ANAK DAN PANDEMI



Oleh: Rokhila Farida 

Tidak pernah terlintas, kita akan menjadi saksi sejarah dalam kehidupan manusia di mana kita harus hidup di tengah-tengah pandemi. Covid 19 telah merubah segalanya. Seolah kehidupan kita telah diset ulang dengan keberadaannya. Semua terdampak, tidak terkecuali anak-anak.

Ketika terjadi bencana, anak adalah kelompok paling rentan untuk menjadi korban. Demikian pula ketika pandemi terjadi, anak menjadi kelompok yang harus menjadi perhatian kita bersama. Berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19, per 19 Juli tercatat sebanyak 7008 kasus anak terpapar covid 19 di mana 1,6% di antaranya meninggal dunia.

Beragam upaya dilakukan agar mereka terlindungi, di antaranya dengan mengatur agar anak-anak tetap berada di rumah agar terjaga dari penyebarannya. Pendidikan pun disesuaikan menjadi daring, sistem belajar jarak jauh. Namun rupanya, hal ini membawa sejumlah masalah baru dan dampak lain yang juga fatal.

Penerapan sistem belajar jarak jauh, ternyata mengakibatkan akses pendidikan menjadi terbatas hanya kepada mereka yang memiliki ponsel pintar, laptop, jaringan dan kuota internet. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap itu semua, maka pendidikan pun menjadi mimpi belaka. Berdasarkan data hanya 68 persen anak yang memiliki akses terhadap jaringan selama pandemi, sementara 32 persen lainnya tidak. 

Tidak berhenti sampai di situ, bagi mereka yang memiliki akses, permasalahan lain yang dihadapi adalah anak mengalami perubahan ke arah belajar mandiri dimana hal ini juga membawa dampak tersendiri. Banyak yang kemudian kesulitan belajar, tidak memahami instruksi guru dan sebagainya. Bayangkan akibatnya bagi masa depan mereka. 

Belum lagi permasalahan di luar itu. Pandemi mengakibatkan perekonomian morat marit. Jutaan orang terpaksa harus dirumahkan. Pemenuhan gizi anak menjadi barang mewah, sementara pemasukan keluarga terhenti. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya ancaman stunting atau gagal tumbuh pada anak yang kelak menjadi ancaman bagi masa depan bangsa ini. 

Dari sisi kejiwaan pun, pandemi berhasil meluluhlantakkan kehidupan anak-anak. Mereka seolah tercerabut dari fitratnya, untuk bermain dan bersosialisasi bersama teman temannya, menikmati udara luar tanpa kecemasan, bertumbuh secara wajar dan berkembang sesuai usianya.

Mereka menjadi terkungkung di empat tembok rumah mereka, melahirkan kecemasan dan kekhawatiran. Kebosanan menjadi teman, dan parahnya tingkat kekerasan terhadap anak meningkat drastis selama pandemi. Diketahui bahwa berdasarkan data dari Kementrian kesehatan, sekitar 73 persen anak Indonesia mengalami kekerasan saat berada di rumah selama masa pandemi. Baik fisik maupun verbal. Betapa mengerikannya.

Kesemua itu hanya sekelumit dari kompleksnya permasalahan terkait anak selama pandemi. Pemerintah tengah berjuang untuk mencari solusi terbaik menangani berbagai permasalahan ini, mulai dari mencari vaksin, menerapkan kebijakan bantuan sosial bagi mereka yang terdampak covid 19, mencari sistem terbaik atas pendidikan dan perlindungan anak, berupaya menahan agar ekonomi tidak terperosok terlalu dalam dan sebagainya.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Kita tidak memiliki kuasa untuk itu. Namun, kita memiliki kuasa atas diri kita, untuk berdamai dengan pandemi dan mengeset ulang kehidupan kita. Sebagai sebuah keluarga, kita yang akan memastikan bahwa pandemi tidak akan menganggu masa depan anak-anak kita. Dimulai dari diri kita lalu meluas pada keluarga kita sebagai unit sentral dalam masyarakat. 

Upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan kembali kepada Tuhan. Jadikan diri kita hamba-Nya yang hakiki. Kembali kepada fitrah kita sebagai manusia yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Menjalankan ajaran-ajaranNya yang mungkin selama ini terlupa. Untuk senantiasa bersabar dan bersyukur, ditengah pandemi ini kita masih diberi kesempatan untuk hidup dan belajar dan bertumbuh.

Untuk saling peduli, saling membantu dan berbuat kebaikan dengan segenap kemampuan kita. Untuk senantiasa berfikir positif, hidup sederhana dan merasa cukup. Menjadikan kembali keluarga sebagai sentral kehidupan, pandemi membuat kita meletakkan lagi posisi keluarga pada tempatnya.  

Kembali kepada Tuhan akan menciptakan sebuah ketenangan. Dari sini akan muncul optimisme untuk menatap masa depan, juga upaya perbaikan diri agar apa yang menjadi amanah bagi kita termasuk diantaranya anak-anak, dapat kita jaga dengan sebaik-baiknya. Untuk menjadikan rumah kita Baitii Jannatii, Rumahku Surgaku, yang aman dan nyaman bagi semua penghuninya. Bukan karena berlimpah segalanya, namun karena ada cinta di sana.

Orang tua yang mengasihi anak-anaknya sehingga tidak ada lagi kekerasan yang muncul didalamnya. Anak-anak akan terdidik dengan baik, didampingi dalam menghadapi masa-masa sulit ini, berjuang bersama agar anak anak kita resilience dari pandemi Covid 19 dan dampaknya. Bukan hanya bertahan tapi juga mampu muncul sebagai pemenang.

Pun dalam menghadapi era kebiasaan baru, kita siapkan anak-anak kita untuk mampu menghadapinya. Dengan membekali mereka dengan tubuh yang sehat dari nutrisi yang baik, mental yang kuat, hati yang bahagia dan tenang karena mereka memiliki keluarga yang dijaga oleh sebaik-baik Penjaga.

Post a Comment

0 Comments