IMAM HUSAIN r.a. AHLULBAIT NABI s.a.w.: Tarbiyat pada Masa Kanak-kanak



Ilustrasi (moderntrekker)

Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori (Muballigh Kebumen dsk/Jateng 2)

Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Sesungguhnya Allah menghendaki agar dia menghilangkan segala  kekotoran dari dirimu,
hai ahlulbait, dan Dia mensucikan kamu sesuci-sucinya. (QS 33/Al-Ahzab: 34/”Bismilaah” dihitung sebagai Ayat ke-1).

“Segenap jiwa dan hatiku
kukorbankan untuk
keindahan Hadhrat Muhammad s.a.w..
Setiap partikel dari diriku
Kukorbankan demi
keluarga Hadhrat Muhammad s.a.w.”
(Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.: Durre Tsamin Persia, hlm. 89).

SIAPAKAH AHLULBAIT ITU?
Penafsiran ulama mengenai makna kata “ahlulbait” dalam Ayat 34 Surah Al-Ahzab, dapatlah kita simpulkan sebagai berikut:

Pertama: Pada umumnya para ulama ahli tafsir berpendapat bahwa makna “ahlulbait” mencakup 2 pihak yaitu para ahlul-bait ‘aba [Rasulullah s.a.w., Sitti Fathimah (r.a.), ‘Ali bin Abi Thalib (r.a.), Al-Hasan (r.a.) dan Al-Husain (r.a.)] dan para istri Rasulullah s.a.w.. 

Kedua: Abu Sa’id Al-Khudriy [r.a.] (seorang sahabat Nabi [s.a.w.]) dan sejumlah para ulama tafsir dari kaum Tabi’in, termasuk Mujahid dan Qatadah, berpendapat bahwa “ahlulbait” terbatas pada ahlul-‘aba.
Ketiga: Ibnu ‘Abbas [r.a.] (seorang sahabat Nabi) dan Ikrimah [r.h.] (dari kaum Tabi’in) berpendapat bahwa yang dimaksud “ahlulbait” ialah para Ummahaatul Mu’miniin yakni para ibu suci istri-istri Rasulullah s.a.w..

Keempat: Ibnu Hajar dan Tsa’labiy berpendapat bahwa yang dimaksud “ahlulbait” ialah orang-orang Bani Hasyim karena mereka mengartikan kata “bait” dengan “keluaga” yakni keluarga seketurunan. Dengan demikian maka ‘Abbas bin ‘Abdul Mutthalib (paman Nabi [s.a.w.]), saudara-saudaranya dan anak-anaknya, semuanya termasuk dalam pengertian “ahlulbait”. Pengertian tersebut didasarkan pada riwayat yang berasal dari Zaid bin Arqam, dan tercantum di dalam “Tafsir Al-Khazin”.

Kelima: Al-Khatib Asy-Syaibaniy sependapat dengan Al-Buqa’iy bahwa menurut mereka, penafsiran yang terbaik mengenai kata “ahlulbait” ialah: setiap orang yang hidup bersama Rasulullah s.a.w., baik lelaki, perempuan, istri, kerabat maupun hamba sahaya. Mereka itulah yang sangat dekat dengan Nabi s.a.w., memperoleh perhatian khusus dari beliau dan selalu menyertai beliau; karena itu mereka lebih berhak dan lebih patut disebut ”ahlulbait”.

Demikian kesimpulan K.H. Abdullah bin Nuh dalam bukunya “Keutamaan Keluarga Rasulullah saw” (1987: 13).

Sedangkan Malik Ghulam Farid (editor “Tafsir Singkat”: 2014) menambahkan bahwa ungkapan “ahlulbait” pada pokoknya dan terutama dikenakan kepada istri-istri Rasulullah s.a.w.. Hal ini jelas sekali dari konteksnya dan dari Ayat-ayat QS 11:74 dan 28:13. Akan tetapi dalam arti yang lebih luas ungkapan itu meliputi juga semua anggota keluarga yang membentuk rumah tangga seseorang, bahkan anak-anaknya dan cucu-cucunya juga. Ungkapan itu dipergunakan juga oleh Rasulullah s.a.w. untuk beberapa sahabat beliau (s.a.w.) yang terpilih. “Salmaanu minnaa ahlilbaiti” (Salman adalah anggota keluarga kami), demikian suatu sabda Rasulullah s.a.w. yang termashur (Shaghir) [Tafsir no. 2353].

MENCINTAI AHLULBAIT
Zaid bin bin Arqam mengisahkan: Suatu hari Rasulullah (s.a.w.) menyampaikan khutbah di hadapan kami. Ketika itu kami sedang singgah di Khum, sebuah daerah yang mempunyai mata air di antara Makkah dan Madinah. Setelah mengucapkan tahmid (memuji Allah), beliau (s.a.w.) pun menasihati dan berpesan kepada kami. Di antara pesannya itu, beliau (s.a.w.) mengatakan:

“Amma ba’du. Ketahuilah wahai semua yang hadir, aku ini hanyalah manusia. Sebentar lagi aku akan dijemput oleh utusan Rabbku, dan aku harus memenuhi panggilan-Nya. Karena itu, aku tinggalkan dua hal berat di tengah-tengah kalian:

Pertama, Kitabullah yang berisi petunjuk dan cahaya. Ambillah ia dan berpegangteguhlah kepadanya.” (Kemudian beliau [s.a.w.] menyemangati kami untuk mengikuti dan mengamalkannya). 
Dan (kedua), Ahlul Bait. Aku ingatkan kalian agar bertakwa kepada Allah terkait Ahlul Baitku; aku ingatkan kalian agar bertakwa kepada Allah terkait Ahlul Baitku; aku ingatkan kalian agar bertakwa kepada Allah terkait Ahlul Baitku” (HR Muslim no, 2408).
 
Nah, pada pada kesempatan ini kita akan fokus mengenal salah seorang ahlulbait kita yaitu Imam Husain r.a..

BIOGRAFI SINGKAT
Berikut ini biografi singkat Imam Husain r.a. menurut Fatih Guven dalam bukunya “560 Hadits dari 14 Manusia Suci” (1995: 137):

Nama : Hussain.
Gelar : Sayyidu Syuhada’, Asy-Syahid bi-Karbala.
Julukan : Abu Abdillah.
Ayah : Ali bin Abi Thalib.
Ibu : Fatimah Az-Zahra.
Tempat lahir : Madinah.
Tanggal lahir : Kamis, 3 Sya’ban 3 H.
Hari, tanggal wafat: Jumat, 10 Muharram 61 H.
Umur : 58 tahun.
Sebab kematian: Dibantai di Padang Karbala.
Makam : Padang Karbala.
Jumlah Anak : 6 orang (4 laki-laki dan 2 perempuan).

NASAB
Syaikh Hasan al-Husaini dalam bukunya “Hasan & Husain The Untold Stories” [2013: 65] memaparkan nasab Imam Husain r.a. dari pihak ayah:

(Imam) Al-Husain (r.a.) bin Ali bin Abu Thalib (Abdi Manaf) bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Sedangkan nasab Imam Husain r.a. dari pihak ibu adalah sebagai berikut: Fathimah r.a. binti Muhammad (Rasulullah s.a.w.).

Adapun nasab Nabi Muhammad s.a.w. sudah kita maklumi bahwa beliau s.a.w. adalah putra Abdullah bin Abdul Mutahlib, dan selanjutnya sama dengan nasab Imam Husain r.a. dari pihak ayah.

KEUTAMAAN AYAH DAN BUNDANYA
Perihal keutamaan Ayahandanya yaitu Imam Ali r.a., Nabi s.a.w. bersabda:

“Sungguh, yang mencintaimu (yuhibbuka) hanyalah orang mukmin dan yang membencimu (yab-gho-dhuka) hanyalah orang munafik” [HR At-Tirmidzi no. 3736].

Perihal keutamaan Ibundanya yaitu Hadhrat Fathimah r.a., Nabi s.a.w. bersabda:
“Fathimah (r.a.) adalah pemimpin para wanita (sayyidatu nisaa-i) umat ini” [HR Bukhari dan Muslim].

KELAHIRAN 
Menurut Syaikh Hasan dalam bukunya itu (2013: 71-72) bahwa Imam Husain r.a. lahir pada bulan Sya’ban 4 H [“Nasab Quraisy” I/23].

O. Hashem dalam bukunya “Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail” (2007: 184) dengan detail mendata bahwa cucu Rasulullah s.a.w. tersebut lahir di Madinah, 3 Sya’ban 4 H (8 Januari 626 M) di kamar dan sekaligus rumah (Imam) Ali (r.a.), (Hadhrat) Fathimah (r.a.). Kamar ini berada di samping utara kamar Rasulullah (s.a.w.), menempel di sisi timur Masjid Madinah. 
H.M.H. Alhamid Alhusaini dalam bukunya “Alhusain bin Ali r.a. Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya” (1978: 1) memberi data yang sedikit berbeda yaitu tanggal 5 bulan Sya’ban tahun ke-4 Hijriyah.

Dalam hal ini masing-masing sedikit berbeda juga dengan info yang diberikan Fatih Guven (1995: 137) di atas.
 
Sebuah riwayat dari Imam Ali r.a. menyebutkan ketika Imam Husain r.a. lahir, beliau (Imam Ali r.a.) menamainya Ja’far yaitu nama pamannya. Namun atas saran Rasulullah s.a.w. (berdasarkan petunjuk dari Allah s.w.t.) nama yang direkomendasikan adalah al-Husain [HR Ahmad (no. 1370)].

ADZAN UNTUK KELAHIRANNYA
Dalam Sunan Abu Dawud [no. 5105] bahwa Abu Rafi menuturkan bahwa mengumandangkan adzan di telinga (Imam) al-Hasan (r.a.) dan (Imam) al-Husain (r.a.) saat keduanya baru saja dilahirkan.

TABRIK DAN TAHNIK
Disebutkan dalam Musnad al-Bazzar (I: 436), Imam Ali bin Abu Thalib (r.a.) menuturkan:
“Saat (Imam) al-Hasan (r.a.) lahir, aku memberinya nama “Harb”. Karena aku ingin dipanggil dengan kun-yah Abu Harb. Kemudian Nabi (s.a.w.) datang untuk mentahnik-nya, lantas beliau (s.a.w.) bertanya, “Nama apa yang kalian berikan pada cucuku?” “Harb,” jawab kami. Beliau (s.a.w.) bersabda “Janganlah kalian menamainya dengan itu, tetapi namailah al-Hasan.”

Setelah itu (Imam) al-Husain (r.a.) lahir, dan aku menamainya Harb. Nabi (s.a.w.) pun datang untuk mentahnik-nya, lalu beliau (s.a.w.) bertanya, “Nama apa yang kalian berikan pada cucuku?” “Harb,” jawab kami. Beliau (s.a.w.) bersabda “Janganlah kalian menamainya dengan itu, tetapi namailah al-Husain.”

Ada sebuah riwayat dari Hadhrat Aisyah r.a. yang menyebutkan:

“Dahulu, anak-anak yang baru lahir, biasanya dibawa ke hadapan Nabi, lalu beliau (s.a.w.) melakukan tabrik dan tahnik terhadap mereka” [HR Muslim no. 286].

Imam Nawawi menerangkan, ”Tabrik adalah mendoakan anak yang baru lahir disertai dengan mengusap mereka. Kata ini berasal dari akar kata barakah, artinya ada dan melimpahnya kebaikan. Sedangkan tahnik, artinya memamah buah kurma atau sejenisnya, kemudian diusapkan ke mulut anak yang baru lahir” [HR Muslim]. 

CUKUR RAMBUT
(Hadhrat) Ja’far ash-Shadiq (r.h.) menuturkan dari ayahnya, (Hadhrat) Muhammad al-Baqir (r.h.), “Dahulu, Fathimah binti Rasulullah (s.a.w.) mencukur dan menimbang rambut (Imam) al-Hasan (r.a.), (Imam) al-Husain (r.a.), (Hadhrat) Zainab (r.a.) dan (Hadhrat) Ummu Kultsum (r.a.). Lalu dia menyedekahkan perak seberat timbangan rambut masing-masing mereka” [Al-Muwaththa’ karya Imam Malik r.h.].

(Hadhrat) Muhammad al-Baqir (r.h.) bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain Asy-Syahid (r.a.) menuturkan dari (Imam) Ali (r.a.): Nabi s.a.w. mengakikahkan (Imam) al-Hasan (r.a.) dengan seekor kambing dan beliau (s.a.w.) berkata kepada putrinya, “Hai Fathimah (r.a.), cukurlah rambutnya lalu bersedekahlah dengan perak seberat rambutnya” [HR At-Tirmidzi no. 1519].

KHITAN
Ummul Mukminin Aisyah r.a. menuturkan, “Rasulullah s.a.w. mengkhitan (Imam) al-Hasan (r.a.) dan (Imam) al-Husain (r.a.) pada hari ke-7” [Al-Badrul Munir (VIII: 751)].

AQIQAH (baca: Akikah)
Ibnu ‘Abbas meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. mengakikahkan (Imam) al-Hasan (r.a.) dan (Imam) al-Husain (r.a.), masing-masing dengan 1 ekor kambing [HR Abu Dawud no. 2841].

Dan menurut satu riwayat, Hadhrat Fathimah (r.a.) mengakikahkan kedua putranya dan menghadiahkan paha kambing serta uang 1 dinar kepada wanita yang membantu persalinannya [Tuhfatul Maulud hlm. 55].
 Dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. mengakikahkan (Imam) al-Hasan (r.a.) dan (Imam) al-Husain 2 ekor kambing. Beliau (s.a.w.) menyembelih kambing tersebut pada hari ke-7 (setelah kelahiran cucunya tersebut), menyisir kepala kedua anak itu, dan memerintahkan agar mrnghilangkan sisa-sisa kotoran dari kepala mereka. Beliau (s.a.w.) juga bersabda, “Sembelihlah untuk nama anak ini, dan ucapkanlah (ketika menyembelih):

BISMILAAHI, ALLOOHUMMA LAKA WA ILAIKA, HAA-DZIHI ‘AQIIQOTU FULAAN
“Bismillaah, ya Allah, sembelihlah ini untuk-Mu dan kembali kepada-Mu. Ini adalah akikah fulan” [HR Al-Baihaqi: IX: 303].  

RUTIN KE MASJID
Suatu hari, (Imam) al-Hasan (r.a.) bersama saudaranya, (Imam) al-Husain (r.a.) datang ke Masjid Nabawi. Saat itu para sahabat tengah berkumpul dalam masjid, mendengar Nabi (s.a.w.) yang sedang berkhutbah di atas mimbar. (Imam) Al-Hasan (r.a.) masuk ke dalam masjid sambil menuntun tangan kanan (Imam) al-Husain (r.a.). Keduanya mengenakan baju berwarna merah. Jatuh dan bangun menyelai langkah keduanya ketika melintas di tengah para sahabat. Melihat kedatangan cucunya, Rasulullah (s.a.w.) turun dari mimbar dan langsung meraih keduanya, lalu membawa mereka ke atas mimbar.

Beliau (s.a.w.) kemudian bersabda, “Mahabenar Allah yang telah berfirman, “INNAMAA AMWAALUKUM WA AWLAADUKUM FITNAH” (Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan [bagimu]) [QS 64/At-Taghabun: 15]. Aku tidak dapat menahan diri ketika melihat kedua anak ini.”
Setelah itu, beliau (s.a.w.) meneruskan khutbahnya [HR Abu Dawud no. 935].

BERMAIN BERSAMA ANAK-ANAK SEBAYA
Ya’la bin Murrah mengisahkan bahwa pada suatu ketika ia pernah pergi bersama Nabi (s.a.w.) untuk menghadiri undangan makan. Saat itu tampak (Imam) al-Husain (r.a.) tengah bermain di jalanan. Melihat cucunya itu, Nabi (s.a.w.) langsung melangkah ke depan dan ingin meraihnya dengan kedua tangan beliau (s.a.w.). Akan tetapi (Imam) al-Husain (r.a.) justru berlarian kesana-kemari. Nabi (s.a.w.) terus mengejar dan mencandainya hingga akhirnya berhasil menangkapnya. 

Beliau (s.a.w.) mengapit kedua telapak tangan di dagu dan kepala (Imam) al-Husain (r.a.), lalu menciumnya. Kemudian beliau (s.a.w.) bersabda, “Husain adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari Husain. Allah akan mencintai orang yang mencintai Husain. Husain adalah salah satu cucuku (dari anak perempuanku)” [HR Ibnu Majah no. 141].

CIRI-CIRI FISIK 
Ibnu ‘Abbas (r.a.) menuturkan, “Sungguh, dahulu kami menyamakan (Imam) al-Husain (r.a.) dengan Nabi (s.a.w.)” [At-Tarikh Al-Kabir karya al-Bukhari: II: 381].

KUN-YAH DAN JULUKAN
Imam al-Husain r.a. mempunyai kun-yah yaitu Abu Abdillah. Sedangkan julukannya adalah sebagai berikut [Syaikh Hasan al-Husaini: 2013: 65-66]:

As-Sibth (Cucu):
Nabi s.a.w. menuturkan tentang Imam Husain r.a.: “Husain adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian dari Husain. Allah akan mencintai orang yang mencintai Husain. Husain adalah salah satu cucuku (dari anak perempuanku) (sib-thun minal-as-baath)” [HR At-Tirmidzi no. 3708].
 
Ar-Raihanah (Sejenis Tumbuhan yang Berbau Harum).
Abdullah bin Umar bin al-Khathab menyebutkan; Nabi s.a.w. pernah berkata tentang Imam al-Hasan r.a. dan Imam al-Husain r.a.:

“Keduanya adalah raihanah-ku di dunia ini” [HR Bukhari no. 3543].
Konteks serupa tergambar melalui perkataan Nabi Ya’qub a.s. saat kehilangan Nabi Yusuf a.s.: ”… sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)” [QS 12/Yusuf: 94].

As-Sayyid (Pemimpin).
Hadhrat Abdullah bin Umar bin al-Khathab r.a. menuturkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemimpin para pemuda penghuni Surga (sayyidaa syabaabi ahlil-jannah). Sementara, ayah mereka berdua lebih baik daripada keduanya” [HR Ibnu Majah no. 118].

Demikianlah riwayat hidup masa kanak-kanak Imam Husain r.a., salah seorang ahlulbait Nabi Muhammad s.a.w.. Semoga kita dapat mengambil faedah dari teladan tersebut.

BAHAN BACAAN
Alhusaini, H.M.H. Alhamid (1978). Alhusain bin Ali r.a. Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya”. Semarang: CV. Toha Putra.
Al-Husaini, Syaikh Hasan (2013). Hasan & Husain The Untold Stories. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
(Bin) Nuh, K.H. Abdullah (1987). Keutamaan Keluarga Rasulullah saw. Semarang: CV. Toha Putra.
Farid, Malik Ghulam (editor) [2014]. Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakarta Barat: Neratja Press.
Guven, Fatih (1995). 560 Hadits dari 14 Manusia Suci. Bangil: Yayasan Islam Al-Baqir.
Hashem, O (2007). Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail. Jakarta: Ufuk Press.

Post a Comment

0 Comments