AMALAN YANG UTAMA DALAM PERSPEKTIF YANG BERBEDA



Oleh: Mln. Mahmud Ahmad Syamsuri

Hadhrat Rasulullah saw. adalah teladan yang sempurna bagi umat manusia. Tidak terkecuali dalam hal memberikan tarbiyat. Beliau saw. adalah sang Murabbi (pemberi tarbiyat) hakiki yang mendapatkan bimbingan langsung dari Allah Ta’ala mengenai bagaimana cara untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang terbaik bagi umatnya.

Salah satu metode yang beliau saw. gunakan dalam memberikan tarbiyat adalah dengan mengadakan sesi tanya-jawab bersama para sahabatnya. Bertanya menjadi suatu proses yang mengantarkan para sahabat ra. untuk mendapatkan pencerahan pemikiran, membuka pintu-pintu khazanah keilmuan yang akhirnya bermuara pada perbaikan dalam hal amalan. Dan Rasulullah saw. senantiasa memberikan jawaban yang penuh hikmah dan sesuai dengan kondisi diri dari si penanya. Tak mengherankan jika terkadang ada satu pertanyaan yang sama dari para sahabat ra. yang beliau saw. jawab dengan jawaban yang berbeda-beda tergantung dari kondisi si penanya.

Berikut ini adalah beberapa riwayat yang menggambarkan cara tarbiyat beliau saw. yang istimewa tersebut. Dalam tulisan ini penulis mengutip beberapa hadits yang berisi jawaban yang berbeda-beda dari Rasulullah saw. untuk menjawab satu pertanyaan yang sama, yakni apa sajakah amalan-amalan yang paling utama?

Hadits pertama

Dari Ibnu Mas’ud ra. mengatakan: “Aku bertanya kepada Nabi saw. mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala? Nabi saw. menjawab, “Laksanakanlah shalat pada waktunya”. lalu aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”. Nabi saw. menjawab, “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi ya Rasulullah saw.? Nabi saw. menjawab, “Berjuang dijalan Allah.” (HR. Bukhari – Muslim)

“Laksanakanlah shalat pada waktunya”, ini poin pertama yang beliau saw. sampaikan. Melaksanakan shalat tepat waktu merupakan tingkatan shalat yang kedua setelah seseorang mampu melaksanakan shalat secara dawam. Yang mana hal ini selaras dengan firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

“Sesungguhnya sholat bagi orang-orang mukmin telah di tentukan waktu-waktunya.” (An-Nisa : 103)

Rangkaian kedua jawaban atas pertanyaan Ibnu Mas’ud ra. adalah, “Berbuat baik pada orang tua.” Hal ini memberikan penekanan bahwa dalam syariat Islam selain pemenuhan terhadap hak-hak Allah Ta’ala, seorang hamba juga dituntut untuk memenuhi hak-hak hamba atau makhluk Allah Ta’ala.

Jika pemenuhan hak Allah Ta’ala terwakili dengan perintah melaksanakan shalat tepat pada waktunya, maka mengenai pemenuhan hak-hak hamba, beliau saw. memberikan jawaban dengan perintah berbuat baik kepada orang tua. Yang pertama adalah pengabdian seorang hamba kepada Khaliq-nya, sedangkan yang kedua adalah pengabdian seorang hamba kepada makhluk Allah Ta’ala, dalam hal ini yang terdekat tentunya adalah kepada kedua orang tuanya.

Pengabdian seorang anak terhadap kedua orang tua ini juga akan mengantarkan manusia pada keridhaan Allah Ta’ala. sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: 

“Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan orang tua.” (HR. At-Tirmidzi dan disahihkan Ibnu Hiban dan Hakim)

Rangkaian ketiga jawaban beliau saw. adalah, “Berjuang atau berjihad di jalan Allah Ta’ala”. Penempatan poin ini setelah perintah berbakti kepada kedua orang tua bukanlah tanpa hikmah. Karena terdapat sebuah riwayat lainnya yang menggambarkan perbandingan hirarki tingkat kepentingan dari kedua amalan tersebut. Terdapat sebuah riwayat sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr bin 'Ash ra., dia berkata (bahwa) ada seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. kemudian meminta izin (kepada beliau saw.) untuk berjihad. Beliau saw. pun bertanya, "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Laki-laki itu menjawab, "Ya." Nabi saw. bersabda, "Maka, kepada keduanya itulah kamu berjihad." (HR Bukhari & Muslim).

Hadits kedua
“Dari Abu Hurairah ra. mengatakan, Nabi saw. ditanya orang, “Amalan apakah yang paling utama?” Nabi saw. bersabda, “Beriman kepada Allah dan rasul-Nya”. “Kemudian apalagi?”, Nabi saw. menjawab, “Berjuang di jalan Allah”. Ditanya lagi, “Kemudian apalagi wahai Rasulullah saw.?” Nabi saw. menjawab, “Berhaji yang mabrur.” (HR. Bukhari – Muslim)
Amalan utama menurut hadits  di atas memposisikan “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya” pada urutan yang pertama. Rasulullah saw. menitik-beratkan kepada sang penanya bahwa ketauhidan, keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya adalah pondasi awal yang menjadi pijakan untuk amalan-amalan saleh.
Kemudian beliau saw. menyampaikan “Berjuang dijalan Allah” sebagai amalan yang paling utama selanjutnya. Setelah keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya terpatri di dalam qalbu, maka kita dituntut untuk mendedikasikan dan mengabdikan hidup kita untuk apa yang kita yakini dan imani tersebut sebagai bukti keimanan kita. Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai, orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, Dia akan menolong kamu dan akan meneguhkan langkah-langkahmu. (Muhammad: 8)

Rangkaian jawaban yang ketiga adalah “Berhaji yang Mabrur”, yakni pelaksanaan ibadah haji yang dikerjakan oleh seorang Muslim dengan sempurna, yang sepulangnya dari berhaji ia menjadi lebih banyak memberikan perhatian pada amalan-amalan saleh demi meraih kebaikan dan kebahagiaan dirinya di dunia maupun di akhirat nanti. 

Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:

“Barang siapa yang melaksanakan ibadah haji karena Allah dengan tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fusuq, maka ia kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadits ketiga

Dari Abu Hurairah ra., bahwa seorang Arab desa (Badui) telah mendatangi Rasulullah saw., lalu berkata: “Ya Rasulullah! Tunjukanlah aku akan amalan (perbuatan atau ibadah) yang jika aku mengerjakannya (dengan baik) dapat memasukan aku ke dalam surga."

Nabi saw. menjawab, “Hendaklah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya akan sesuatu, engkau hendaklah Bershalat, menunaikan Zakat yang diwajibkan serta berpuasa Ramadhan.” Orang itu lalu mengatakan, “Demi diriku yang ditangan (Kekuasaan) Allah, sungguh aku tidak akan menambah selain ini saja.” Dan ketika orang itu telah pergi maka Nabi saw. bersabda, “Barang siapa yang berkeinginan untuk melihat laki-laki dari penduduk surga, maka lihatlah orang itu.” (H.R. Bukhari – Muslim)

Dalam hadist ini Rasululllah saw. menempatkan penyembahan kepada wujud Allah Ta’ala tanpa mempersekutukan dengan yang lain sebagai pondasi utama dari keimanan. Hadhrat Masih Mau’ud as. bersabda mengenai tauhid:

“Tauhid Ilahi merupakan Nur yang menerangi hati manusia setelah ia berhasil memupus sepenuhnya sesembahan atau pujaan internal atau eksternal dirinya, di mana Nur ini akan meresap keseluruh partikel wujud dirinya. Kesadaran akan Tauhid Ilahi ini tidak bisa begitu saja diperoleh sendiri oleh seorang manusia, karena ini hanya didapat melalui perkenan Tuhan dan bimbingan Rasul-Nya. Untuk itu manusia harus memfanakan egonya dan menanggalkan kesombongan syaitan yang menyatakan bahwa ia adalah seorang yang terpelajar. Ia harus menganggap dirinya sepenuhnya bodoh dan menyibukan dirinya dengan bersujud. Barulah nanti Nur Tauhid akan turun dari Tuhan kepada dirinya dan Nur ini akan mengaruniakan suatu kehidupan baru baginya.” (Haqiqatul wahyi, Qadian Magazine Pres, 1907; Ruhani Khazain, vol. 22, hal. 148, London, 1984).

Setelah tauhid ilahi beliau saw. menyampaikan pentingnya ibadah shalat sebagai tiang dari bangunan kerohanian seseorang setelah ketauhidan menjadi pondasinya. Allah Ta’ala berfirman:

 ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacakanlah apa yang telah diwahyukan kepada engkau dari Kitab Al-Qur’an dan  dirikanlah sholat. Sesungguhnya sholat mencegah dari kekejian dan kemungkaran. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah pekerjaan yang lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ankabut : 46)

Setelah perintah shalat yang merupakan pengabdian terhadap Allah Ta’ala, beliau saw. menyampaikan zakat sebagai pengabdian terhadap hamba-Nya. Di dalam Al-Qur’an sendiri Allah Ta’ala selalu mengiringi perintah shalat dengan perintah zakat, yang berarti bahwa pemenuhan HuquuquLlah dan Huquuqul ‘ibaad adalah dua hal yang selalu berjalan beriringan.

Ketika seseorang telah berhasil memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak hamba dengan sebaik-sebaiknya, maka inilah kondisi yang dinamakan sebagai takwa. Oleh karena itu rangkaian jawaban selanjutnya yang diberikan oleh Rasulullah (saw) adalah amalan puasa yang tujuan utamanya adalah untuk meraih ketakwaan. Sebagaimana firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, puasa diwajibkan atasmu sebagimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, supaya kamu bertakwa.(Q.S. Al-Baqoroh : 184)

Dari hadist di atas kita melihat bagaimana Rasulullah saw. memberikan jawaban dengan lebih rinci dan bersifat penjelasan mendasar mengenai Islam kepada sang penanya.

 Inilah cara Rasulullah saw. memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Beliau saw. selalu memberikan jawaban dengan penuh hikmah, yakni memperhatikan kondisi dan tingkat pemahaman dari sang penanya. Wallahu a’lam bish-shawab.

Post a Comment

0 Comments