkan harta dari pencaharian yang tidak benar/tidak halal dan dia membelanjakan dari itu, maka tidak akan diberikan berkat di dalamnya. Dan jika dia membelanjakan dari itu maka itu tidak akan dikabulkan dan yang akan tersisa dari itu maka itu akan menjadi faktor penyebab yang akan membawanya masuk ke dalam neraka. Barang buruk tidak dapat menjadi kaffarah/tebusan bagi barang yang buruk. Walhasil, barang yang baik merupakan kaffarah barang yang baik”. (Tabrani);

Jadi kita sebagai hamba Allah, pimpinan keluarga, masyarakat dan bangsa hendaknya ingat, bahwa kedudukkan kita merupakan sebuah Amanat. Sebuah amanat yang merupakan sebuah ikatan di antara Tuhan dengan kita guna melaksanakan tugas-tugas dalam diri dan kekuasaan kita terlebih agama kita.

Jika setiap individu mulai memahami bahwa tidak hanya sekedar ucapan, bahkan dari kedalaman lubuk hati, dengan berpegang teguh pada hal ini, tetap teguh dalam pengkhidmatan agama, maka derap kecepatan kemajuan kita dengan karunia Tuhan dapat meloncat dan melaju menjadi beberapa kali lipat kecepatan.;

Pengkhidmatan agama merupakan karunia Ilahi dan dengannya insya Allah Ta`ala pemahaman-pemahaman yang salah akan terlepas. Hendaknya menjadikan ini bahan renungan dan perlu mendapat perhatian bahwa amanat adalah bagian dari iman. Jika kita tidak melaksanakan pemenuhan amanat kita dengan benar pada batasan-batasan yang telah ditetapkan, berarti kita tidak melakukan pengkhidmatan dengan sebenarnya, dan sebagaimana hadis di atas didalam diri orang semacam itu tidak ada agama/tidak jujur.

Dan untuk meluruskan agama, seseorang harus meluruskan lidahnya juga. Sedangkan lidah pun tidak akan lurus selama hati tidak lurus. Intinya pembenahan semua aspek secara menyeluruh sangatlah penting guna menegakkan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa yang baik.

Hadhrat Mirza Masroor Ahmad aba. menjelaskan:

“Perlu dipahami, bahwa maksud dari amanat adalah segenap potensi manusia menjadi sempurna, baik akalnya, ilmunya, kalbunya dan jiwanya, lalu panca inderanya, rasa takut, rasa cinta, kehormatan dan kemuliaan, segenap kenikmatan adalah nikmat-nikmat ruhani dan jasmani yang Allah Ta`ala anugerahkan kepada manusia sempurna. Sebagaimana firman-Nya ‘Innallaaha ya`murukum antuaddul amanaati ila ahlihaa…’ (semua amanat-amanat itu dia kembalikan kepada Tuhan).

Maksudnya setelah fana/larut di dalam-Nya dia mewakafkan itu di jalan-Nya. Dan keagungan, ketinggian, kesempurnaan ini terdapat dalam diri nabi Muhammad saw.”;

Hanya dengan mulut saja mengatakan hati saya telah lurus, itu tidaklah cukup. Kita setiap saat, atau pada setiap orang senantiasa memahami bahwa Tuhan mengetahui kondisi segenap hati, Dia mengetahui sampai kedalaman hati kita. Dia adalah Maha Mendengar, Maha Melihat. Oleh karena itu, kita harus meluruskan arah segenap tujuan-tujuan kita, barulah kita akan mendapatkan peluang untuk mengkhidmati agama. Dan jika standar takwa ini tetap tegak, maka nizam Jamaah juga akan menjadi kukuh dan akan terus menjadi solid, Insya Allah Ta`ala.;

Orang Mukmin sebagai Pengurus yang melakukan pengkhidmatan dan tengah melakukan pengkhidmatan dengan penuh ketakwaan, maka untuk mereka dalam sebuat hadis terdapat khabar gembira bahwa, “Dari Abu Musa meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Orang Islam yang telah ditetapkan sebagai pengawas untuk harta orang-orang Islam, jika dia terpercaya dan jujur serta apa yang diperintahkan dia benar-benar menerapkannya dan kepada siapa diperintahkan untuk memberikan, maka dengan senang hati dan dengan penuh rasa gembira memberikannya dengan menganggap itu sebagai hak orang itu, maka orang seperti itu pun secara amaliah/praktek seperti orang yang memberi sedekah, akan dianggap terhitung menjadi orang yang bersedekah”.;

Nah, perhatikanlah! Bagaimana dari suatu kebaikan terus mengalir kebajikan. Dia mendapat peluang untuk mengkhidmati Jamaah Tuhan juga dan dapat juga mengkhidmati makhluk Allah Ta`ala. Lalu dengan berpegang teguh kepada peraturan, dengan menunaikan hak-hak amanat dia telah mendapatkan ganjaran sedekah juga. Dia juga telah melindungi dirinya dari malapetaka dan keridhaan Illahi pun akan diraihnya.;

Kemudian amanat-amanat majelis. Jika melihat aib seseorang di majelis-majelis atau kelemahan seseorang, lalu menyebarkan itu keluar dalam corak apa pun, itu merupakan hal yang tidak patut, atau memberitahukan kepada seorang yang tidak ada kaitannya dengan majelis itu, ini pun adalah khianat.;

Ada hal yang perlu dipertegas dan setiap saat seyogyanya senantiasa diingat bahwa jika di dalam suatu majelis tengah terjadi pembicaraan menentang nizam Jamaah, maka mula-mula dengan memberikan pengertian kepada orang yang berbicara, lalu mengakhiri hal itu adalah lebih tepat dan di situlah seyogyanya diupayakan perbaikkan. Jika tidak ada gambaran akan adanya perbaikkan, maka seyogyanya memberikan informasi kepada para petinggi Jamaah.

Namun, terkadang sejumlah pengurus pun terlibat di dalamnya. Tidak diketahui mengapa kondisi dewasa ini banyak berpengaruh juga pada pembawaan kaum pria dan kaum pria-pun tanpa adanya pertimbangan telah memiliki kebiasaan berbicara seperti para perempuan.;

Di dalam hal ini terkadang pengurus yang sudah mapan pun terlibat di dalamnya. Dan sedemikian rupa mereka mengungkapkan sesuatu yang dampaknya dapat menimbulkan kesan negatif kepada orang-orang yang duduk di sana.

Dan dengan demikian tanpa disadari seorang pengurus dengan berbicara mengenai pengurus yang lain atau seorang pengurus dengan berbicara mengenai pengurus lain yang lebih tinggi atau mengenai pengurus lain yang lebih rendah, dapat menimbulkan fitnah bagi orang-orang. Dan orang-orang yang berkepribadian labil dari kejadian seperti itu, baik sekecil apapun kejadiannya, mereka akan mengembil kesan yang buruk.

Dan para pengurus seperti itu apabila menjadi terbiasa membicarakan rekan-rekan pengurus lainnya, maka orang-orang munafik pun akan mengambil faedah dari itu dan nizam Jamaahpun akan terpengaruh. Oleh karena itu, semua pengurus yang melakukan pembicaraan seperti itu, baik itu mereka lakukan dengan nada bersenda gurau, mengingat jabatan atau martabat mereka, seyogyanya menghindar dari pembicaraan seperti itu.

Dan untuk orang-orang yang duduk di dalam Majelis-majelis seperti itu tidak diizinkan [membuka rahasia majelis itu] dan memang atau tentu saja pembicaraan dalam Majelis merupakan sebuah amanat yang hendaknya jangan keluar dan siapapun jangan ada yang mengetahui” (Khutbah Jum`ah Hadhrat Khalifatul Masih V, pada tanggal 8 Agustus 2003);

Jadi, ingatlah, amanat merupakan perkara yang sangat penting. Seberapa banyak hal ini dipahami oleh para anggota dan pengurus Jamaah, lalu mereka berusaha untuk mengerti maksud dari amanat, sebanyak itu pulalah standar takwa sampai yang setinggi-tingginya akan dapat berdiri tegak. Dengannya akan berdiri tegak standar tinggi pelaksanaan menjalankan hak-hak Allah Ta`ala. Nizam Jamaah menjadi solid, nizam Khilafat akan menjadi teguh dan jalinan hubungan antar kita akan tetap utuh dan kuat dalam persaudaraan dan persatuan.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita untuk dapat mempertahankan standar ini. Aamiin Allahumma Aamiin.

Post a Comment

0 Comments