ABAD 21






Oleh : Mln. Tarmidzi Ali

ABAD ke-21 adalah abad kelanjutan teknologi digital dan sebuah revolusi industri generasi keempat (4.0) yang semakin melaju kencang untuk menggejot pertumbuhan ekonomi sekaligus menandai kemajuan peradaban umat manusia. 

Revolusi Industri 4.0 telah membuat batas semakin tipis, mungkin menghilang antara dunia digital, fisik dan biologis. Jaringan konektivitas internet (Internet of Things), pemanfaatan  kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), Robotika, pemanfaatan data skala besar (Big Data), dan teknik penyimpanan data di awan (Cloud Computing), semua derivatif digital di atas turut terlibat dalam memengaruhi dan mengubah gaya hidup manusia modern.

Kita yang hidup di abad peradaban maju, tentu sudah dapat menyaksikan dan mengalami proses perilaku masyarakat digital berkat konektivitas internet banking, katakanlah, seseorang yang melakukan transaksi belanja online, melacak tiket online, memanggil taksi online, mengirim jumlah nominal uang ke sebuah rekening bank atau ke sejumlah nomor rekening via transfer online, membayar tagihan listrik online, melunasi tagihan BPJS online, membaca majalah, surat kabar online dsb. 

Semua hal tersebut di atas bisa dilakukan tanpa menggunakan uang tunai di tangan (Cashless). Hanya dengan internet banking semua transaksi dapat diselesaikan dengan begitu cepat dan tepat. Sungguh ini adalah zaman canggih dan menakjubkan.

Penerapan revolusi industri 4.0 sedang berlangsung di beberapa kawasan industri, katakanlah, di kawasan industri JABODETABEK, ada Indofood, Garuda Food yang bergerak di bidang industri makanan dan minuman, Indomobil yang bergerak di bidang industri otomotif. 

Di salah satu perusahaan Indomobil hampir 90 persen pekerjaan instalasi perangkat mobil tidak lagi menggunakan tenaga manusia melainkan telah digantikan dengan tenaga robotik yang otomatis dengan hasil kerja lebih berqualitas, efisien dan terjamin, dibanding dengan hasil kerja tenaga manusia yang cendrung menurun akibat kelelahan fisik. 

Dengan demikian tenaga manusia untuk industri jenis ini hanya diperuntukan bagi mereka yang mampu menerapkan teknologi mereka dengan disiplin tinggi. Dengan kata lain, hanya mereka yang memiliki kemampuan sebagai operator mesin, yang benar-benar menguasai saintis secara khusus, dan hanya mereka yang bekerja sebagai tenaga ahli di kantor sebagai manajer dan atau staf manajemen. 

Revolusi industri 4.0 berhasil menggantikan dan mengubah posisi tenaga terampil manusia dengan tenaga mesin yang sudah dibekali dengan kecerdasan buatan – Artificial Intelligence (AI).

ADA chatbot garapan BNI yang bisa menjelaskan bentuk kecerdasan buatan (AI). Berikut satu contoh percakapan manusia dengan robot(Chatbot).

Cinta – sebuah aplikasi nama mesin penjawab – yang siap merespon konsumennya. Katakanlah, Seseorang yang sedang mencari tiket kereta, ia membuka Line di ponselnya, lalu membuka Cinta. Dan ia mulai berkata:
"Cari tiket kereta api dong." Sambil mendekatkan bibirnya ke ponsel. 
"Anda mau tujuan ke mana?" Respon si mesin penjawab.
"ke Bandung." Kata orang itu pula.

Cinta merespon balik dengan daftar tiket dan instruksi untuk melanjutkan pembayaran via yap. Sebuah applikasi pembayaran berbasis QR code milik BNI. Semua sudah terintegrasi, ini juga sebuah langkah maju bagi dunia bisnis perbankan berkat transformasi digital.

Ada pula yang meramalkan bahwa pada 2030 nanti sekitar 90 persen ruang berita (Newsrooom) akan ditulis oleh robot. Jangan kaget sebab proses jurnalisme robot sedang terjadi di beberapa media terkemuka di dunia.

Katakanlah, surat kabar online, Los Angeles Times, Bloomberg, New York Times, dan Washington Post, telah mempekerjakan robot sebagai penulis berita. Di Indonesia, Beritagar.id secara resmi mengumumkan penerapan jurnalisme robot pada Februari 2018. 

Ke depan, kata Noam Lemelshtrich Latar – penulis buku Robot Juournalism – kecerdasan buatan (AI) memungkinkan newsroom sepenuhnya otomatis, robot menggantikan manusia sebagai editor, jurnalis, dan personel pemasaran.

Jika demikian, apakah jurnalis manusia akan digantikan jurnalis robot? Penulis Andrey Miroshnichenko dari York University, Kanada, dengan yakin menjawab, “Ya.” Adapun Latar menjawabnya dengan hati-hati. 

Menurut dia, cara menjawab pertanyaan itu adalah dengan mengeksplorasi apakah AI memiliki keterbatasan-keterbatasan dan apakah hal itu menawarkan cakrawala baru bagi jurnalis manusia.

Untuk itu, Latar merujuk pada perdebatan dua kubu besar tentang AI. Kubu pertama diwakili filsuf AI, John Searle, dan kubu kedua diwakili chief futurist Google, Ray Kurzweil. Kubu Searle percaya bahwa komputer tidak akan pernah dapat sepenuhnya meniru otak manusia; komputer AI tidak dapat mengembangkan level tertinggi kreativitas manusia. Padahal jurnalisme bukan hanya soal sains, tapi juga soal seni yang membutuhkan kreativitas. Bila Searle benar, ini merupakan good news untuk jurnalis manusia.

Sebaliknya, kubu Kurzweil percaya pada inovasi AI berikutnya akan sampai pada era keistimewaan, yakni ketika AI lebih kreatif daripada otak manusia dan mampu melakukan pekerjaan manusia dengan lebih baik. Kurzweil memprediksikan, keistimewaan AI akan terjadi pada 2029 (belakangan direvisi menjadi 2045). Jika ramalan Kurzweil benar, kita akan mengalami akhir jurnalis manusia.

Untungnya, kata Latar, saat ini general AI, apalagi super AI atau kekuatan khusus AI, masih jauh dari jangkauan kita. Karena itu, jurnalis manusia harus mampu memanfaatkan peluang keterbatasan AI. 

Untuk bersaing dengan jurnalis robot, selain harus familiar dengan peralatan digital baru dan penggunaan AI, mereka mesti mencari cara baru untuk menyampaikan berita, menguasai metode secara ilmiah, serta memiliki pendidikan multidisiplin yang luas dalam seni dan filsafat. Diketahui AI belum mampu menjangkau dua disiplin tersebut.

Lebih dari itu, masih menurut Latar yang juga pemimpin Daniel Pearl International Journalism Institute- di Interdisciplinary Center Herzliya, Israel, ada tugas penting bagi jurnalis manusia di era kecerdasan buatan. Tugas itu adalah harus sadar dan membuat pembaca sadar akan bahaya AI, yang memungkinkan raksasa-raksasa Internet lebih berkuasa ketimbang pemerintah.

Jurnalis manusia juga harus memiliki kesadaran akan bahaya AI terhadap kebebasan jurnalistik. 

Latar mengungkapkan lebih jauh bahwa perkembangan AI sekarang berpotensi melanggar apa yang oleh Isaac Asimov disebut “zeroth law”, yakni robot seharusnya tidak boleh melanggar kemanusiaan. Sebab, robot tidak dapat diprogram secara efektif untuk melindungi hak asasi manusia dan kebebasan berbicara, yang sangat diperlukan bagi keutuhan sosial.

Saya menyimpulkan manusia tetap sebagai sebaik-baik ciptaan Tuhan, meski sudah ada robot-robot otomatis AI yang sedang memasuki ke berbagai lini pekerjaan manusia. Mereka adalah robot-robot buatan Jepang, namun belum ada Jepang buatan robot-robot.

Post a Comment

0 Comments