AKHLAK MENURUT AJARAN ISLAM

Oleh: Mln Mubarak Achmad

Semenjak insan mulai tinggal dan menjalankan kehidupannya di permukaan bumi ini, maka keberadaan daripada wujud Allah Ta’ala telah menjadi pusat keyakinan dan kepercayaan, Aqidah (kepercayaan dan pendirian) ini banyak sedikitnya telah terdapat pada setiap bangsa dan yang senantiasa selalu diajarkan.

Islam sendiri telah menetapkan ajaran-ajaran dunia yang berintikan akan hal ini, yakni Islam mendakwahkan bahwasannya maksud dan tujuan insan diciptakan oleh Allah Ta’ala adalah untuk menjadi ‘ABDUN’ (Hamba yang menyembah Allah Ta’ala) dan untuk menzahirkan sifat-sifat-Nya. Artinya adalah jalan kehidupan insan telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firmannya:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ 

Artinya, ; “Dan ketika Tuhan engkau berkata [1] kepada para malaikat, [2] “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang  khalifah di bumi;” berkata mereka, “Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya orang yang akan membuat kekacauan di dalamnya dan akan menumpahkan darah ? [3]  Padahal kami bertasbih dengan pujian Engkau [4] dan kami mensucikan [5] Engkau.” Berfirman Dia, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui [6]” {QS. Al-Baqarah, 2 : 31}.

[1] Qala perkataan bahasa Arab yang lazim dan berarti, ia berkata. Tetapi, kadang-kadang dipakai dalam arti kiasan, bila yang dimaksudkannya bukan pernyataan kata kerja, tetapi keadaan yang sesuai dengan arti kerja itu. Ungkapan. imtala’a al-haudhu wa qala qathni (kolam itu menjadi penuh dan ia berkata, “Aku sudah penuh”) tidak berarti bahwa kolam itu benar-benar berkata demikian; hanya keadaaannya mengandung arti bahwa kolam itu sudah penuh. dengan ungkapan lisan.

Maka ayat ini hanya berarti bahwa para malaikat itu dengan peri keadaan mereka. menyirat jawaban yang di sini dikaitkan kepada percakapan antara Tuhan dan para malaikat tidak perlu diartikan, secara harfiah sebagai sungguh- sungguh telah terjadi. Seperti dinyatakan di atas, kata qala itu kadang-kadang dipakai dalam arti kiasan, untuk mengemukakan hal yang sebenarnya bukan suatu ungkapan lisan, melainkan hanya keadaan yang sama kata-kata yang diucapkan mereka.

[2] Mala’ikah (para malaikat) yang adalah jamak dari malak di serap dari malaka, yang berarti, ia mengendalikan, mengawasi ; atau dari alaka, artinya, ia mengirimkan. Para malaikat disebut demikian, sebab mereka mengendalikan kekuatan-kekuatan alam atau mereka membawa wahyu Ilahi kepada utusan-utusan Allah swt. dan pembaharu-pembaharu samawi.

[3]  Para malaikat tidak mengemukakan keberatan terhadap rencana Ilahi atau mengaku diri mereka lebih unggul dari Adam a.s. Pertanyaan mereka didorong oleh pengumuman Tuhan mengenai rencana-Nya, untuk mengangkat seorang khalifah. Wujud khalifah diperlukan bila tertib harus ditegakkan dan hukum harus dilaksanakan.

Keberatan semu para malaikat menyiratkan bahwa, akan ada orang-orang di bumi yang akan membuat kekacauan dan menumpahkan darah. Karena manusia dianugerahi kekuatan-kekuatan besar untuk berbuat baik dan jahat, para malaikat menyebut segi gelap tabiat manusia; tetapi, Tuhan mengetahui bahwa manusia dapat mencapai tingkat akhlak yang demikian tingginya, sehingga ia dapat menjadi cermin sifat-sifat Ilahi. Kata-kata, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, menyebutkan segi terang tabiat manusia.

[4] Pertanyaan para malaikat, bukan sebagai celaan terhadap perbuatan Tuhan, melainkan sekedar mencari ilmu yang lebih tinggi mengenai sifat dan hikmah pengangkatan itu, Untuk arti nusabbihu lihat catatan no. 2981.

[5] Sementara tasbih (memuji) dipakai bertalian dengan sifat-sifat, maka taqdis (menyanjung kekudusan Tuhan) dipergunakan tentang tindakan-tindakan-Nya.

[6]  Adam as, yang hidup kira-kira 6000 tahun yang lalu, umumnya dipercayai sebagai orang yang pertama sekali, dijadikan oleh Tuhan di atas muka bumi. Tetapi, pandangan itu tidak didukung oleh Al-Quran. Dunia telah melalui berbagai daur (peredaran) kejadian dan peradaban ; dan Adam as leluhur umat manusia zaman ini, hanya merupakan mata rantai pertama dalam daur peradaban sekarang dan bukan orang pertama makhluk ciptaan Tuhan.

Bangsa-bangsa telah timbul tenggelam, peradaban lainnya telah datang dan pergi. Muhyidin Ibn Arabi, seorang sufi besar mengatakan bahwa, sekali peritiwa beliau melihat diri beliau dalam mimpi sedang tawaf di Ka’bah. Dalam mimpi itu seorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang dari nenek moyangnya nampak di hadapan beliau. “berapa lamanya sudah lewat sejak anda meninggal ?” tanya Ibn Arabi. “Lebih dari 40.000 (empat puluh ribu tahun)”, jawab orang itu, “Tetapi masa itu jauh lebih lama, dari masa yang memisahkan kita dari Adam,” kata Ibn Arabi lagi.

Orang itu menjawab, “Tentang Adam yang mana engkau bicara ? Tentang Adam yang terdekat kepada engkau atau tentang Adam lain ?” “Maka aku ingat, ” kata Ibn Arabi, “suatu sabda Rasulullah saw yang dimaksudnya bahwa, Tuhan telah menjadikan tidak kurang dari 100.000 (seratus ribu) Adam dan saya berkata dalam hati, “barangkali orang yang mengaku dirinya datukku ini seorang dari Adam-adam terdahulu” (Futuhat, II, hal. 607).

Tidak dikatakan bahwa keturunan yang hidup sebelum Adam as seluruhnya telah lenyap, sebelum beliau dilahirkan. Mungkin sekali kerika itu masih ada sedikit sisa yang tertinggal dari keturunan purba itu, dan Adam as itu seorang dari antara mereka, Kemudian, Tuhan memilih beliau as menjadi leluhur keturunan baru dan pelopor serta pembuka jalan peradaban baru. 

Dijadikan seakan-akan dari yang telah mati, beliau as melambangkan terbitnya fajar zaman kehidupan baru. Karena khalifah berari penerus, maka jelas sekali manusia telah ada hidup di bumi ini, sebelum Adam as yang menggantikan mereka, dan kita tak dapat mengatakan apakah penduduk asli Amerika, Australia, dan sebagainya itu, keturunan Adam as terakhir ini atau dari Adam lain yang telah lewat sebelum beliau as.

Banyak telah dibicarakan mengenai tempat kelahiran Adam as atau dimana beliau as diangkat sebagai mushlih (pembaharu). Pandangan umum ialah beliau as ditempatkat di suatu tempat di surga, namun kemudian diusir dari situ, lalu ditempatkan di suatu tempat di dunia. Tetapi, kata-kata “di bumi” menyangkal pandangan itu, dan secara pasti mengemukakan bahwa, Adam as hidup di bumi dan di bumi pula beliau diangkat sebagai Pembaharu. Sangat besar kemungkinan bahwa, beliau as untuk pertama kali tinggal di Irak, tetapi kemudian diperintahkan berhijrah ke suatu negeri tetangga. 

Kemudian Allah Ta`ala berfirman, yakni ;

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ 

“Artinya, ; Dan, tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [1]  {QS. Adzariyat, 51 : 57}

[1] Arti yang utama untuk kata ‘ibadah ialah, menundukkan diri sendiri kepada disiplin keruhanian yang ketat lalu bekerja dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada sampai sepenuh jangkauannya ; sepenuhnya serasi dengan dan taat kepada perintah-perintah Ilahi agar menerima meterai pengesahan Tuhan dan dengan mampu mencapampurkan dan menjelmakan dalam dirinya sendiri sifat-sifat Tuhan.

Sebagaimana tersebut dalam ayat ini, itulah maksud dan tujuan agung lagi maulia bagi penciptaan manusia dan memang itulah makna ibadah kepada Tuhan. Karunia-karunia lahir dan batin yang terdapat pada sifat manusia memberikan dengan jelas pengertian kepada kita, bahwa ada di antara kemampuan manusia yang membangunkan pada dirinya dorongan untuk mencari Tuhan dan yang meresapkan kepadanya keinginan mulia untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Jadi insan baru dapat dikatakan menjadi hamba Allah Ta’ala yang sebenarnya apabila ia mulai menunaikan perintah Ilahi dengan sepenuh hatinya dan membuat dirinya menyerupai sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan sesuai firman-firman-Nya.

Sesuai dengan pengertian Al-Qur’an Karim mengumandangkan ;

صِبْغَةَ اللّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدونَ   

Artinya, ; “Katakanlah, “Kami menganut agama [1] Allah swt. ;dan siapakah yang lebih baik dari Allah swt.dalam mengajarkan agama; dan kepada-Nya kami menyembah” {QS. Al-Baqarah, 2 : 139}.

[1] Shibghah berarti, celup atau warna ; macam atau ragam atau sifat sesuatu ; agama ; peraturan hukum ; pembatisan. ShibghatAllah Ta’ala berarti agama Tuhan ; sifat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia (Aqrab). Agama itu disebut demikian karena agama mewarnai manusia seperti celup atau warna mewarnai sesuatu.

Shibghah dipakai di sini sebagai pelengkap kata kerja yang mahzuf (tidak disebut karena telah diketahui). Menurut tata bahasa Arab, kadang-kadang bila ada satu kehendak keras untuk membujuk seseorang melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, maka kata kerjanya ditinggalkan dan hanya tujuannya saja yang disebut. Maka kata-kata seperti na’khudzu (kami telah mengambil) atau nattabi’u (kami telah mengikuti) dapat dianggap sudah diketahui dan anak kalimat itu akan berarti, “ kami telah menerima atau kami telah menganut agama sebagaimana Tuhan menghendaki supaya kami menerima atau mengikuti nya”.

Jadi dari ayat ini jelas bagi kita bahwa memanifestasikan dan mewujudkan semua hukum, sifat dan perbuatan Allah Ta’ala oleh insan adalah ta’rif (defenisi) yang tepat untuk akhlak. 

APAKAH PERLUNYA DAN PENTINGNYA AKHLAK ITU

Tiada seorangpun yang dapat menolak TENTANG PERLUNYA DAN PENTINYA AKHLAK. Tanpa akhlak, maka insan tidak dapat menjadi hamba Allah Ta’ala yang hakiki. Sejarah telah membuktikan bahwasanya akhlak telah menjadi peranan penting dalam dalam kehidupan suatu kaum untuk bermasyarakat dan bernegara. Bahkan sebenarnya kunci dan rahasia daripada naik-turunnya dan tegak-jatuhnya suatu negara adalah berdasarkan baik-buruknya akhlak yang dimiliki. Seperti seorang penyair menyatakan ;

اِنَّمَا الْاُمَمُ بِالْاَخْلاَخْقِ اِنْ صَلُحَتْ صَلُحُوْا وَاِنْ فَسَدَتْ اَخْلاَقُهُمْ فَسَدُوْا

Artinya, ; ‘Sesungguhnya bangsa-bangsa itu berdiri karena akhlak, jikalau akhlak itu baik, maka baiklah seluruhnya dan jikalau akhlak itu rusak, maka rusaklah seluruh bangsa itu’.

Hadhrat Masih Mau’ud wa Imam Mahdi, pendiri Ahmadiyah Hadhat Mrza Ghulam as  telah menjelaskan bahwa syari’at Islam itu terbagi atas 2 bagian besar, yakni ;

“Pertama adalah Haqqullah dan yang kedua Haqqul ‘ibad. Yang tergolong diantara Haqqul’ibad ialah ; Takabur, berkhianat dan penganiayaan dengan cara serta bentuk apapun juga tidak diperkenalkan bagi seseorang untuk melakukan akhlak yang buruk itu terhadap saudaranya. Hal ini berarti supaya di dalam tubuh akhlak itu jangan sedikitpun terjadi kelemahan” {Pidato Masih Mau’ud as  pada tanggal 29 Pebruari 1904}.

Rasulullah saw, Selanjutnya Berkenaan dengan Akhlak yang sempurna Nabi besar Muhammad saw pernah bersabda ;

اِنِّي بُعِثْتُ لِاُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلاَقِ

Artinya, ; ‘Sesungguhnya aku telah diutus untuk menyempurnakan setiap kedudukkan akhlak’ {Tirmidzi}.

Jadi salah satu maksud pokok Rasulullah saw di utus oleh Ilahi adalah guna menegakkan akhlak yang baik. Bahkan Islam tidak hanya menghendaki seseorang itu dapat menjadi contoh yang sempurna dalam akhlak saja, tetapi berkewajiban pula menjadikan orang lain agar asyik dalam melakukan akhlak yang baik.

Hadhrat Khalifatul Masih ll ra menerangkan dalam bukunya; ‘Bahwa akhlak itu separuh dari pada agama’ {minhajut-Talibin}.

Hadhrat Khalifatul Masih III rha menyampaikan kata-kata mutiara pada hari terakhir Jalsah Salanah tahun 1975 di Rabwah, Beliau rha bersabda ; ‘Bahwa Islam menuntut kita dari persoalan yang sebesar-besarnya kepada persoalan yang sekecil-kecilnya.

Islam mengajarkan tentang tata-cara makan dan minum, berjalan, berbicara dan pula membimbing manusia supaya menjadi insan ber-Tuhan. Karena itu, adalah kewajiban kita untuk terlebih dahulu memahami, mempelajari, berusaha mengamalkan dan menjalankan dan kemudian mengajarkan kepada anak-anak keturunan kita.

Tanpa itu, kita tidak akan berhasil mendapatkan kecintaan Ilahi dan tidak pula Islam akan dapat berdiri dengan megahnya di dunia fana ini. Adalah benar bahwa Islam pada suatu waktu akan menang dan jaya, tetapi pekerjaan ini bukan malaikat-malaikat yang mengerjakannya, melainkan kewajiban manusia-manusia juga.

Seterusnya Hudhur bersabda ; ‘Pada waktu ini akan aku umumkan untuk berjihad dan berjuang demi tercapainya pendidikkan dan pekerjaan besar ini. Untuk itu Jemaat Ahmadiyah kita harus segera menetapkan Mubaligh-mubalighnya agar segera dapat bertugas untuk menyusun dan mengumpulkan sabda-sabda Rasulullah saw yang berkenaan dengan akhlak dan peradaban Islam.

Selanjutnya dikemukakan kepada anggota Jemaat begitu rupa, sehingga mereka benar-benar mengetahui dan berusaha untuk mengerjakannya. Saudara-saudara Jemaat hendaknya dari sekarang bersiap-siap dan membulatkan tekad untuk memikirkan dirinya dahulu, kemudian istri-istrinya dan anak-anak keturunannya. Semoga Tuhan dalam hal ini memberikan kemajuan kepada kita dan dapat kiranya kita membentuk kehidupan secara perorangan dan kelompok sehingga terlihat contoh akhlak dan peradapan Islam, Aamiin’.

‘Allama Syibli menulis : ‘Agama Islam adalah nama kolektif dari tiga hal ialah ; Aqaid (kepercayaan), ibadah dan akhlak’ {Alhakam bagian kedua}.

Tokoh Islam kenamaan Hafiz Ibnu Qaiyim Jauzi menulis ; ‘Akhlak adalah nama kedua dari agama Islam’ {Akhlak dan falsafah akhlak hal. 50}.

Intinya pentinya akhlak telah disepakati dan dibenarkan oleh semua agama. Tidak ada sesuatu agamapun yang mengemukakan dusta, penganiayaan, pencurian, perampokan dan kejahatan-kejahatan lainnya itu sebagai hal-hal yang baik.

Bahkan sebaliknya intisari dari kekuatan-kekuatan akhlak adalah kecusian, mawas diri, kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan kasih saying. Dan tidak satupun agama yang kosong daripada hal-hal tersebut, sehingga kaum arab yang jahil di masa dahulu juga tidak kosong dari pada akhlak yang baik seperti ; kemurahan hati, suka menolong, menjamu tamu dan kadang-kala terdapat juga keinginan untuk menolong orang-orang miskin dan terlantar. Tentu timbul pertanyaan, apabila pada setiap agama, banyak atau sedikitnya terdapat tentang akhlak, maka apa tanda perbedaan antara akhlak yang dikemukakan oleh Islam dengan yang dikemukakan oleh agama-agama lain ? Jawabannya adalah bahwa secara dasar setiap agama menampilkan pelajaran tentang akhlak, tetapi perbedaannya adalah dalam penjelasan, penyampaian sebab-musababnya dan cara-cara untuk memanfaatkannya. Dan dalam perbedaan inilah yang sebenarnya terletak keunggulan dan kelebihan pelajaran-pelajaran Islam daripada pelajaran-pelajaran lain.

SUMBER KEKUATAN AKHLAK

Sebagian manusia berpendapat bahwa sumber kekuatan-kekuatan akhlak bersemayam dalam kekuatan berfikir yaitu ; akal, kemarahan dan hawa nafsu. Ada pula yang mengatakan bahwa insan sangat berhasrat untuk memperoleh kesenangan dan apabila kesenangan bertemu dengan akhlak, maka berbuah akhlak. Dan setengah orang mengemukakan bahwa khazanah dan tempat terbitnya akhlak itu terletak pada tabi’at pembawaan dan perangai insan. Seluruh anggota badan tunduk patuh kepada perintah hati.

Maka dengan semua amal baik yang dilakukan oleh anggota-anggota badan kita, semuanya itu adalah berdasarkan hasil dari kesucian dan kemurnian hati.

Berkenaan dengan ini Rasulullah saw bersabda mengungkapkan ucapan yang berhikmah, yakni ;

اِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً اِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ اَلاَ وَ هِيَ الْقَلْبُ

Artinya, ‘Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal darah, apabila ia baik, maka seluruh badan akan baik dan apabila tubuh rusak, maka seluruh tubuh akan menjadi rusak. (Wahai orang Muslim hati-hatilah) Ia itu adalah hati’ 

Firman Allah Ta’ala menyatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrat yang suci, yaitu ;

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ  

Artinya, ; ‘Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk’ {QS. At-Tiin, 95 : 5}.

Dan Selaras dengan ini Rasulullah saw bersabda ; 

مَامِنْ مَوْلُوْدٍ اِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّ دَانِهِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Artinya, ; ‘Setiap anak dilahirkan dalam fitrat yang suci, maka ibu-bapaknyalah yang menjadikan ia itu orang Yahudi atau kristen atau Majusi’ {Aljami’ul-Saghir}.

Nawas Ibnu Sam’an Radliyallaahu ‘anhu berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tentang kebaikan dan kejahatan. Beliau bersabda: “Kebaikan ialah akhlak yang baik dan kejahatan ialah sesuatu yang tercetus di dadamu dan engkau tidak suka bila orang lain mengetahuinya” {Muslim}.  

DASAR AKHLAK MENURUT ISLAM

Dasar sumber akhlak menurut Islam ada 2 perkara yakni ;

Pertama adalah Al-Qur’an => Dasar suatu pendirian yang dapat dipercaya dan dapat diterima serta bisa diterapkan adalah pendirian yang berdasarkan kaidah-kaidah dan undang-undang. Dan sejauh yang menyangkut akhlak yang dikemukakan oleh Islam, pokok dan sumbernya yang paling autentic (dapat dipercaya) adalah Kitab Suci Al-Qur’an Karim yang membebaskan dan mengeluarkan bangsa Arab dari kehidupan hewani menjelma menjadi manusia yang berakhlak tinggi, bahkan menjadi manusia yang bertuhan dan menjahirkan sifat-sifat Tuhan. 

Di dalam Al-Qur’an Karim telah dikemukakan baik secara pokok maupun secara terperinci untuk menjalankan akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang buruk, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman ; 

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ  

Artinya, ; “Sesungguhnya Allah swt. menyuruh berlaku adil dan berbuat kebaikan dan memberi kepada kaum kerabat ; dan melarang dari perbuatan keji, dan hal yang tidak disenangi, dan memberontak. [*] Dia memberi kamu nasihat supaya kamu mengambil pelajaran” {QS. An-Nahl, 16 : 91}.

[*] Ayat ini mengandung tiga macam perintah dan tiga macam larangan, yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan kerohanian manusia, bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. Ayat ini menganjurkan berlaku adil, berbuat baik kepada orang lain, dan kasih sayang antara kaum kerabat ; dan melarang berbuat hal yang tidak senonoh, berbuat keburukan dan pelanggaran yang nyata.

Keadilan mengandung arti bahwa seseorang harus memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya yang diterima olehnya dari mereka.

Lebih tinggi dari ‘adl  (keadilan) adalah derajat ihsan  (kebaikan) bila manusia harus berbuat kebaikan kepada orang-orang lain tanpa mengindahkan macamnya perlakuan yang diterima oleh mereka, atau, sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka. Perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balas.

Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi, ialah iitaa’I dzil qurbaa  (memberi seperti kepada kerabat), seorang mukmin diharapkan untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima dari mereka ; begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik  dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan untuk berbuat kebaikan yang ditimbulkan oleh dorongan fitri, seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali. Keadaanya pada derajat ini serupa dengan keadaan seorang ibu yang menyusui anak yang kecintaan terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri.

Sesudah orang mukmin mencapai derajat ini perkembangan akhlaknya menjadi sempurna. Ketiga derajat akhlak ini merupakan segi baiknya dari perkembangan akhlak manusia. Segi buruknya digambarkan dengan tiga perkataan juga, yakni fahsyaa  (perbuatan yang tidak senonoh), munkar  (kebu rukan yang nyata) dan baghy  (perbuatan keji) ; dan munkar  mengandung arti keburukan-keburukan yang orang-orang lain juga melihat dan mengutuknya walaupun mereka boleh jadi tidak menderita sesuatu kerugian, atau pelanggaran atas hak-hak mereka sendiri oleh si pelaku dosa itu. Akan tetapi baghy  merangkum semua dosa dan keburukan, yang tidak hanya nampak dirasakan, dan dicela oleh orang-orang lain, melainkan juga menimbulkan kemudaratan yang nyata pada mereka. Ketiga kata yang sederhana ini meliputi segala macam dosa.

Kedua adalah sabda-sabda Rasulullah saw => Dimana Rasulullah saw telah membentangkan akhlak Islam dengan cara dan bentuk yang sangat baik dan menarik dalam berbagai kesempatan dan pertemuan melalui pelajaran dan nasihat Beliau saw. Apakah untuk perorangan ataupun kelompok, semuanya itu adalah modal yang sangat berharga bagi kehidupan kita. 

Rasulullah saw sebagai penuntun dan pemimpin rohani umat memiliki akhlak yang sangat sempurna, oleh karena itulah sifat-sifat luhurnya dinyatakan didalan Al-Qur’an karim, yakni ;

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ 

Artinya, ; “Dan, sesungguhnya, engkau benar-benar memiliki akhlak yang agung” [*]  {QS. Al-Qalam, 68 : 5}.

[*] Ayat ini merupakan ulasan lebih lanjut mengenai kejanggalan tuduhan yang dilemparkan kepada Rasulullah saw. seakan-akan beliau gila. Menurut ayat ini Rasulullah saw. bukan saja sakit jiwa melainkan adalah yang paling mulia dan paling sempurna di antara umat manusia dan yang memiliki segala kesempurnaan akhlak dalam ukuran sepenuhnya, kesemua sifat itu bersama-sama membuat sang pemiliknya itu jadi gambaran sempurna Khaliknya.

Beliau adalah perwujudan segala nilai akhlak baik yang bisa dimiliki manusia. Segala nilai akhlak tinggi berpadu pada pribadi beliau dalam suatu keseluruhan yang sempurna lagi serasi. Siti ‘Aisyah r.a., istri Rasulullah saw. yang sangat berbakat, ketika pada sekali peristiwa diminta menerangkan peri keadaan Rasulullah saw., bersabda, “Beliau memiliki segala keagungan akhlak yang disebut dalam Alquran sebagai ciri-ciri istimewa seorang abdi Allah yang sejati” (Bukhari).

Di dalam Surah lain dikatakan, ; 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً 

Artinya, ; “Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah saw., suri teladan yang sebaik- baiknya [*] bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan  Allah dan Hari Kemudian dan yang banyak mengingat Allah” {QS. Al-Ahzab, 33 : 22}.

Dari dua ayat ini nyatalah menerangkan dengan tegas bahwa wujud pribadi Rasulullah saw merupakan bukti hidup tentang keluhuran akhlak dan keindahan amal perbuatan Beliau saw.

Setelah kewafatan Rasulullah saw, para sahabat berkesempatan menanyakan tentang akhlak Beliau saw kepada istri beliau saw yang bernama ‘Aisyah ra, yakni ; Ya ‘Aisyah apakah akhlak Rasulullah saw ? ; ‘Aisyah ra menjawab ; 

كَانَ خُلُقُهُ كُلُّهُ الْقُرْاَنْ

Artinya, ; ‘Bahwasannya Akhlak Beliau saw adalah Al-Qur’an’ {Musnad Ahmad bin Hambal, Jilid VI, Hal. 212}.

MACAM-ACAM AKHLAK

Pembawaan alami yang dikendalikan sesuai dengan aturan hingga menimbulkan perilaku yang ditempatkan pada tempatnya, itulah yang disebut AKHLAK. Istilah lain untuk akhlak adalah moral atau budi pekerti.

Macam-macam akhlak menurut Islam ada 2 jenis, yakni ;

Pertama akhlak yang baik => Semua amalan yang dilakukan sesuai dengan akal sehat dan syariat, pengamal ahklak yang selalu bertekat dan berikhtiar guna menunaikan perbuatan-perbuatan yang cocok dengan kehendak Allah Ta’ala dan sebagai manusia yang menzahirkan sifat-sifat-Nya. Dan sekaligus mempraktekkannya berdasarkan sifat-sifat Ilahi, maka inilah yang dikatakan akhlak yang baik.

Artinya seseorang baru dapat dikatakan memiliki akhlak yang baik jika dalam melakukan sesuatu telah sesuai dengan akal sehat, syariat, keadaan dan situasi. Jadi akhlak baik itu bukan hanya memperlihatkan kesabaran, lemah-lembut dan merendahkan diri, tetapi akhlak baik adalah dimana dari penggunaan yang berbarengan antara perbuatan anggota badan dan batin manusia. Contohnya ;

Dari mata manusia keluar air-mata, dan ini adalah perbuatan anggota badan dan dalam waktu bersamaan itu, hati juga ikut memperlihatkan kasih-sayangnya, maka apabila ini dilakukan secara tepat dan benar, ini barulah yang dikatakan akhlak yang baik.

Jika tangan kita diangkat untuk melawan musuh, di dalam kalbu muncul suatu kekuatan yang disebut Syuja’at (keberanian). Apabila kekuatan ini dipergunakan secara tepat dan benar maka dinamakan akhlak yang baik. 

Kedua akhlak yang buruk => Akhlak yang buruk muncul diakibatkan diantaranya adalah menonjolnya sifat kesempitan hati, kependekan dari pandangan, mementingkan diri sendiri, berfihak kepada keluarga atau suku secara membabi-buta, dan sejenisnya. Pada intinya sifat-sifat yang buruk adalah cerminan dari melawan sifat-sifat Ilahi.

Post a Comment

0 Comments