Rasul Ibrahim a.s.: Keimanan dan Pengetahuannya


Oleh : Mln. Zafar Ahmad Khudori - Kebumen, Jawa Tengah

‘Idul Adha datang dan pergi. Tetapi pelajarannya tetap abadi. Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. dalam khotbahnya (Agustus 1915) menjelaskan bahwa ‘Idul Adha adalah memperingati peristiwa kecintaan sejati kepada Tuhan yang diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim a.s. sekitar 4000 tahun yang lalu. Sejak itu, hasil dari peristiwa tersebut, dunia tengah menyaksikannya hingga hari ini. 

Seorang anak laki-laki dilahirkan di negeri Ur, 4000 tahun yang silam di sebuah rumah seorang pembuat berhala (yaitu di rumah pamannya, Azar). Dan ia tumbuh dewasa di suatu keluarga yang siang malam cenderung dalam perkumpulan menyekutukan Tuhan dan menyembah berhala-berhala. Namun anak ini terlahir dengan hati yang diterangi Nur Ilahi dan memandang jijik terhadap berhala-berhala semenjak masa kanak-kanaknya” (Darsus no. 11/1999).

Inilah tokoh yang akan kita renungkan riwayatnya pada kesempatan ini, sejak kelahiran hingga masa kerasulannya.

Waktu dan Tempat Kelahiran

Menurut Dr. Jerald F. Dirks dalam bukunya “Ibrahim Sang Sahabat Tuhan” (2004: 24): "(Nabi) Ibrahim (a.s.) tampaknya lahir sekitar tahun 2166 SM. di Ur, Irak. Menarik untuk disimak, Kitab Kejadian (mulai Kejadian: 11:26 sampai 17:5) berulang-ulang menyatakan bahwa nama asli (Nabi) Ibrahim (a.s.) adalah Abram (secara etimologi, nama ini mungkin berasal dari Abi’ram yang artinya ”terpujilah bapak [saya])”.

Menurut Kitab Kejadian (Kejadian 17:5), Abram belum diberi nama Ibrahim sampai beberapa waktu setelah kelahiran putra pertamanya (Nabi) Ismail (a.s.): “Karena itu namamu bukan lagi Abram, melainkan Abraham karena engkau telah Kutetapkan menjadi bapak sejumlah besar bangsa.”
Tentang nama ayah Nabi Ibrahim a.s. telah saya bahas dalam artikel berjudul: “Nabi Ibrahim a.s.: Idul Adha dan Ibadah Haji” (www.islam-damai.com).

Selanjutnya Dirks (2004: 38) memaparkan: "Sumber-sumber Alkitab (Kejadian 11: 28-30 dan 15: 7) mengindikasikan bahwa (Nabi) Ibrahim (a.s.) lahir di, atau dekat, kota Ur di Mesopotamia bagian selatan, dan ia hijrah dari Ur ke Haran (Padan-aram, Aram-naharaim) di Turki bagian tenggara kala dewasa. Meski ada identifikasi Alkitab semacam ini mengenai (Nabi) Ibrahim (a.s.) dan Ur, Taurat tidak banyak menyinggung tentang kehidupan awal Ibrahim. Jadi, hampir segala sesuatu mengenai kehidupan (Nabi) Ibrahim (a.s.) di Ur bersumber dari Al-Quran dan Hadits Shahih. Namun, penemuan arkeologis memberikan gambaran jelas tentang kehidupan religius dan sekuler pada paruh terakhir millennium ke-3 SM di Ur, tempat di mana (Nabi) Ibrahim (a.s.) lahir dan dibesarkan."

Nabi Ibrahim a.s. dan Monoteisme

Selanjutnya Dirks (2004: 45) mengemukakan: Al-Quran memberikan 2 sumber informasi yang saling melengkapi berkenaan dengan penerimaan Nabi Ibrahim a.s. akan monoteisme. Yang pertama adalah penalaran Nabi Ibrahim a.s. tentang alam dan yang kedua, memberi penekanan bahwa Nabi Ibrahim a.s. dipilih oleh Allah [di Ur, Irak pada tahun 2152 SM, pada saat usia (Nabi) Ibrahim (a.s.) 14 tahun]. 

Pengamatan Alam

Selanjutnya Dirks (2004: 46-48) mengemukakan bahwa dengan fokus yang terarah, Nabi Ibrahim a.s., meski ia masih di awal masa remajanya, mungkin baru berusia sekitar 14 tahun, mulai merenungkan hukum-hukum alam dalam kosmos yang mengatur dan menata bulan (Sin), matahari (Shamash) dan bintang senja (Ishtar). Sebagaimana disinggung dalam Al-Quran, sebagai berikut, Allah s.w.t. berfirman: 

وَكَذَٰلِكَ نُرِىٓ إِبْرَٰهِيمَ مَلَكُوتَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ ٱلْمُوقِنِينَ

Dan, demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi supaya ia termasuk orang-orang yang yakin. (Al-An’am: 75).

Menurut “Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Singkat” (dengan editor Malik Ghulam Farid: selanjutnya akan dikutip dengan sebutan “Tafsir Singkat” saja), maksud Ayat tersebut ialah bahwa Tuhan melimpahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. pengetahuan dan pengertian tentang hukum-hukum alam yang berlaku di alam semesta ini dan melimpahkan ilmu tentang kekuatan serta kekuasaan Tuhan Yang meliputi segala sesuatu [Catatan Tafsir No. 865].

Firman-Nya lagi:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ ٱلَّيْلُ رَءَا كَوْكَبًا ۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّى ۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَآ أُحِبُّ ٱلْءَافِلِينَ

Maka, tatkala malam telah menjadi gelap ia melihat sebuah bintang (kaukaba). Ia berkata, “Inikah Tuhan-ku?” Tetapi tatkala bintang itu terbenam ia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam. (Al-An’am: 76).

Dia berfirman: 

فَلَمَّا رَءَا ٱلْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّى ۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِى رَبِّى لَأَكُونَنَّ مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلضَّآلِّينَ

Lalu tatkala ia melihat bulan (al-qomar) terbit memancarkan cahaya, ia berkata, “Inikah Tuhan-ku?” Tetapi tatkala bulan itu terbenam, ia berkata, “Jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, niscaya aku termasuk kaum yang sesat’ (QS Al-An’am: 77).

Firman-Nya lagi: 

فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَٰذَا رَبِّي هَٰذَا أَكْبَرُ ۖ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ

Maka tatkala ia melihat matahari (Asy-Syams) terbit memancarkan cahaya, ia berkata, “Inikah Tuhan-ku? Ini lebih besar!“ Tetapi ketika itu pun terbenam, ia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku terbebas dari apa pun yang kamu persekutukan” (QS Al-An’am: 78).

Dalam “Tafsir Singkat” dijelaskan bahwa Ayat 77 sampai 79 mengandung keterangan yang diberikan Nabi Ibrahim a.s. untuk menjelaskan kepada kaumnya –penganut agama berhala– kejanggalan kepercayaan mereka bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang adalah di antara sekian banyak sembahan mereka (Jewish Encyclopedia).

Adalah keliru mengambil kesimpulan dari Ayat-Ayat ini bahwa Nabi Ibrahim a.s. sendiri meraba-raba dalam kegelapan dan tidak tahu siapa gerangan Tuhan-nya, dan bahwa beliau a.s. menganggap bintang timur, bulan dan matahari: satu-persatu sebagai tuhan, dan bilamana tiap-tiap dari mereka tenggelam pada gilirannya masing-masing beliau a.s. melepaskan kepercayaan mengenai ketuhanan mereka, dan beliau a.s. kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi. 

Sebenarnya, Ayat-ayat itu mengandung beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim a.s., jauh dari kemungkinan mengambil benda-benda di langit sebagai tuhan-tuhan; melainkan beliau a.s. hanya berusaha memperlihatkan kepada kaumnya kehampaan kepercayaan mereka dengan cara selangkah demi selangkah [Catatan Tafsir no. 866].

Keyakinan yang Teguh Nabi Ibrahim a.s. kepada Tuhan Yang Maha Esa

Ayat-ayat 75-76 menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu seorang yang teguh kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu beliau a.s. tidak dapat dianggap meraba-raba dalam kegelapan dan melantur dari satu tuhan kepada yang lainnya. Kata-kata, “Inikah Tuhan-ku?“, merupakan dalil yang menentang penyembahan bintang. Beliau a.s. mengucapkan kata-kata itu untuk menerangkan kekeliruan kepercayaan kaum baliau a.s. bahwa bintang itu harus tenggelam. Jadi, dalil beliau a.s. yang terkandung dalam kata-kata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam,” niscaya sudah terkandung sebelumnya dalam pikiran beliau a.s..
 
Pada hakikatnya beliau a.s. ingin menggunakan dalil beliau a.s. dalam 3 cara yang sangat jitu. Oleh karena itu mula-mula beliau a.s. seolah-olah menduga bintang itu Tuhan-nya dan, bila lenyap, beliau a.s. segera menyatakan, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Seperti itu pula halnya dengan terbenamnya bulan dan matahari. Adapun tentang matahari, beliau a.s. menggunakan kata “lebih besar“ atau “terbesar” secara sindiran, untuk mencela kaum beliau a.s. atas kebodohan mereka. Hal itu jelas menunjukkan bahwa dengan jalur dalil-dalil yang dipakai baliau a.s., Nabi Ibrahim a.s. berniat menarik kaum beliau a.s. kepada Tuhan secara bertahap [Catatan Tafsir no. 866].

Keimanan dan Pengetahuan Nabi Ibrahim a.s.Tentang Sifat-sifat Tuhan

Selayang pandangan atas Ayat-ayat 80-82 membuat jelas sekali bahwa Nabi Ibrahim a.s. tidak hanya memiliki keimanan yang teguh kepada Tuhan, akan tetapi juga mempunyai pengetahuan mendalam tentang Sifat-sifat Tuhan  [Catatan Tafsir No. 866].

Firman-Nya lagi: 

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Sesunguhnya aku menghadapkan perhatianku kepada Tuhan Yang menciptakan seluruh langit dan bumi, dengan hati yang condong kepada Allah dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik. (Al-An'am:79)

Dirks (2004: 47) menjelaskan bahwa hasil pemahaman dan perenungan Nabi Ibrahim a.s. tentang alam, yang berpusat pada hukum-hukum alam yang mengatur kosmos yang bersifat kasat mata, dan terutama pada hukum-hukum alam yang mengatur gerakan ketiga objek benda langit utama yang paling dipuja di Ur, membuat ia menolak pemberhalaan dan penyembahan politeistis berbentuk benda langit. Dengan begitu, perhatiannya beralih dari makhluk ciptaan kepada Sang Pencipta.

Kata Dirks (2004: 47), selanjutnya bahwa dengan merenungkan hukum-hukum alam yang mengatur matahari, bulan dan bintang senja, Nabi Ibrahim a.s. mulai memahami rencana induk sang pencipta alam semesta yang mengagumkan. Setelah memahami pengertian ini, keteraturan dan keseragaman alam semesta itu juga menuntut adanya ide yang menolak keragaman arsitektur, yang hanya bisa mengarah pada kekacauan dan kebingungan. Setelah menolak ide keragaman arsitektur ini, Nabi Ibrahim a.s. kemudian menolak konsep pencipta yang beragam. Dalam pikiran dan usaha spiritualnya untuk mengetahui dan memahami kehidupan religiusnya, Nabi Ibrahim a.s. bebas dari politeisme lingkungannya. Kesimpulan Nabi Ibrahim a.s. bersifat pasti dan tak bisa dipungkiri: Allah itu Esa dan tanpa sekutu. Kesimpulan tersebut sesuai sesuai dengan QS Al-An’am: 84:

وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Dan itulah hujjah Kami, Kami memberikannya kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami meninggikan derajat orang yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhan engkau Mahabijaksana, Maha Mengetahui.

“Tafsir Singkat” menjelaskan bahwa Ayat ini dengan cara yang pasti memecahkan persoalan apakah Nabi Ibrahim a.s. secara berangsur mencapai keimanan kepada Tuhan dengan mengambil satu benda langit sesudah lainnya sebagai tuhannya ataukah merupakan hujjah yang jitu ditata secara bertahap sehingga dengan jalan itu beliau a.s. berusaha menunjukkan kekeliruan kaumnya dalam menyembah benda-benda langit ini sebagai sembahan.

Ayat itu menunjukkan bahwa keimanan Nabi Ibrahim a.s. semenjak dini telah jelas dan teguh kepada Tauhid Ilahi dan bahwa apa yang dikatakannya berkenaan dengan matahari, bulan dan sebagainya merupakan sebagian dari hujjah yang telah diajarkan Tuhan kepadanya [Catatan Tafsir No. 868].

Nabi Ibrahim a.s. Sebagai Pilihan Allah

Selanjutnya Dirks (2004: 48) mengemukakan bahwa dengan demikian tanpa mengabaikan proses penalaran alam yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. remaja, kita harus beranggapan bahwa Nabi Ibrahim a.s., walaupun mungkin baru berusia 14 tahun, dipilih Allah untuk menjadi penerima pengetahuan monoteisme. Sebagaimana firman Allah s.w.t. berikut ini:

وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَٰهِۦمَ إِلَّا مَن سَفِهَ نَفْسَهُۥ ۚ وَلَقَدِ ٱصْطَفَيْنَٰهُ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَإِنَّهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Dan siapakah yang berpaling dari agama (millah) Ibrahim selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri? Dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat pun ia termasuk orang-orang saleh. (Al-Baqarah: 131).

Keimanan Nabi Ibrahim a.s. Semenjak Dini Jelas dan Teguh

وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ ءَاتَيْنَٰهَآ إِبْرَٰهِيمَ عَلَىٰ قَوْمِهِۦ ۚ نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ ۗ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Dan, itulah hujjah Kami, Kami memberikannya kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami meninggikan derajat orang yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhan engkau Maha Bijaksana, Maha Mengetahui. (Al-An’am: 83)

“Tafsir Singkat” menjelaskan bahwa Ayat ini dengan cara yang pasti memecahkan persoalan apakah Ibrahim a.s. secara berangsur mencapai keimanan kepada Tuhan dengan mengambil satu benda langit sesudah lainnya sebagai tuhannya ataukah merupakan hujjah yang jitu ditata secara bertahap sehingga dengan jalan itu beliau a.s. berusaha menunjukkan kekeliruan kaumnya dalam menyembah benda-benda langit ini sebagai sembahan.

Ayat itu menunjukkan bahwa keimanan Ibrahim a.s. semenjak dini telah jelas dan teguh kepada Tauhid Ilahi dan bahwa apa yang dikatakan beliau a.s. berkenaan dengan matahari, bulan, dan sebagainya merupakan sebagian dari hujjah yang telah diajarkan Tuhan kepada beliau a.s. [Catatan Tafsir No. 868].

وَمِنْ ءَابَآئِهِمْ وَذُرِّيَّٰتِهِمْ وَإِخْوَٰنِهِمْ ۖ وَٱجْتَبَيْنَٰهُمْ وَهَدَيْنَٰهُمْ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Dan dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka, dan Kami telah memilih mereka serta memberi mereka petunjuk kepada jalan yang lurus. (Al-An’am: 87)

ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Itulah petunjuk Allah. Dengan itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan jika mereka berbuat syirik, pasti lenyap dari mereka apa yang telah mereka kerjakan. (Al-An’am: 88)

Nabi Ibrahim a.s. adalah Teladan Kebajikan, Taat, Hanif, Senantiasa Bersyukur,Terpilih dan Terbimbing

إِنَّ إِبْرَٰهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang insan teladan kebajikan, taat kepada Allah, senantiasa cenderung kepada-Nya. Dan bukanlah ia termasuk orang-orang musyrik. (An-Nahl: 121)

“Tafsir Singkat” menjelaskan bahwa arti ”ummah” antara lain ialah: suatu bangsa; suatu golongan bangsa (ras); seorang muttaqi yang pantas menjadi teladan; contoh sempurna dalam kebaikan (Lane) [Catatan Tafsir No. 1586].

شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Senantiasa  bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Dia telah memilihnya dan membimbing ke jalan yang lurus. (An-Nahl: 121)

Nabi Ibrahim a.s., Nabi Ishaq a.s. dan Nabi Ya’qub a.s. adalah orang-orang yang Mempunyai Kekuatan dan Berpandangan Jauh, Terpilih, Memberi Peringatan dan Terbaik

وَٱذْكُرْ عِبَٰدَنَآ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ أُو۟لِى ٱلْأَيْدِى وَٱلْأَبْصَٰرِ

Dan ingatlah kepada hamba-hamba Kami, Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub, orang-orang yang mempunyai kekuatan (ulil aidii) dan berpandangan jauh. (Shad: 45)

“Tafsir Singkat” menjelaskan bahwa arti ”yad” ialah: (1) keuntungan, (2) pengaruh, (3) kekuasaan, (4) balatentara, (5) kekayaan, (6) janji dan (7) serah diri (Aqrab) [Catatan Tafsir no. 2540].

إِنَّآ أَخْلَصْنَٰهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى ٱلدَّارِ

Sesungguhnya Kami memilih mereka untuk tujuan khusus. Guna memperingatkan orang-orang tentang tempat tinggal di akhirat. (Shad: 46)

وَإِنَّهُمْ عِندَنَا لَمِنَ ٱلْمُصْطَفَيْنَ ٱلْأَخْيَارِ

Dan sesungguhnya mereka itu di sisi Kami orang-orang terpilih dan terbaik (al-mush-thofainal-akhyaar). (Shad: 48)

Nabi Ibrahim a.s. adalah seorang yang Shiddiq, Nabi, Hatinya Suci dan Mendapat Petunjuk

Dirks (2004: 49) menjelaskan bahwa meski Nabi Ibrahim a.s. masih muda dan tak berpengalaman, ia telah menganalisis kesimpulan monoteistis dan telah dipilih Allah untuk menerima pengetahuan tentang Keesaan Allah. Nabi Ibrahim a.s. adalah orang yang tulus; dia menghampiri Allah dengan hati yang bersih dan diberi perilaku berbudi oleh Allah.

Sebagaimana firman Allah s.w.t. berikut ini: 

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ إِبْرَٰهِيمَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا

Dan ceritakan kisah Ibrahim yang ada dalam al-kitaab (Kitab itu). Sesungguhnya, ia benar dan seorang nabi (shiddiiqon-nabiyya). (Maryam: 41)

“Tafsir Singkat” menjelaskan bahwa kata “al-kitaab“ (Kitab itu) pada Ayat tersebut berarti Al-Quran. Di sini Rasulullah s.a.w. disuruh menceriterakan kisah Nabi Ibrahim a.s. seperti yang tersebut dalam Al-Quran dan bukan seperti tertera dalam “Alkitab” dalam arti “Bible”. Al-Quran menggambarkan Nabi Ibrahim a.s. sebagai seorang yang tulus dan benar, kebalikannya Bible menuduh beliau a.s. berdusta (Kejadian 20: 13). Al-Quran telah memberi tekanan khas mengenai Nabi Ibrahim a.s. sebagai seorang yang tulus dan benar, boleh jadi karena nanti di masa mendatang ucapan-ucapan dusta akan dituduhkan kepada beliau (a.s.) oleh beberapa ahli tafsir Al-Quran [Catatan Tafsir no. 1773].

إِذْ جَآءَ رَبَّهُۥ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Ketika ia datang menghadap Tuhan-nya dengan hati yang suci (bi-qolbin saliim). (Ash-Shaaffaat: 84)

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَآ إِبْرَٰهِيمَ رُشْدَهُۥ مِن قَبْلُ وَكُنَّا بِهِۦ عَٰلِمِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Ibrahim petunjuknya (rusydahuu) sebelum ini dan Kami mengetahui benar tentang dia. (Al-Anbiyaa’: 51)

Nabi Ibrahim a.s. adalah seorang Uswatun Hasanah

Dirks (2004: 49) menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim a.s. telah menjadi menjadi Rasul pada usia muda, di usia yang tidak lazim, dan ia menjadi model dari ketaatan kepada Allah serta teladan luar biasa yang harus dicontoh semua orang. Sebagaimana firman-Nya berikut ini:

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ إِبْرَٰهِيمَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا

Dan ceritakan kisah Ibrahim yang ada dalam kitab itu. Sesungguhnya, ia seorang yang benar dan seorang nabi (shiddiiqon-nabiyya). (Maryam: 41)

شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang insan teladan kebajikan, taat kepada Allah, senantiasa cenderung kepada-Nya. Dan bukanlah ia termasuk orang-orang musyrik. (An-Nahl: 121)

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذْ قَالُوا۟ لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُا۟ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةُ وَٱلْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَحْدَهُۥٓ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَٰهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآ أَمْلِكُ لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن شَىْءٍ ۖ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِيرُ

Sesungguhnya bagimu ada contoh yang baik (uswatun hasanah) dalam diri Ibrahim dan orang-orang yang besertanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari kamu. Dan telah nyata permusuhan dan kebencian di antara kami dan kamu untuk selama-lamanya hingga kamu beriman kepada Allah semata -kecuali yang dikatakan Ibrahim kepada bapaknya sebagai suatu pengecualian, “Tentulah aku akan memohonkan ampunan bagi engkau, meskipun aku tidak berdaya menolong engkau sedikit pun terhadap Allah.” Ia berdoa, “Wahai Tuhan kami, kepada Engkau kami bertawakkal, dan kepada Engkau kami tunduk dan kepada Engkau kami akan kembali. (Al-Mumtahanah: 4)

“Tafsir Singkat” menjelaskan bahwa contoh mengenai Nabi Ibrahim a.s., telah disebutkan di sini untuk memberikan tekanan bahwa manakala telah menjadi jelas seorang atau beberapa orang tertentu memusuhi dan bermaksud melenyapkan kebenaran maka segala perhubungan persahabatan dengan mereka harus dihentikan. Ungkapan “kafarnaabikum” yang biasanya diterjemahkan, “kami mengingkari segala yang kamu percayai”, dapat pula diartikan, “kami tidak mempunyai urusan dengan kamu.” Ungkapan “kafara bi ka-dza”, berarti: ia menyatakan dirinya bersih atau bebas dari hal demikian (Lane) [Catatan Tafsir No. 3029].

Nabi Ibrahim a.s. adalah Seorang yang Lurus, Saleh dan Berserah-diri

Dirks (2004: 49) menjelaskan bahwa meski masih remaja, Nabi Ibrahim a.s. telah dipandu ke jalan yang benar, dalam aliran monoteisme yang ketat, dan ia sangat bersyukur kepada Allah atas ilham dan pengetahuan yang dalam.
Sebagaimana firman-Nya berikut ini:

شَاكِرًا لِّأَنْعُمِهِ ۚ ٱجْتَبَىٰهُ وَهَدَىٰهُ إِلَىٰ صِرَٰطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Senantiasa  bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Dia telah memilihnya dan membimbing ke jalan yang lurus. (An-Nahl: 121)


وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَٰهِۦمَ إِلَّا مَن سَفِهَ نَفْسَهُۥ ۚ وَلَقَدِ ٱصْطَفَيْنَٰهُ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَإِنَّهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Dan siapakah yang berpaling dari agama (millah) Ibrahim selain orang memperbodoh dirinya sendiri? Dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat pun ia termasuk orang-orang saleh. (Al-Baqarah: 131)

وَوَصَّىٰ بِهَآ إِبْرَٰهِۦمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَٰبَنِىَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصْطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Ingatlah ketika Tuhan-nya berfirman kepadanya, “Berserah dirilah (aslim),” ia berkata, ”Aku telah berserah diri (aslamtu) kepada Tuhan semesta alam. (Al-Baqarah: 132).

BAHAN BACAAN:

Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud (1999). Idul Adha Kutipan Beberapa Khutbah Idul Adha Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a.. (Darsus) No. 11/1999. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Dirks, Dr. Jerald F. (2006). Ibrahim Sang Sahabat Tuhan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Farid, Malik Ghulam (Editor) [2014]. Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakarta Barat: Neratja Press.

Post a Comment

0 Comments