KHALIFAH ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ r.a.: Sejak Wafatnya Nabi s.a.w. Hingga Terpilihnya Hadhrat Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah



Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori
(Muballigh Jmt. Kebumen dsk./Jateng 2)

Allah s.w.t. berfirman:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. 
Apakah jika ia mati atau terbunuh kamu akan berbalik atas tumitmu? Dan barangsiapa berbalik atas tumitnya maka ia tidak akan memudarat Allah sedikit pun. Dan Allah pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. 3/Ali ‘Imran: 144)
  
Dalam catatan Tafsirnya, Depag RI [1993: 99-100] menjelaskan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. ialah seorang manusia yang diangkat Allah menjadi rasul. Rasul-rasul sebelumnya telah wafat. Ada yang wafat karena terbunuh ada pula yang karena sakit biasa. Karena itu Nabi Muhammad s.a.w. juga akan wafat seperti halnya rasul-rasul yang terdahulu itu.

Di waktu berkecamuknya perang Uhud tersiarlah berita bahwa Nabi Muhammad s.a.w. wafat terbunuh. Berita ini mengacaukan kaum Muslimin, sehingga ada yang bermaksud meminta perlindungan kepada Abu Sufyan (pemimpin kaum Quraisy).

Sementara itu orang-orang munafik mengatakan bahwa kalau Nabi Muhammad (s.a.w.) itu seorang Nabi tentulah dia tidak akan mati terbunuh. Maka, Allah menurunkan ayat ini untuk menenteramkan hati kaum Muslimin dan membantah kata-kata orang-orang munafik itu (Sahih Bukhari bab Jihad). 

Abu Bakar r.a. mengemukakan ayat ini di mana terjadi pula kegelisahan di kalangan para sahabat di hari wafatnya Nabi Muhammad s.a.w. untuk menenteramkan Umar Ibnul Khaththab r.a. dan sahabat-sahabat yang tidak percaya tentang kewafatan Nabi itu (Sahih Bukhari bab Ketakwaan Sahabat) [Catatan Tafsir No. 234].

RASULULLAH s.a.w. WAFAT
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1992: 208-212) menceritakan bahwa setelah membaca Ayat (QS 3:145) itu Abu Bakar (r.a.) memberi penjelasan, katanya, “Siapa dari antara kamu yang menyembah Tuhan maka mereka hendaknya tahu bahwa Tuhan hidup selamanya. Tetapi mereka yang menyembah Muhammad (s.a.w.), mereka harus tahu dari aku bahwa Muhammad (s.a.w.) telah wafat.”

Para sahabat menemukan kembali keseimbangan rasa dan pikiran mereka karena pidato yang tepat pada waktunya itu. Umar (r.a.) telah berubah sama sekali ketika didengarnya Abu Bakar (r.a.) membacakan Ayat tersebut. Kesadarannya timbul lagi dan pikiran sehatnya telah pulih kembali. 

Pada saat Abu Bakar (r.a.) selesai membacakan ayat itu, mata rohani Umar (r.a.) telah terbuka lebar. Ia mengerti bahwa Rasulullah s.a.w. telah wafat. Tetapi, begitu kesadaran timbul, kakinya mulai gemetar lalu ia rebah. Ia jatuh tak berdaya. Orang yang akan meneror Abu Bakar (r.a.) dengan pedang terhunus telah ditundukkan oleh pidato Abu Bakar (r.a.). 

Para sahabat merasakan seolah-olah ayat itu baru diturunkan untuk pertama kali pada hari itu, dampak imbauannya begitu kuat lagi baru. Dalam tindihan kesedihan yang dahsyat itu mereka lupa bahwa Ayat itu tercantum di dalam Al-Quran.

Banyak yang mengungkapkan kesedihan yang menimpa kaum Muslimin pada waktu wafat Rasulullah s.a.w. tetapi ungkapan yang diungkap Hassan (bin Tsabit), ahli syair di masa permulaan Islam, dalam bait-bait syairnya, adalah paling mengena lagi mendalam kesannya dan sampai hari ini tetap merupakan ungkapan yang terindah lagi abadi.

Ia mengatakan, “Engkau adalah biji mataku. Sekarang, setelah engkau mati, mataku telah menjadi buta. Sekarang aku tak mempedulikan lagi siapa yang mati. Sebab, hanya tibanya kematian engkau juga yang kukhawatirkan.”

Bait ini menyambung rasa tiap-tiap orang Muslim. Berbulan-bulan lamanya di lorong-lorong Medinah, pria, wanita, maupun anak-anak, menyenandungkan syair Hassan bin Tsabit ini sambil mengayunkan langkah mereka.

Tentang syair tersebut secara lengkap, silahkan baca: “Sirah Nabawiyah” karya Ibnu Ishaq (2012: 757-763).

Waktu dan Tempat Wafat Nabi s.a.w.
Sumber-sumber Ahli Sunnah:
- Tanggal 1 Rabiul Awwal 11 Hijriah (26 Mei 632 M), pada hari Sabtu (Prof. Habibullah Khan, M.Sc.: 2017: 122). Dengan catatan kaki:

- Tarikh Ahmadiyah jilid 3 hlm. 555, dalam catatan kaki, Surat Kabar Jhang Karachi tgl. 28 September 1958 hlm. 7. Dari penelitian Dr. Muhammad Syahidullah, Profesor Rajsyahi dari Bangladesh bahwa Rasulullah s.a.w. wafat tgl. 1 Rabiul Awwal 11 Hijrah bertepatan dengan tgl. 26 Mei 632 M. Menurut pandangan Muhammad Mukhtar Basyahari, ahli perbintangan, di dalam buku beliau bernama “At-Taufiqatul Ilhamiyah” hlm. 6: tanggal 1 Rabiul Awwal 11 Hijrah itu tepatnya bukan 26 Mei, tapi sebenarnya 27 Mei. Pada tanggal 26 Mei juga Hadhrat Masih Mau’ud a.s. wafat dan pemakaman beliau (a.s.) pada tgl. 27 Mei. Dengan demikian penyesuian tanggal secara zahir menjadi satu ta’bir dari hadits: YUDFANU MA’IYA FII QOBRII, artinya: “Akan dimakamkan bersama saya dalam kuburan saya” (Misykaat Bab Nuzul ‘Iisaa).

- “Tabaqat Ibnu Sa’ad” bag. 2 hlm. 377 dan “Tarikh Islam” karangan Mu’inuddin Nadwi menuliskan bahwa kewafatan beliau (s.a.w.) 12 Rabi’ul Awwal 11 Hijrah.

- “Sirat Ibnu Hisyam” jilid IV, “Tarikh Islam” karangan Sayyid Amir Ali dan “History of the Arabs” karangan Philip High, tgl. wafat beliau (s.a.w.) tertulis: 8 Juni 832.

- Tanggal 12 Rabiul Awwal 11 Hijriah atau tahun 632 Masehi (Jamil Ahmad: 1987: 6).

Sumber-sumber Syi’ah:
- Tanggal 28 Safar (Ja’far Subhani: 2006: 695). Dengan catatan kaki: Semua muhaddits Syi’ah dan penulis biografi Nabi (s.a.w.) sepakat tentang tanggal ini. Dalam Sirah Ibn Hisyam, II, hlm. 658, hal itu dikutip dalam bentuk pernyataan.

- Tanggal 28 Shofar tahun 11 H (Fatih Guven: 1995: 17).

- Tanggal 12 Rabiulawal tahun 11 Hijrah di kamar Rasul (rumah ‘A’isyah) [O. Hashem: 2007: 364].

PROSESI PEMAKAMAN NABI s.a.w. (1)
 Dr. ‘Utsman bin Muhammad al-Khamis  (2013: 42) mengisahkan dan menjelaskan bahwa Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, ‘Ali bin Abu Thalib dan al-Fadhl bin al-‘Abbas, yang dibantu para Sahabat lainnya, memandikan dan mengkafani Rasulullah s.a.w..

Kemudian, beliau dishalatkan dan dikebumikan –ayah dan ibu saya sebagai tebusan beliau. Pengurusan jenazah Nabi s.a.w. seperti itu karena al-‘Abbas adalah paman beliau serta ‘Ali dan al-Fadhl adalah sepupu beliau. Maka, merekalah yang paling berhak mengurus jenazah beliau. 

KISAH SAQIFAH BANI SA’IDAH
Ada beberapa sumber tentang kisah Saqifah ini (baca: Dr. ‘Utsman bin Muhammad al-Khamis [2013: 46]), namun pada kesempatan yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutipkan satu sumber saja yaitu:

Imam al-Bukhari meriwayatkan: Isma’il bin ‘Abdullah menceritakan kepada kami: Sulaiman bin Bilal menceritakan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah: ‘Urwah bin az-Zubair mengabarkan kepadaku dari ‘Aisyah r.a., istri Nabi s.a.w. menuturkan bahwa tidak lama setelah Rasulullah s.a.w. wafat orang-orang Anshar berkumpul menghadapi Sa’ad bin ‘Ubadah di Saqifah Bani Sa’idah dan berkata, “Kami akan mengangkat pemimpin kami, dan silahkan kalian mengangkat pemimpin kalian.”

Maka Abu Bakar, ‘Umar bin al-Khaththab dan Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah mendatangi mereka. Kemudian ‘Umar r.a. hendak maju untuk berbicara, tetapi Abu Bakar r.a. menyuruhnya diam. 
‘Umar r.a. menuturkan, “Demi Allah, aku berinisiatif angkat bicara terlebih dahulu karena telah mempersiapkan perkataan yang bagus. Aku khawatir apa yang akan dikatakan Abu Bakar tidak seperti perkataan yang telah kupersiapkan.”

Ternyata, Abu Bakar r.a. berbicara dengan sangat lugas. Di antara isi pembicaraannya adalah, “Kami yang menjadi para pemimpin, dan kalian menjadi para penasehatnya.”

Al-Hubab bin al-Mundzir r.a. menyela, “Demi Allah, kami tidak setuju. Kami mengangkat pemimpin kami, dan kalian juga silahkan mengangkat pemimpin kalian.”

Abu Bakar r.a. menanggapi, “Tidak demikian, tetapi kami yang menjadi pemimpin dan kalian yang menjadi para penasehatnya. Merekalah (Quraisy) orang-orang Arab yang paling mulia tempat tinggalnya (Makkah). Mereka jugalah suku yang paling mewakili Arab yang asli. Maka, bai’atlah ‘Umar atau ‘Ubadah!”

Mendengar hal itu, ‘Umar r.a. berseru kepada Abu Bakar (r.a.), ”Tidak, tetapi kamilah yang akan membai’at engkau. Engkaulah pemimpin kami, orang yang terbaik di antara kami, dan orang yang paling dicintai Rasulullah s.a.w. di antara kami.”

Kemudian ‘Umar r.a. memegang tangan Abu Bakar r.a. dan membai’atnya. Lalu, orang-orang yang hadir pun berdiri dan membai’at Abu Bakar (Shahiihul Bukhari, Kitab “Fadhaa-ilush Shahaabah”, Bab “Lau Kuntu Muttakhidzan Khaliilan” No. 3367, 3368).
Tema “Saqifah” ini secara khusus, dapat dibaca pada buku: “Saqifah Awal Perselisihan Umat” karya O. Hashem, dan jawabannya: “Saqifah Penyelamat Persatuan Umat” karya Saleh A. Nahdi.

Baca juga HR Tirmidzi
Riwayat mulai sakitnya Nabi s.a.w. hingga dibaiatnya Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. di Saqifah secara lengkap dapat dibaca pada buku “Tarjamah Hadits Mengenai Pribadi dan Budipekerti Rasulullah saw” karya At-Tirmidzi (1988: 314-319) pada Bab LIII (53): “Wafat Rasulullah saw” (Baabu Maa Jaa’a fii Wafaati Rasuulillaahi s.a.w.).

PIDATO PERDANA KHALIFAH
Pidato Pengantar dari Hadhrat ‘Umar r.a.
Ibnu Ishaq (2012: 750-751) berkata: Az-Zuhri bercerita kepadaku, ia berkata: Anas bin Malik r.a. memberitakan kepadaku bahwa usai Abu Bakar (r.a.) dilantik dan dibaiat menjadi khalifah di saqifah (hall) Bani Saidah, lalu keesokan harinya, Abu Bakar (r.a.) duduk di mimbar. Saat itulah ’Umar bin Khaththab (r.a.) berdiri berpidato untuk memberikan pengantar pidato Abu Bakar (r.a.).

Setelah mendengar pidato Hadhrat ’Umar r.a. orang-orang pun bersegera membaiat (Hadhrat) Abu Bakar (r.a.) dengan baiat umum setelah baiat di saqifah (hall) Bani Saidah secara khusus.

Pidato Perdana Khalifah Abu Bakar r.a.
Lalu (Khalifah) Abu Bakar r.a. membuka ucapannya. Ia memuji Allah, menyanjungnya dengan sanjungan yang pantas diterima-Nya, ia (Abu Bakar r.a.) berkata:

“Amma ba’du. Wahai manusia, kalianlah yang telah memutuskan untuk memilihku menjadi pemimpin kalian, namun aku bukanlah orang terbaik di tengah kalian semua. Oleh karena itu, jika aku berbuat yang benar maka tak ada alas an bagi kalian kecuali mendukungku. Jika aku berbuat salah maka segera luruskanlah aku. Berbicara yang benar adalah amanah, dan bicara dusta adalah khianat. 

Orang yang lemah di tengah kalian, bagiku dia adalah orang yang kuat di sisiku hingga aku berikan haknya, insya Allah; dan orang yang kuat bagiku, dia hanyalah orang lemah di sisiku hingga aku mengambil hak darinya, insya Allah.

Bila sampai ada suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Begitu pula seandainya perbuatan zina merebak di suatu kaum maka Allah akan menimpakan prahara dan bencana di tengah mereka.

Sepanjang aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka taatlah kalian kepadaku. Dan tidak ada kewajiban bagi kalian taat kepadaku jika kalian menemukan aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tegakkanlah shalat, mudah-mudahan Allah memberi rahmat pada kalian” (Ibnu Ishaq: 2012: 751-752).      

PROSESI PEMAKAMAN NABI s.a.w. (2)
Kembali ke prosesi pemakaman Rasulullah s.a.w..

- Memandikan
Ibnu Ishaq (2012: 753-754) berkata: Yahya bin Abbad bin Abdullah bin Zubair bercerita kepadaku, dari Ayahnya, Abbad, dari Aisyah r.a., ia berkata:

Tatkala para sahabat hendak memandikan Rasulullah (s.a.w.), mereka berbeda pendapat tentang tatacara memandikan jenazah beliau (s.a.w.). Mereka berkata:

“Demi Allah, bagaimana kalau kita lepas pakaian Rasulullah (s.a.w.) sebagaimana kita biasa melepas pakaian jenazah-jenazah kita atau kita biarkan saja jenazah beliau (s.a.w.) tetap dengan pakaiannya.”

Tatkala mereka berbeda pendapat tentang tatacara memandikan jenazah Rasulullah (s.a.w.), tiba-tiba Allah membuat mereka tertidur hingga dagu mereka semua berada di dada mereka. Setelah itu, seseorang dari pojok rumah yang tidak mereka ketahui siapa orang tersebut, berkata kepada mereka:

“Hendaklah kalian memandikan jenazah Rasulullah s.a.w. tanpa melepas pakaian beliau (s.a.w.).”

Aisyah r.a. melanjutkan: Mereka lalu memandikan jenazah Rasulullah (s.a.w.) yang lengkap dengan pakaiannya tanpa melepasnya, menyiramkan air ke atas pakaian beliau (s.a.w.), dan menggosok beliau (s.a.w.) dengan menggosok pakaian beliau (s.a.w.). 

- Mengafani
Ibnu Ishaq (2012: 754) berkata: Usai jenazah Rasulullah (s.a.w.) selesai dimandikan, jasad beliau (s.a.w.) dikafani dengan 3 kain: 2 kain produk Shuhari (asal Yaman) dan 1-nya burdah yang dihiasi dengan katun yang dilipat.

Demikianlah yang dikatakan kepadaku oleh Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Al-Husain,dari ayahnya, dari kakeknya, Ali bin Al-Huasain.

Hal yang sama dikatakan kepadaku oleh Az-Zuhri dari Ali bin Al-Husain.

- Menyalatkan
Ibnu Ishaq (2012: 754-755) berkata bahwa setelah itu kaum Muslimin masuki menyalatkan Rasulullah (s.a.w.) secara bertahap.

Pertama-tama, dimulai dari kaum laki-laki masuk untuk menyalatkan beliau (s.a.w.). Apabila mereka selesai, masuklah kaum wanita untuk menyalatkan beliau (s.a.w.). Apabila selesai, masuklah anak-anak untuk menyalatkan beliau (s.a.w.).

Saat itu kaum Muslimin menyalati Rasulullah (s.a.w.) sendiri-sendiri. Kemudian Rasulullah s.a.w. dimakamkan di pertengahan malam, malam Rabu. 

Keterangan yang sama disampaikan oleh Muhammad Husain Haekal (2015: 596) dengan pernyataan bahwa kemudian Abu Bakar (r.a.) dan ‘Umar (r.a.) masuk melakukan shalat jenazah bersama-sama Muslimin yang lain, tanpa ada yang bertindak selaku imam dalam shalat itu. 

- Memakamkan
Ibnu Ishaq (2012: 754-755) berkata: Pada hari Selasa, jenazah Rasulullah s.a.w. sudah siap dikuburkan; saat itu jenazah beliau (s.a.w.) diletakkan di atas ranjang di rumah beliau (s.a.w.). Saat itu, kaum Muslimin berbeda pendapat tentang lokasi di mana beliau (s.a.w.) akan dimakamkan. Salah seorang sahabat berkata, “Kita makamkan di masjid beliau (s.a.w.).” Sahabat lain berkata, ”Tidak, kita makamkan beliau (s.a.w.) bersama para sahabatnya yang telah meninggal dunia.”

Saat itulah Abu Bakar berkata, “Aku mendengar Rasulullah (s.a.w.) bersabda: ‘Jika seorang nabi meninggal dunia maka hendaknya ia dimakamkan di tempat ia meninggal dunia.’
Lalu ranjang tempat jenazah Rasulullah (s.a.w.) berbaring diangkat dan dimulailah penggalian di tempat ranjang tersebut.

Kemudian Rasulullah s.a.w. dimakamkan di petengahan malam, malam Rabu (berdasarkan riwayat Aisyah r.a.).

Demikianlah kisah yang sangat penting yaitu detik-detik wafatnya Rasulullah s.a.w. hingga diangkatnya Hadhrat Abu Bakar r.a. sebagai Khalifah. Semoga kita dapat memetik hikmahnya.

DAFTAR BACAAN

Ahmad r.a., Hahdrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.h. (1992). Riwayat Hidup Rasulullah s.a.w.. Bogor: Yayasan Wisma Damai.
Ahmad, Jamil (1987). Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus.
al-Khamis, Dr. ‘Utsman bin Muhammad (2013). Inilah Faktanya: Meluruskan Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi s.a.w. hingga Terbunuhnya al-Husain r.a.. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
At-Tirmidzi, Imam (1988). Tarjamah Hadits Mengenai Pribadi dan Budipekerti Rasulullah saw. Bandung: CV Diponegoro.
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an (1993). Al Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Intermasa.
Guven, Fatih (1995). 560 Hadis dari 14 Manusia Suci. Bangil: Yayasan Islam Al-Baqir.
Haekal, Muhammad Husain (2015). Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Tintamas.
Hashem, O. (1989). Saqifah Awal Perselisihan Umat. Bandar Lampung: YAPI.
Ishaq, Ibnu (2012). Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah s.a.w.. Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana.
Khan, Prof. Habibullah M.Sc. (2017). Kurikulum Dasar Pengetahuan Agama. Jakrta: Neratja Press. 
Nahdi, Saleh A. (1992). Saqifah Penyelamat Persatuan Umat. Jakarta: Arista Brahmatyasa.
Subhani, Ja’far (2006). Sejarah Nabi Muhammad saw. Jakarta: Penebit Lentera.

Post a Comment

0 Comments