Membangun Harmoni Dalam Kehidupan Bertetangga, Bermasyarakat dan Berbangsa

Shirat Nabi Muhammad (shallallahu 'alaihi wasallam)


MEMBANGUN HARMONI DALAM KEHIDUPAN BERTETANGGA, BERMASYARAKAT, DAN BERBANGSA


Oleh: H.M. Syaeful Uyun
(Disajikan dalam peringatan Shiratun-Nabi Muhammad s.a.w., Sabtu, 16 Nopember 2019, di Masjid An-Nashr, Kemang, Bogor, Jabar)




لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah, suri teladan yang sebaik- baiknya bagi orang yang mengharapkan bertemu dengan  Allah dan Hari Kemudian dan yang banyak mengingat Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 22)


قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Katakanlah, ”Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah  aku, kemudian  Allah akan mencintai dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 32)

Membicarakan akhlak Baginda Nabi kita Muhammad (shallallahu 'alaihi wasallam), khususnya berkenaan dengan peran beliau dalam membangun harmoni dalam kehidupan betetangga, bermasyarakat, dan berbangsa, saat ini, sungguh, sangat-sangat penting. Setiap hari, bahkan setiap jam, di dunia maya, maupun di dunia nyata, kita disuguhi berita-berita yang mengandung hoax, fitnah, dan hate speech – ujaran kebencian. Selain hoax, fitnah, dan hate speech, sinisme juga menjadi menu lumrah belakangan ini. Istilah kecebong dan kampret pun menjadi menu bahasa harian bagi yang setuju dan kontra kepada yang sedang berkuasa. Dan, sekarang lahir lagi isitilah baru: Kadrun (kadal gurun). Tentu saja, hal-hal tersebut telah mendorong terjadinya disharmoni dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita.  Kerusuhan di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, dan merembet ke kerusuhan di Wamena, Papua, beberapa waktu lalu, adalah akibat dari hoax, fitnah, hate speech, dan sinisme itu.

Harmoni Dalam Bertentangga


Berkenaan dengan membangun harmoni dalam kehidupan bertetangga, lebih seribu empat ratus tahun silam, Baginda Nabi kita Muhammad (shallallahu 'alaihi wasallam) telah mengajarkan:

- وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ

“Dan, sembahlah Allah, dan jangan kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya; dan berbuat  baiklah terhadap kedua orang tua, dan kaum kerabat, dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, dan tetangga yang sesanak-saudara dan tetangga yang bukan kerabat, dan handai taulan, dan orang musafir, dan yang dimiliki oleh tangan kananmu. Sesungguhnya, Allah swt. tidak menyukai orang sombong, membanggakan diri.” (QS An-Nisa [4] 37)

Mengomentari ayat tersebut, para ahli tafsir mengatakan:

“Tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan, serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan.” (Syekh Abdurrahman As-Sa’di, - Tafsir As-Sa’di 1/177)
Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) juga bersabda:

خَيْرُ اْلأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ

“Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya." (HR. At Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 103)

Maka jelas sekali, berbuat baik terhadap tetangga adalah akhlak yang sangat mulia dan sangat ditekankan penerapannya, karena Allah Ta'ala, dan Rasul-Nya, Muhammad (shallallahu 'alaihi wasallam)  telah memerintahkannya.

Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan mulia. Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi keimanan. Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)

Bahkan, besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang muslim, sangatlah ditekankan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris” (HR. Bukhari 6014, Muslim 2625)

Begitu pentingnya berbuat baik kepada tetangga, sehingga Baginda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam  pun menyampaikan ancaman kepada orang yang enggan dan lalai dalam berbuat baik terhadap tetangga. Bahkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menafikan keimanan dari orang yang lisannya kerap menyakiti tetangga.
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ


“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)

Bawa’iq, maksudnya culas, khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan menjahati tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah. Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini". (Syaikh Ibnu Utsaimin,  Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178)

Bahkan, mengganggu tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka. Ada seorang sahabat berkata:

يا رسول الله! إن فلانة تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في النار

“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat malam dan puasa pada siang harinya. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka” (HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak 7385)

Bersedekah/memberi makan kepada tetangga yang memerlukan adalah satu diantara akhlak yang sangat dianjurkan Rasulullah s.a.w..

Beliau bersabda:

لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ

“Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 18108)

Dan, beliau bersabda lagi:

إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ

“Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik” (HR. Muslim 4766)

Tidak hanya itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga menganjurkan berbuat baik kepada tetangga, seperti memberi salam, menjenguknya ketika sakit, membantu kesulitannya, berkata yang baik dan lemah-lembut, bermuka cerah di depannya, menasehatinya dalam kebaikan dan kebenaran, dan sebagainya.

Tetangga Non-Muslim


Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dengan tetangga non-muslim, apakah kita harus berbuat baik juga kepada mereka?

Dalam firman Allah Ta’ala pada surat An Nisa ayat 37 di atas, tentang anjuran berbuat baik pada tetangga, disebutkan dua jenis tetangga. Yaitu al-jaar dzul qurbaa (tetangga dekat) dan al-jaar al-junub (tetangga jauh).

Ibnu Katsir menjelaskan tafsir dua jenis tetangga ini:

“Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa al-jaar dzul-qurbaa adalah tetangga yang masih ada hubungan kekerabatan dan al-jaar al-junub adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan”.

Beliau juga menjelaskan:
“Dan Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al Bikali bahwa al-jaar dzul qurbaa adalah muslim dan al-jaar al-junub adalah Yahudi dan Nasrani” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/298)

Anjuran berbuat baik kepada tetangga berlaku secara umum kepada setiap orang yang disebut tetangga, bagaimana pun keadaannya. Ketika menjelaskan hadits مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ - “Jibril senantiasa menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris”.

Al-‘Aini menuturkan:

“Kata al-jaar (tetangga) di sini mencakup muslim, kafir, ahli ibadah, orang fasiq, orang jujur, orang jahat, orang pendatang, orang asli pribumi, orang yang memberi manfaaat, orang yang suka mengganggu, karib kerabat, ajnabi, baik yang dekat rumahnya atau agak jauh”(Umdatul Qaari, 22/108)

Oleh karena itu para ulama mufasirin, tetangga itu ada tiga macam:

  1. Tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat. Maka ia memiliki 3 hak, yaitu: hak tetangga, hak kekerabatan, dan hak sesama muslim.
  2. Tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Maka ia memiliki 2 hak, yaitu: hak tetangga, dan hak sesama muslim.
  3. Tetangga non-muslim. Maka ia hanya memiliki satu hak, yaitu hak tetangga.

Dengan demikian berbuat baik kepada tetangga ada tingkatannya. Semakin besar haknya, semakin besar tuntutan agama terhadap kita untuk berbuat baik kepadanya. Tetangga kita non-muslim, ia tetap memiliki satu hak, yaitu: hak tetangga. Jika hak tersebut dilanggar, maka terjatuh pada perbuatan zhalim dan dosa. Itulah harmoni yang dibangun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam kehidupan bertetangga.

Sekarang bagaimana harmoni yang dibangun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih seribu empat ratus tahun silam, Baginda Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu  kaum mencemoohkan kaum yang lain, boleh jadi mereka itu lebih baik daripada mereka, dan janganlah segolongan wanita mencemoohkan wanita yang lain, boleh jadi mereka itu lebih baik daripada mereka, dan janganlah kamu mencela satu sama lain, dan jangan memanggil satu sama lain dengan panggilan nama-nama buruk. Memanggil dengan nama buruk adalah hal yang seburuk-buruknya sesudah beriman, dan barangsiapa tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang aniaya.” (QS Al-Hujurat [49]:12)

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.”(Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Harmoni Dalam Berbangsa

Lalu, bagaimana dengan harmoni yang dibangun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam kehidupan berbangsa?

Lebih seribu empat ratus tahun silam, Baginda Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan:

  1. Mengakui kemajemukan – pluralisme, baik suku, bangsa, bahasa (Al-Hujurat, 49:13), juga agama (Al-Baqarah, 2:62).
  2. Memberikan kebebasan kepada setiap individu, mau mukmin atau kafir (Al-Kahfi, 18:29), dan menyatakan: tiada paksaan dalam agama (Al-Baqarah, 2:256; Yunus, 10:99), bagimu agamamu dan bagiku agamaku (Al-Baqarah, 2:139; Al-Qashash, 28:55; As-Syuura, 42:15; Al-Kaafiruun,109:1-6).
  3. Menjungjung tinggi toleransi (Ali Imran, 3:61,64, At-Taubah, 9:6), melarang umatnya memaki dan mencela tuhan-tuhan lain yang disembah selain Allah (Al-‘An’aam, 6:108), dan tidak memperkenankan, melarang orang menyebut nama Allah di tempat-tempat ibadah (Mesjid), lebih-lebih merobohkan tempat ibadah (Mesjid) itu (Al-Baqarah, 2:114).
  4. Mengutamakan persaudaraan dan persamaan umat manusia (Al-Ahzab, 33:35). Pada peristiwa Haj terakhir, beberapa saat menjelang kewafatannya, dihadapan sejumlah besar Muslimin, Rasulullah SAW., berkhotbah:


“Wahai sekalian manusia! Tuhan-mu itu Esa dan nenek moyangmu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang bukan Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, dan begitu pula sebaliknya, seorang orang kulit merah tak mempunyai kelebihan apa juga pun diatas orang berkulit putih, melainkan kelebihannya ialah: sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan dan manusia. Orang yang paling mulia diantara kamu sekalian pada pandangan Tuhan ialah yang paling bertakwa diantara kamu”.(Baihaqi)

Ini merupakan  Magna Carta – piagam persaudaraan dan persamaan umat manusia. Khatbah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini, telah menumbangkan rasa dan sikap lebih unggul semu, yang lahir dari keangkuhan rasial atau kesombongan nasional.

Pluralisme Islam, Sebuah Model

Sesungguhnya, semua konsep keadilan, hak azasi manusia, kebebasan beragama dan pluralisme modern dijumpai penerapannya yang paling nyata di Madinah pada masa Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasalla. Segera setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasallam membuat perjanjian tertulis dengan kaum Yahudi dan kelompok lain, yang dikenal dengan Misaq Madinah atau perjanjian Madinah. Isi perjanjian Madinah itu antara lain:


  1. Kaum Muslimin dan Yahudi akan berhubungan satu sama lain atas dasar simpati dan keikhlasan serta tidak akan terlibat dalam suatu serangan atau berbuat salah terhadap satu sama lain.
  2. Semua kalangan masyarakat Madinah akan menikmati kebebasan beragama sepenuhnya.
  3. Jiwa dan harta benda setiap orang akan dilingdungi, dan akan dihormati, sesuai dengan ketetapan hukum dan peraturan.
  4. Semua masalah perbedaan akan diserahkan keputusannya kepada Nabi Suci  shallallahu 'alaihi wasallam dan akan ditetapkan oleh beliau menurut hukum dan adat dari masing-masing kalangan masyarakat Madinah.
  5. Tak akan ada kelompok yang akan pergi berperang tanpa izin Nabi Suci  shallallahu 'alaihi wasallam.
  6. Dalam hal (jika ada) serangan terhadap kaum Yahudi atau Muslimin, keduanya akan bekerja sama dalam menghadapi serangan musuh itu.
  7. Dalam hal (jika ada) serangan terhadap Madinah, semua golongan akan bekerja sama dalam menghadapinya.
  8. Kaum Yahudi dengan cara apa pun tidak akan membantu Quraisy atau menyediakan penampungan atau pelayanan untuk mereka.
  9. Semua golongan akan bertanggungjawab pada perbekalan dan biayanya sendiri.
  10. Tak ada apa pun dalam persetujuan itu akan memberikan kekebalan pada orang yang berbuat salah atau pelaku dosa atau pembangkang. (Muhammad, Seal of the Prophets, by Sir Muhammad Zafrullah Khan, Routledge & Kegan Paul, London, 1980, pp. 88-89)


Butir-butir perjanjian Madinah ini menunjukan, betapa indahnya harmoni yang dibangun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam kehidupan berbangsa. Seluruh penduduk Madinah terdiri atas agama, adat dan kebiasaan yang berbeda, menyatakan sebagai satu ummah atau bangsa. Semua warga Madinah (pria dan wanita) mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama serta kebebasan beragama yang sama. Semua warga Madinah menerima tanggungjawab bersama untuk pertahanan menghadapi serangan dari luar. Syariat Islam tidak diberlakukan atas non-Muslim, dan urusan-urusan mereka diputuskan menurut syariat atau adat mereka sendiri seperti yang mereka inginkan.

Inilah hakikat masyarakat majemuk (pluralistik), yang berdasarkan pada keadilan, yang melindungi hak-hak azasi dari semuanya (termasuk perlindungan jiwa, harta benda, tempat-tempat ibadah dan hak untuk kebebasan beragama). Penduduk Madinah – Muslim dan non-Muslim, adalah dua golongan agama berbeda, yang disatukan dalam satu bangsa secara politik. Ibnu Hisyam mencatat:

Wa inna Yahuda Bani Aufa, Ummatan ma’al Mu’minin. Lil Yahudi in dinahum, wa lil Mu’miniina dinahum” – Dan Yahudi dari Bani Auf akan menjadi satu bangsa dengan kaum Muslimin;  untuk Yahudi agama mereka, dan untuk Muslimin agama mereka.

Pelajaran yang disampaikan baginda Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam membangun harmoni dalam kehidupan bertetangga, bermasyarakat, dan berbangsa, bukan hanya sekedar teori, tetapi telah dipraktekan langsung oleh Baginda Nabi Miuhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Bagaimana cara berbuat baik kepada semua orang dan memandangnya dengan kasih sayang, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah suri tauladannya. Berkat keluhuran akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, orang-orang berbondong-bondong masuk Islam dan mengikuti ajarannya.

Dikisahkan, di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata, "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya".
Hari demi hari pengemis Yahudi itu mencela Rasulullah. Kejadian itu terus berlangsung di pojok Pasar Madinah. Sebagai Nabi yang diberi wahyu, Rasulullah tentu tahu apa yang dilakukan pengemis Yahudi buta itu.

Setiap pagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu. Saat Rasulullah menyuapinya, si pengemis Yahudi itu tetap berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuapi pengemis Yahudi itu hingga menjelang beliau wafat. Setelah kewafatan Rasulullah, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari sahabat Nabi, Abu Bakar RA berkunjung ke rumah putrinya Aisyah RA yang juga istri Rasulullah. Beliau bertanya kepada putrinya, "Anakku, adakah sunnah kekasihku (Nabi Muhammad) yang belum aku kerjakan?"

Aisyah menjawab ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abu Bakar.
"Setiap pagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam  selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana," kata Aisyah.

Keesokan harinya, Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya.Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "Siapakah kamu?". Abu Bakar menjawab, "Aku orang yang biasa".

"Bukan!, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. "Apabila ia datang kepadaku, tangan ini tidak susah memegang dan mulut ini tidak susah untuk mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan itu dengan mulutnya. Setelah itu ia berikan padaku," kata pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar, ia pun menangis sedih dan kemudian berkata, benarkah demikian?

"Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia. Pengemis Yahudi buta itu akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar.

Kini, saatnya ummat Islam kembali ke khitthah. Khitthah Islam.
Hentikan hoak, fitnah, hate speech dan sinisme.

Islam adalah agama yang damai.

المسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah orang yang menjadikan orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40)


Inkopad, 16 Nopember 2019
Jam 17:30

Post a Comment

0 Comments