MEMAHAMI KEDATANGAN IMAM MAHDI



Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori
(Muballigh Jmt. Kebumen dsk./Jateng 2)

Tahun ini (23/3/2020), Komunitas Ahmadiyah Se-Dunia memperingati Hari Masih Mau’ud yang ke-131 (1889-2020). Pendiri Komunitas ini (Hahdrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.) pada tahun 1891 mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi.

Tema tentang Imam Mahdi (dalam istilah Islam, yang dalam istilah kepercayaan Jawa disebut Ratu Adil atau Satrio Piningit) memang menjadi perhatian banyak kalangan termasuk Presiden-presiden kita (dua di antaranya) juga menyampaikan pandangannya (Nagara: Vol. 1 No. 6: 12/12/2005: 172).

1. Presiden Soekarno:
“Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politik economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! 

Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham ialah social rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejatera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil” (Pidato di BPUPKI, 1/6/1945).

2. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono:
“Bagi saya Satria Piningit atau Ratu Adil itu adalah sistem yang baik atau mode kepemimpinan yang menegakkan sistem yang baik. Tetapi, ketika berhadapan dengan prahara dan krisis, diperlukan pemerintahan yang bersih dan kepemimpinan yang tegas, berpihak kepada rakyat, bangsa dan Negara” (Sambutan pada pementasan sendratari berjudul “Satrio Piningit” di Denpasar, 2005).

Nah, siapakah sebenarnya Imam Mahdi dalam perspektif Ajaran Islam? Berikut uraiannya.

IMAM MAHDI DALAM AL-QURAN
Secara harfiah tidak ditemukan kata “Imam Mahdi” dalam Al-Quran. Namun demikian, ada kata dalam Al-Quran yang mengisyaratkan kepada istilah Imam Mahdi (baca: Hadhrat Mirza Tahir Ahmad a.b.a.: 1985/3: 8), yaitu:

1. QS 21/Al-Anbiya’: 73:

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَآ إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلاَةِ وَإِيتَآءِ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ {*}

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk (a-immatay-yahduuna) dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah,”

2. QS 21/As-Sajdah: 24:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk (a-immatay-yahduuna) dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”

Catatan: Semua terjemahan dalam artikel ini versi Depag RI (993).

AL-QURAN MELIGITIMASI ISTILAH IMAM MAHDI MELALUI HADITS
Meskipun kata Imam Mahdi secara harfiah tidak ditemukan dalam Al-Quran, tetapi Al-Quran memberi sebuah landasan sehingga sehingga akhirnya kita menemukan kata itu secara harfiah dalam Hadits. Landasan itu ialah:

QS 53/An-Najm: 2-3:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {*} 

“dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.”

إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى {*}

“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Dari Ayat tersebut kita meyakini bahwa sabda-sabda Nabi Muhammad s.a.w. termasuk tentang Imam Mahdi menjadi legitimate (absah).

SURAH JUM’AH MENJAWAB BEBERAPA PERTANYAAN SEPUTAR IMAM MAHDI

QS 62/Al-Jumuah: 

Ayat 2

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah(As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

“Dan Mengajarkan Mereka Kitab dan Hikmah”
Ayat tersebut menjelaskan tentang zaman Nabi Muhammad s.a.w. di mana beliau s.a.w. bukan hanya mengajarkan ‘ilmu/teks/Ayat Al-Quran tetapi juga mengajarkan hikmah/Sunnah/tafsirnya. Termasuk dalam masalah Imam Mahdi. Contohnya ada pada Ayat selanjutnya.

Ayat 3 

وَءَاخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ {*}
          
dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

“Dan (juga) kepada Kaum yang Lain dari Mereka yang Belum Berhubungan dengan Mereka”
Ayat ini menjelaskan zaman Imam Mahdi dan kaumnya yang dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh dari Rasulullah s.a.w. dan para Sahabat: baik dari segi waktu maupun tempat.

Asbabun Nuzul Surah Jum’ah Ayat 3
Dalam Kitab Shahih Bukhari Bab: Surat Al-Jumu'ah Ayat 3 Hadist No. 4518 terdapat Asbabun Nuzul QS 63: 3:

Telah menceritakan dari Abu Hurairah r.a. ia berkata; 
Suatu hari, kami duduk-duduk di sisi Nabi s.a.w., lalu diturunkanlah pada beliau surat Al-Jumu'ah dan "WA `AAKHORIINA MINHUM LAMMAA YALHAQUU BIHIM." Maka aku pun bertanya, "Siapa mereka itu wahai Rasulullah?" Namun, beliau (s.a.w.) belum juga menjawab hingga 3 orang bertanya (atau bertanya sampai 3 kali). 

Di antara kami ada Salman Al-Farisi. Kemudian Rasulullah s.a.w. meletakkan tangannya pada Salman dan bersabda:

لَوْ كَانَ الْإِيمَانُ عِنْدَ الثُّرَيَّا لَنَالَهُ رِجَالٌ أَوْ رَجُلٌ مِنْ هَؤُلَاءِ

"Sekiranya keimanan itu ada di gugusan bintang (Ats-Tsurayya), niscaya keimanan itu tetap akan diperoleh oleh sekelompok atau seseorang dari mereka itu (Orang-orang Persi)".

Hadits ini menjawab peratanyaan tentang asal-usul Imam Mahdi yaitu Imam Mahdi berasal dari Bangsa Parsi, bukan Bangsa Arab.

Hadits ini juga menjawab pertanyaan tentang situasi khusus kapan Imam Mahdi datang yaitu sekiranyaatau ketika keimanan itu ada di Ats-Tsurayya (gugusan bintang), niscaya keimanan itu tetap akan diperoleh oleh sekelompok atau seseorang dari mereka itu (Orang-orang Persi).

Keutamaan Hadhrat Salman Al-Farisi
Ustadz Ahmad Mundzir (pengajar  di Pesantren Raudhatul Quran An-Nasimiyya, Semarang), setelah mengutip QS Ibrahim: 36 (tentang Nabi Ibrahim a.s. yang mengadu kepaa Allah: “Barangsiapa yang mengikutiku maka orang itu termasuk golonganku”) dan QS Hud: 35 dan 46 (tentang Nabi Nuh a.s. yang memohon kepada Allah tentang janji keselamatan anaknya tetapi Allah menjelaskan bahwa anak beliau bukan termasuk keluarga beliau karena perbuatannya yang tidak baik), menjelaskan bahwa oleh karena itu, mengikuti sikap baik para utusan Allah menjadi penentu. Bisa jadi, ada keluarga Nabi tapi karena tidak mengikuti jejak Nabi-nya, ia bisa tidak diakui bagian Nabi itu. 

Begitu pula sebaliknya, bukan keluarga Nabi namun patuh kepada Nabi, ia bisa dianggap menjadi keluarganya Nabi Muhammad s.a.w.. Semua tergantung pada kepatuhan.

Sebuah kisah perang Parit (Khandak) menguatkan penjelasan ini. Pembuatan parit sebagai strategi perang berawal dari ide sahabat Salman Al-Farisi. Salman adalah sahabat yang patuh, orangnya kuat, idenya cemerlang, akhirnya sahabat Muhajirin dan Anshar masing-masing menganggap Salman bagian diri mereka semua. Begitu pula Rasulullah s.a.w., Beliau menyahut pengakuan para sahabat, dengan mengatakan:

SALMAANU MINNAA AHLAL BAITI.
Artinya, “Salman adalah bagian dari kita, Ahlul Bait” (Al-Mu’jam Al-Kabir lith-Thabrani: 6040).

Hadits itu juga menjelaskan bahwa siapakah yang berhak disebut Ahlul Bait oleh Rasulullah s.a.w.. Tidak harus keturunan secara biologis.

Ayat 4 

"Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Ayat ini menjawab pertanyaan: Mengapa Imam Mahdi dari bangsa Parsi, tidak dari bangsa Arab atau lainnya? Jawabnya: Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

PENDAPAT ULAMA PERIHAL HADITS TENTANG IMAM MAHDI
Berikut ini pernyataan ulama perihal Hadits-hadits tentang Imam Mahdi:

1. Syeikh Muhammad Al-Hanbali:
“Dan sungguh telah diriwayatkan dari para sahabat rodhiyalloohu ‘anhum (baik dari yang telah disebutkan namanya maupun dari yang belum) dengan riwayat yang berbeda-beda, begitupun dari tabi’in yang semua itu memberikan kepada kita keyakinan yang pasti. 

Oleh karena itu beriman kepada keluarnya Imam Mahdi itu wajib sebagaimana yang telah menjadi ketetapan di kalangan para ahli ilmu dan sudah termaktub dalam aqidah ahlis-sunnah wal jama’ah …” (lihat “Lawaami’ul Anwaaril Bahiyyah”: 2/84).

2. Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani Al-Yamani:
“Dan hadits-hadits yang menyebutkan tentang Al-Mahdi itu yang mungkin bagi kita menemukannya, di antaranya ada 50 hadits, ada yang shahih, ada yang hasan dan ada pula dha’if yang munjabir (bisa tertopang dengan adanya hadits-hadits lain sehingga dia mencapai derajat yang lebih tinggi), hal itu adalah mutawatir tanpa diragukan lagi, bahkan layak untuk memenuhi syarat hadits mutawatir sebagaimana yang telah mejadi istilah dikenal dalam ushul (mushthalahul hadits)

Adapun atsar dari para sahabat yang menerangkan tentang Al-Mahdi maka juga banyak sekali yang bisa mencapai hukum marfu’sebab tidak ada ijtihad dalam masalah seperti ini” (“Nuzhumul Mutanaatsir minal-Haditsil Mutawatir” karya Al-Khathani hlm. 146-147) [Baca: Rafi’i: 1994: 18-19].

3. Syekh Abdul Aziz bin Baaz (Ulama Rabitah ‘Alam Islami): 
“Adapun mengingkari sama-sekali kedatangan Mahdi yang Dijanjikan sebagaimana anggapan sementara golongan muta’akhirin adalah pendapat yang salah, karena hadits-hadits tentang kedatangannya di akhir zaman dan tentang ia akan mengisi bumi ini dengan keadilan dan kejujuran dikarenakan telah penuh kezaliman adalah mutawatir dari segi isi dan artinya dan terdapat dalam jumlah banyak. 

Hal ini seperti telah dijelaskan oleh kalangan ulama, di antaranya Abdul Hasan Al-Abiri As-Sajastani, seorang ulama abad ke-4 H, Allamah As-Safarini, Allamah Asy-Syaukani dan lain-lain. Hal ini sudah menjadi semacam ijmak di kalangan para ahli ilmu” (Berkala “Akhbaarul ‘Aalamil Islami”, 21 Muharram 1400 H hlm. 7) [Baca: Kami Orang Islam: 1989:71. Baca juga: al- Hilaly: 2007: 111-114].

MEMAHAMI BAHASA NUBUATAN:
Nabi Muhammad s.a.w. dalam Injil
Namun demikian, nubuatan tentang Imam Mahdi ini dalil-dalilnya lebih bersifat kiasan. Untuk itu, mari kita perhatikan bagaimana Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. menjelaskan nubuatan tentang Nabi Muhammad s.a.w. yang tertera dalam Injil (Perjanjian Baru).

Salah satu di antaranya ada di Matius (21:33-46) perihal perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur (baca juga: Markus 12:1-12; Lukas 20:9-19):

Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. menjelaskan bahwa dalam tamsilan (perumpamaan)indah tersebut Isa a.s. telah memberikan lukisan tentang sejarah para nabi. 

Kalimat-kalimat (dalam Injil) itu tiada meragukan lagi bahwa:
- kebun anggur itu adalah dunia ini;

- para penggarap itu seluruh umat manusia;

- buah-buahan yang tuan tanah itu ingin mengumpulkannya adalah kebaikan, ketakwaan dan ketaatan kepada Tuhan;

- hamba-hamba adalah nabi-nabi yang telah datang ke dunia silih berganti;

- anak adalah lsa a.s. yang datang sesudah rangkaian panjang nabi-nabi. Anak itu dihinakan dan dibunuh oleh petani-petani itu.

- Sesudah itu Isa a.s. melanjutkan pembicaraannya tentang "batu yang ditolak oleh tukang-tukang batu itu, batu itu juga yang menjadi batu penjuru." Batu yang ditolak itu adalah keturunan Ismail a.s.yang diperlakukan oleh keturunan Ishak a.s. dengan penghinaan. Menurut nubuatan itu seorang dari antara Bani Ismail akan muncul dan menjadi batu penjuru.

"Khataman-nabiyyin" menurut istilah Al-Quran yang terkenal — bukan nabi biasa, melainkan seorang yang akan membawa syariat terakhir yang lengkap dan sempurna, dari Tuhan. Kedatangan seorang nabi Bani Ismail untuk kedudukan yang luhur itu nampaknya memang agak ganjil. 

Tetapi (demikian kata Isa a.s.), Tuhan akan mengambil kerajaan-Nya dari kaum Bani Israil dan memberikannya kepada Bani Ismail yang akan terbukti merupakan bangsa, yang menghasilkan buah-buahannya, ialah suatu bangsa yang akan tetap menghidupkan ibadah kepada Tuhan di dunia ini. Tiap-tiap orang akan dapat melihat sendiri bahwa satu-satunya nabi istimewa yang datang sesudah Isa a.s. dan dapat memenuhi lukisan itu adalah Nabi Muhammad s.a.w.

Beliaulah yang terpaksa berhadapan dengan Yudaisme dan agama Kristen dan sama sekali menghancurkan pengaruh kedua-duanya. Beliaulah yang oleh kaumnya dibenci. Mengenai dia saja benar-benar dapat dikatakan "barangsiapa ia menjatuhinya akan hancur lebur menjadi abu" (Perlunya Al-Quran Turun: 1990: 146-148).

Penjelasan itu mengajarkan kepada kita bagaimana memahami sebuah nubuatan yaitu meskipun tidak menyebut nama secara harfiah (tersurat/muhkamaat) tetapi kita dapat menangkap makna yang tersirat (mutasyaabihaat).

AL-QURAN JUGA MENGGUNAKAN BAHASA TERSIRAT TENTANG NABI MUHAMMAD s.a.w.

QS 8/Al-Anfaal: 17:

وَمَارَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى {*}

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”

Perlemparan segenggam kerikil dan pasir oleh Rasulullah s.a.w. pada perang Badar tersebut meskipun yang melakukan Rasulullah s.a.w. tetapi Al-Quran mengungkapkannya sebagai Allah-lah yang melempar.

QS 48/Al-Fath: 10: 

يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ {*}

“Tangan Allah di atas tangan mereka.”

Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. 

Jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya (Catatan Tafsir No. 1397/Depag RI).

Mengikuti Imam Mahdi, Wajibkah?
Rasulullah s.a.w. bersabda (Kitab Hadits Musnad Ahmad dan Ibnu Majah): 
FA-I-DZAA RO-AITUMUUHU FA-BAA-YI’UUHU WALAU HABWAN ’ALATS-TSALJI FA-INNAHU KHOLIIFATULLOOHIL-MAHDI

Artinya: “Apabila kamu melihatnya (yakni Imam Mahdi), maka berbai’atlah kepadanya, walaupun kamu harus merangkak di atas salju, karena beliau itu Khalifah Allah dan Al-Mahdi” (Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, t.t. jld. II, hal. 1367, hadits no. 4084 dan Ibnu Majah hlm. 315 bab Khurujul Mahdi). 

Hadits ini menjelaskan beberapa hal:
1. Baiat kepada Imam Mahdi adalah sebuah perintah Nabi s.a.w..

2. Mencari dan menerima Imam Mahdi itu sulit tetapi resiko sesudah bai’at kepada beliau 
akan lebih sulit sebagaimana sulitnya “merangkak di atas salju.”

3. Imam Mahdi itu Khalifatullah, Khalifatullah itu Nabi/Rasul. Sebagaimana Hadhrat Abu 
Bakar menolak disebut sebagai Khalifatullah (seperti Nabi Adam, Nabi Dawud dll) karena 
Hadhrat Abu Bakar adalah seorang Khalifatur Rasul (baca: “Muqaddimah Ibnu Khaldun” dalam Khalil: 1984: 35). 

Jadi, pertanyaan: wajibkah bai’at kepada Imam Mahdi? Jawabannya adalah: wajibkah melaksanakan perintah Rasulullah s.a.w.?

Al-Quran telah memberi contoh (QS 2/Al-Baqarah: 34/Depag RI):
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.

Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah [Catatan Tafsir No. 36/Depag RI].

Dari sudut pandang ini: “Barangsiapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS 4/An-Nisa: 80).

MENENTUKAN PILIHAN
Banyak orang mendakwakan diri sebagai Imam Mahdi lalu bagaimana kita menentukan pilihan bahwa Sang Pendakwa adalah Imam Mahdi pilihan Allah?

Jawabannya adalah pendakwaannya sesuai dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Jika semua tanda umum di atas telah terpenuhi maka tinggal satu lagi tanda khusus berikut ini:
     
Pada abad ke-4 Hijriah hidup seorang Muhaddits terkemuka, ‘Ali bin ‘Umar Al-Baghdadi Ad-Daaru Quthni (306-385 H/918-995 M). Di dalam Sunan Daaru Quthni, beliau menuliskan hadits berikut ini dari Riwayat Imam Baqir Muhammad bin Ali r.a. (yang merupakan putra Imam Zainal Abidin r.a.): 

اِنَّ لِمَهْدِيّنَا اَيَتَيْنِ لَمْ تَكُوْنَ مُنْذُ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلاَرْضِ يَنْكَسِفُ الْقَمَرُ لِأَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَ تَنْكَسِفُ الشَّمْسُ فِى النِّصْفِ مِنْهُ

Inna li-mahdiyyinaa aayataini lam-takuuna mun-dzu kholqis-samaawaati wal-ardhi, yan-kasiful qomaru fii awwali lailatin min Romadhoona wa tan-kasifusy-syamsu fin-nisfi min-hu.

Artinya: “Sesungguhnya untuk Mahdi kita ada dua tanda yang belum pernah terjadi sejak saat bumi dan langit diciptakan. Gerhana bulan akan terjadi pada malam pertama bulan Ramadhan dan gerhana matahari akan terjadi pada pertengahannya” (Sunan Ad-Darul Qutni: I: 188). 

Keshahihan hadits ini tidak diragukan lagi karena selain diakui oleh para Ahli Hadits, yang lebih mendasar lagi, hadits ini senada dengan Al-Quran (Al-Qiyamah/75: 7-10). Bahkan jauh sebelumnya telah dinubuatkan dalam Injil (Matius 24:29).

WAFATNYA ISA IBNU MARYAM (120 M) & DIUTUSNYA IMAM MAHDI(1891 M)
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menulis (1891): Tuhan telah mengutusku dan telah memberitahukan padaku melalui wahyu-Nya bahwa Isa Ibnu Maryam telah wafat. Wahyu itu berbunyi (bahasa Urdu):

“Masih Ibnu Maryam Rasulullah faot ho cuka he, aor uske rangg me ho kar wa’dah ke muwafiq tu aya he” (Isa Ibnu Maryam, Utusan Allah, telah wafat dan kamu telah datang dalam spiritnya, sesuai dengan janji) [Izala-e-Auham, hal. 561-562; Ruhani Khazain, Vol. 3, hal, 402, baca: Tadhkirah: 2014/Neratja Trading: 172].

Setelah memperoleh ilham/wahyu dari Allah s.w.t. tersebut (bahkan pada akhir tahun sebelumnya/1890 beliau a.s. juga telah mendapat khabar), pada tahun 1891 Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. mengumumkan bahwa beliaulah Masih Mau’ud dan Mahdi Mas’ud yang melalui perantaraannya sesuai dengan nubuatan Rasulullah s.a.w.

Setelah pengumuman tersebut beliau a.s. menuai banyak kritik, di antaranya adalah mengenai nubuatan gerhana bulan dan matahari itu. Yakni kenapa tidak juga sempurna.

Kemudian barulah Allah s.w.t. memperlihatkan Tanda itu di langit. Yakni sesuai dengan nubuatan Rasulullah s.a.w.: pada tahun 1311 H (1894 M), telah terjadi gerhana bulan dan matahari pada bulan Ramadhan sesuai tanggal yang disebut dalam hadits di atas. Yaitu gerhana bulan terjadi pada tanggal 13 Ramadhan (21 Maret) pada bagian permulaan malam. Sedangkan gerhana matahari terjadi pada hari Jum’at tanggal 28-nya (6 April 1894).

Informasi gerhana ini dapat ditelusuri di: 
- Jantari (Almanac) 1894,
- Surat kabar Azad dan Civil & Military Gazette,
- Buku Prof. T.R. Von Oppolzer, “Conon of Eclipses”, dimuat tanggal-tanggal masehi gerhana-gerhana yang terjadi dari tahun 1208 SM sampai tahun 2161 M. Dari buku itu pun terdapat bukti kebenaran gerhana-gerhana tersebut di atas. Buku itu ada di perpustakaan Osmaniah University, Hyderabad, India, seksi Astronomy; atau bisa juga didapat dari Nautical Almanac London 1894 (Baca: “Tanda Samawi Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari 1311 H/1894 M” karya Dr. Saleh Muhammad Alladin dalam “Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari Ramadhan 1894 - 1994”, JAI: 1994: 33).

KEPUSTAKAAN
   Ahmad, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1990). Perlunya Al-Quran Turun. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia. 
   Ahmad, Hadhrat Mirza Tahir r.h. (1985). Imam Mahdi. Sinar Islam edisi Maret. Jakarta Barat: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
   Al-Hilaly, Syaikh Salim bin ‘Ied (2007). Keabsahan Hadits Ahad dalam Aqidah & Hukum. Ciomas: Pustaka Ulil Albab.
   Alladin, Dr. Saleh Muhammad (1994). “Tanda Samawi Gerhana Bulan dan Gerhana Matahari 1311 H/1894 M”  dalam “Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan & Gerhana Matahari Ramadhan 1894 - 1994”. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.  
   As Sidokare, Abu Ahmad. Kitab Shahih Bukhari. Kompilasi Chm.
   Khalil, KH. Moenawar (1984). Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Al Quran & Sunnah. Solo: Ramadhani.
   LAI (1993). Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
   Mundzir, Ustadz Ahmad (2018). Ibnu Athaillah Soal Keturunan Nabi yang Terputus Kekeluargaan dari Rasulullah. nuonline.
   Nagara [Mediasi Publik dan Republik] Vol. 1 No. 6: 12/12/2005. Ratu Adil, Bekerjalah! Jakarta: Biora Institute.
   PB JAI (1989). Kami Orang Islam. Cetakan VI. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
   Rafi’i, Ahmad (1994). Imam Mahdi. Majalah As-Sunnah (11/Th. I/1415-1994). Surakarta: Yayasan Lajnah Istiqamah.
   Sadiq, Maulana Mohammad HA. (1993). Menyingkap Kekaburan tentang Al-Masih dan Al-Mahdi. Bogor: Jemaat Parung.
   Tadhkirah (2014). Jakarta: Neratja Press.

   Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran/Depag RI (1993). Al Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Intermasa.

Post a Comment

0 Comments