FIQIH AHMADIYAH ITU FIQIH ISLAM JUGA: Pengantar Menuju Fiqih Ahmadiyah


Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori (Muballigh Jmt. Kebumen dsk./Jateng 2)

Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya “Pengantar Ilmu Fiqh” (1993: 17) menjelaskan:
Kata “fiqh” (baca: fiqih) menurut bahasa bermakna: tahu dan paham. Sedangkan menurut istilah Fiqh itu ialah ilmu syari’at.

Yang dimaksud dengan kata syari’at di sini ialah bermakna khusus yaitu fiqih Islam. Sebenarnya, lafazh syari’at di berbagai tempat, diartikan dengan agama yang disyari’atkan Allah untuk para hamba yang melengkapi hukum i’tiqadiyah, khuluqiyah dan amaliyah, yang berpautan dengan perbuatan, perkataan, perikatan, tasharrufnya dan lain-lain.

Orang yang mengetahui ilmu fiqih dinamai Faqih (jamaknya: Fuqaha’).

Para fuqaha’ (jumhur muta’akhirin) menta’rifkan bahwa fiqih adalah Ilmu yang menerangkan hukum-hukum Syara’ yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshil.

Dalil tafshili ialah dalil-dalil yang khusus. Pengertian yang diperoleh dari dalil-dalil tafshili ialah hukum-hukum yang khusus yang diambil daripadanya dengan jalan nadhar ijtihad.

DEFINISI “AHMADIYYAH” (baca: Ahmadiyah)
Untuk mengetahui definisi “Ahmadiyyah” dapat dibaca definisi resmi dari buku “Ketentuan dan Peraturan Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyah” tentang istilah “Ahmadi” yaitu seorang Muslim yang meyakini semua ajaran pokok dan rukun-rukun Islam sebagaimana ditetapkan Al-Quran dan Nabi Besar Muhammad s.a.w. dan percaya bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian adalah Al-Masih yang Dijanjikan dan Imam Mahdi sebagaimana dinubuatkan oleh Rasulullah Muhammad s.a.w. serta dalam semua masalah yang dipertikaikan menerima penafsiran beliau tentang Islam sebagai satu-satunya penafsiran yang benar dan juga meyakini lembaga khilafat (2010: 27).

Jadi “Fiqih Ahmadiyah” sama dengan “Fiqih Islam” dengan ciri khas yaitu sesuai penjelasan Pendiri Jemaat Ahmadiyah (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau’ud) dan para Khalifahnya.

SUMBER-SUMBER SYARI’AT
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam bukunya “Bahtera Nuh” mengajarkan kepada para pengikutnya (2018: 48-49) sebagai berikut:

“Pendirianku ialah demikian: Ada 3 hal yang Tuhan telah berikan kepadamu sebagai petunjuk.”

PERTAMA: AL-QURAN
“Yang pertama-tama adalah Al-Quran, yang di dalamnya diutarakan Ketauhidan, Kebesaran dan Keagungan Ilahi, juga di dalamnya perselisihan-perselisihan yang ada di antara kaum Yahudi dan kaum Nasrani diputuskan, seperti perselisihan dan kekeliruan mengenai terbunuhnya Isa Ibnu Maryam dengan perantaraan kayu salib dan menjadi seorang terkutuk; dan seperti halnya nabi-nabi yang lain, beliau tidak diangkat ke langit.”

Hadhrat Ahmad a.s. juga menjelaskan: “Oleh karena itu, berhati-hatilah dan janganlah melangkahkan kaki walaupun selangkah tetapi bertentangan dengan ajaran Tuhan dan petunjuk Al-Quran. Aku berkata dengan sesungguh-sungguhnya bahwa barangsiapa mengabaikan suatu perintah sekecil-kecilnya di antara sejumlah 700 buah perintah Al-Quran, ia menutup pintu keselamatan bagi dirinya sendiri dengan tangannya sendiri. Jalan keselamatan yang sempurna dan hakiki dibuka oleh Al-Quran, sedang semua jalan lainnya adalah bayangannya.”

KEDUA: SUNNAH
“Sarana petunjuk kedua ialah Sunnah yakni teladan suci yang diperlihatkan dengan amal-perbuatan Rasulullah s.a.w., umpamanya untuk memperlihatkan cara Shalat beliau s.a.w. Shalat, dan untuk memperlihatkan cara puasa beliau s.a.w. sendiri melakukan puasa. Yang demikian itulah disebut Sunnah yakni amal-perbuatan Nabi s.a.w. yang memperlihatkan firman Tuhan dalam bentuk amal-perbuatan” (2018: 48).

Pengertian Sunnah
Menurut Hadhrat Ahmad a.s.
Sekali lagi tentang Pengertian Sunnah, Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 110) menjelaskan bahwa:
“Memang, Sunnah adalah sesuatu yang mewujudkan kehendak-kehendak Al-Quran jadi kenyataan.”
“Sedangkan yang dimaksudkan oleh Sunnah ialah jalan yang di atasnya Rasulullah s.a.w. tempuh dalam membimbing para sahabat dengan memperlihatkan perilaku beliau (s.a.w.) sebagai suriteladan.”

Ta’rif (Definisi) Sunnah
Menurut Ilmuwan
Berikut ini definisi Sunnah menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya “Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits” (1980: 24-25):

Sunnah menurut lughat (bahasa): jalan yang dijalani, baik terpuji ataupun tidak. 
Suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamakan sunnah, walaupun tidak baik.
Jamak dari sunnah adalah sunan.

Sunnah menurut istilah muhadditsin (para ahi hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi s.a.w., baik berupa perkataan, perbuatan maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup, baik yang sebelum maupun ketika Nabi s.a.w. diutus menjadi Rasul.

Tetapi, Sunnah menurut pendapat (istilah) ahli ushul fiqh ialah segala yang dinukilkan dari Nabi s.a.w., baik perkataan maupun perbuatan ataupun taqrir yang mempunyai hubungan dengan hukum.
Makna inilah yang diberikan kepada perkataan “sunnah” dalam sabda Nabi (s.a.w.):
“Sungguh telah saya tinggalkan untukmu 2 perkara, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya yakni Kitaaballaahi wa Sunnata Rasuulihi (Al-Quran dan Sunnah)” [HR Malik].

Kedudukan Sunnah
Perihal kedudukan Sunnah, lebih lanjut Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 107) menjelaskan:
“Sarana petunjuk kedua yang diberikan kepada kaum Muslimin ialah Sunnah yaitu amal perbuatan Rasulullah s.a.w. yang diperagakan oleh beliau (s.a.w.) untuk menjelaskan hukum-peraturan Al-Quran Suci yang dituangkan dalam bentuk amalan.”

“Umpamanya, di dalam Al-Quran sepintas lalu tidak diketahui bilangan raka’at bagi Shalat yang 5 waktu: berapa raka’at Shalat subuh dan berapa raka’at bagi Shalat-shalat lainnya. Akan tetapi, Sunnah telah membuat segala sesuatunya menjadi jelas.”

Hubungan Al-Quran dan Sunnah
Selanjutnya Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 108) menjelaskan tentang hubungan Al-Quran dan Sunnah:
“Umat Islam sungguh amat berhutang budi kepada Sunnah setelah kepada Al-Quran. Kewajiban tanggung-jawab Tuhan dan Rasulullah s.a.w. hanyalah meliputi 2 perkara yaitu Dia menyampaikan kehendak-Nya melalui firman-Nya dengan menurunkan Al-Quran kepada segenap makhluk-Nya. Yang demikian merupakan kewajiban peraturan Tuhan. Adapun kewajiban Rasulullah s.a.w. adalah demikian yaitu beliau (s.a.w.) dikehendaki memberi pengertian dengan sebaik-baiknya kepada orang-orang mengenai firman Allah dalam bentuk amalan.”

“Pendek kata, Rasulullah s.a.w. telah memperagakan dalam bentuk tingkah-laku apa-apa yang difirmankan Allah Ta’ala, sementara beliau (s.a.w.) dengan Sunnah yakni amal perbuatan, memecahkan persoalan demi persoalan yang sulit lagi pelik.”

KETIGA: HADITS
Selanjutnya Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 48) menjelaskan bahwa:

“Sarana petunjuk ketiga ialah Hadits yakni sabda-sabda Nabi s.a.w. yang dikumpulkan sesudah beliau tiada. Derajat Hadits adalah lebih rendah dari Quran dan Sunnah, sebab kebanyakan Hadits adalah meragukan. Akan tetapi jika disertai Sunnah maka Hadits itu akan menjadi sesuatu yang yakin.”

Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 109) juga menjelaskan bahwa:

“Ya, sarana petunjuk ketiga ialah Hadits, sebab banyak sekali soal-soal yang berhubungan dengan sejarah Islam, budi pekerti dan fiqqah (jurisprudensi) dengan jeIas dibentangkan di dalamnya.”

Faedah Hadits
Tentang faedah Hadits, Hadhrat Ahmad a.s. (Bahtera Nuh: 2018: 109) menjelaskan bahwa:

“Faedah besar daripada Hadits selain itu ialah Hadits merupakan khadim AI-Quran dan Sunnah.”
“Ada sementara orang yang tidak dianugerahi pengertian mengenai kedudukan Al-Quran secara hakiki. Mereka dalam situasi itu mengatakan bahwa kedudukan Hadits merupakan hakim bagi Al-Quran, sebagaimana kaum Yahudi mengatakan mengenai Hadits-hadits mereka.”

“Akan tetapi kita mengambil ketetapan bahwa Hadits merupakan khadim Al-Quran dan khadim Sunnah.” 

“Jelas kiranya bahwa kemuliaan seorang majikan akan bertambah besar dengan kehadiran khadim-khadim.”

Hadits sebagai Saksi Penguat
Tentang faedah lain dari Hadits, Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 109-110) menjelaskan bahwa:
“Hadits yang mengandung unsur keraguan (zhan), sekali-kali tidak dapat menduduki tempat sebagai Hakim terhadap Al-Quran; kedudukannya hanyalah selaku saksi penguat.”

“Al-Quran dan Sunnah telah melaksanakan semua tugas yang hakiki, sedang Hadits hanyalah merupakan saksi penguat. Betapakah Hadits dapat menduduki tempat sebagai Hakim terhadap Al-Quran.” 

“Hendaknya jangan mengatakan bahwa Hadits menghakimi Al-Quran. Bahkan, hendaklah mengatakan bahwa Hadits merupakan saksi penguat bagi Al-Quran dan Sunnah.” 

Hargailah Hadits
Nasihat Hadhrat Ahmad a.s. (Bahtera Nuh: 2018: 109) suapaya menghormati Hadits:
“Ya, Hadits pun kendati bagian besarnya mengandung unsur keragu-raguan (zhan), akan tetapi jika itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah serta menunjang Al-Quran dan Sunnah, lagi terdapat di dalamnya perbendaharaan masalah-masalah keislaman maka patutlah Hadits itu dihargai.”

“Pendek kata, tidak menghargai Hadits adalah seakan-akan memenggal sebagian anggota tubuh Islam.”

Hormati dan Taatilah Hadits
Hadhrat Ahmad a.s. juga menasihatkan supaya menghargai dan mengamalkan Hadits (Bahtera Nuh: 2018: 111):

“Walhasil, hormatilah Hadits-hadits dan ambillah faedah daripadanya, sebab sumbernya adalah Rasulullah s.a.w..”

“Dan, selama Al-Quran dan Sunnah tidak mendustakannya, kamu pun jangan mendustakannya. Bahkan hendaklah kamu sekalian menaati Hadits-hadits Nabi s.a.w. demikian rupa sehingga janganlah hendaknya melakukan gerak-gerik atau diam, dan janganlah berbuat sesuatu serta berhenti dari suatu perbuatan, tetapi untuk berbuat demikian itu kamu memiliki sebuah Hadits yang membenarkannya.”

Hadits Dha’if
Tentang Hadits Dha’if, Hadhrat Ahmad a.s. menjelaskan (2018: 111):

“Dan apabila ada sebuah Hadits yang dha’if (Iemah), padahal ia mempunyai persesuaian dengan Al-Quran maka terimalah Hadits itu, karena Al-Quran membenarkannya.”

PERBEDAAN SUNNAH DAN HADITS
Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 107-108) menjelaskan tentang Perbedaan Sunnah dan Hadits:

“Janganlah hendaknya keliru seolah-olah Sunnah dan Hadits sama saja. Sebab Hadits dikumpulkan sesudah 100 atau 150 tahun kemudian. Sedangkan Sunnah justru terwujud bersama-sama Al-Quran.”
Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 108) mengemukakan bukti bahwa Sunnah memang berbeda dengan Hadits: 

“Tidaklah pada tempatnya untuk mengatakan bahwa (tugas) memecahkan persoalan ini diandalkan pada Hadits, sebab sebelum Hadits terwujud pun Islam telah berdiri di atas permukaan bumi ini. Tidakkah sebelum Hadits-hadits dihimpun, orang-orang pun mendirikan Shalat, menunaikan zakat, naik haji, atau mengenal batas antara halal dan haram?”

Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 109) juga menjelaskan bahwa:

“Sunnah adalah contoh perilaku yang sejak awal mula berjalan dan diamalkan orang-orang Muslim yang saleh terus-menerus serta dihayati oleh ribuan orang Islam.”

Pembukuan dan Pengumpulan Hadits
Hadhrat Mirza Bashir Ahmad, M.A., r.a. (Empat Puluh Permata Hadits: 1998: 8-10) mengemukakan bahwa pada umumnya riwayat-riwayat Hadits sejak pertengahan abad ke-2 hingga akhir abad ke-3 H telah tersusun berupa kitab.

Kitab-kitab Hadits banyak jumlahnya, tetapi khusus 6 Kitab di antaranya di anggap lebih shahih dan sah. Kitab-kitab Hadits tersebut dinamakan “Shihah Sittah” artinya “6 Kitab Hadits yang Shahih”.
Ke 6 Kitab Hadits tersebut adalah:

Shahih Bukhari disusun oleh Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (194-256 H).
Shahih Muslim disusun oleh Imam Muslim bin Al-Hajjaj An-Nishapuri (204-261 H).
Jami’ Tirmidzi disusun oleh Imam Abu Isa Muhammad bin Isa At-Tirmidzi (209-279 H).
Sunan Abu Dawud disusun oleh Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’at As-Sajastani (202-275 H).
Sunan An-Nasa’i disusun oleh Imam Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’i (251-306 H).
Sunan Ibnu Majah disusun oleh Imam Muhammad bin Yazid Ibnu Majah (209-273 H).

Selain ke 6 Kitab Hadits tersebut, ada lagi 2 Kitab Hadits yang juga penting yaitu:
Al-Muwaththa’ disusun oleh Imam Malik bin Anas Al-Madani (95-179 H).
Musnad Ahmad disusun oleh Imam Ahmad bin Hambal Al-Baghdadi (164-242 H).

Inilah yang dimaksud Hadhrat Ahmad a.s. bahwa Hadits dikumpulkan sesudah 100 atau 150 tahun kemudian.

Bukti Lain bahwa Sunnah Berbeda dengan Hadits
Menurut Prof. Hasbi (1980: 36): “Pada hakikatnya lafazh Sunnah berbeda dari pada lafazh Hadits, walaupun kebanyakan ulama Hadits berusaha mengidentikkannya. Dan apabila kita menyelidiki makna-makna kulli bagi masing-masing, nyatalah bahwa tidaklah kedua-duanya bersatu maknanya dari segala segi.

Hadits adalah segala yang diceritakan (diberitakan) dari Rasululah s.a.w.. Sunnah, baik dia diceritakan ataupun tidak, adalah sesuatu yang telah biasa dikerjakan oleh Muslimin sejak dahulu.
Dan tidaklah selalu Sunnah itu sesuai dengan Hadits. Kerap kali dikatakan bahwa suatu Hadits itu berlawanan dengan Kias, berlawanan dengan Ijma’ dan berlawanan dengan Sunnah.” 

Prof. Hasbi (1980: 37) juga menceritakan bahwa Abdur Rahman ibnu Mahdi (1198 H) berkata ketika orang bertanya kepadanya tentang Sufyan Ats-Tsauri dan Malik:

Sufyan adalah seorang Imam dalam bidang Hadits, bukan Imam dalam bidang Sunnah; sedangkan Malik adalah Imam dalam kedua bidang tersebut.

Dan, diriwayatkan tentang diri Abu Yusuf yaitu Abu Yusuf dijuluki dengan Shahib Hadits dan Shahib
Sunnah (Baca: Thabaqatul Khuffazh).

Di dalam Kitab-kitab Hadits pun sering kita temukan perbedaan di antara keduanya. Abu Dawud menyatakan dikala dia menyandarkan suatu Hadits kepada Anas berkata: ”Apabila Hadits itu telah disandarkan kepada Rasul maka tentulah demikian. Akan tetapi menurut Sunnah, begini.” 
Hal ini menyatakan bahwa Sunnah itu bukan Hadits.

Prof. Hasbi (1980: 39) juga mengutip pendapat Dr. Taufiq Sidqy dalam kitabnya “Diinulaahi fii Kutubi Anbiyaa-ihi” berkata:

Sunnah menurut lughah dan menurut istilah para Salaf ialah khiththah, thariqah yang diikuti bersama. Maka Sunnah Rasul ialah thariqah yang dilalui Rasul dalam melaksanakan amal perbuatannya dan diikuti oleh para sahabat seluruhnya.

Hadits ialah perkataan yang diriwayatkan oleh 1 orang atau 2 orang lalu mereka saja yang mengetahuinya, tidak menjadi pegangan atau amalan umum.

Prof. Hasbi (1980: 39-40) menegaskan bahwa: Hadits ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi, walaupun hanya sekali saja terjadinya dalam sepanjang hidup Nabi, dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja.

Adapun Sunnah adalah nama amalan yang mutawatir yakni cara Rasul melaksanakan sesuatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah yang mutawatir pula. Nabi melaksanakannya bersama para sahabat, kemudian para sahabat melaksanakannya. Kemudian diteruskan oleh para Tabi’in, walaupun lafazh penukilannya tidak mutawatir, namun cara pelaksanaannya mutawatir adanya.

Mungkin terjadi perbedaan lafazh dalam meriwayatkan sesuatu kejadian. Maka, dalam segi sanad, dia tidak mutawatir, tetapi dari segi amaliah dia mutawatir adanya. Pelaksanaan yang mutawatir itulah yang dikatakan Sunnah. Inilah yang dikehendaki dengan As-Sunnah dalam Hadits Nabi berikut:

“Saya telah tinggalkan kepada kamu dua urusan yang kamu sekali-kali kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepadanya yaitu Kitaaballaahi wa Sunnata Rasuulihi (Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya)” [HR Malik].

MENYIKAPI HADITS YANG BERTENTANGAN DENGAN Al-QURAN, SUNNAH DAN HADITS LAINNYA 
Hadhrat Ahmad a.s. (2018: 110) menegaskan  bahwa:

“Ya, andaikan terdapat sebuah Hadits yang bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah, dan selain itu bertentangan dengan sebuah Hadits lainnya yang bersesuaian dengan Al-Quran; atau, umpamanya terdapat sebuah Hadits yang berlawanan dengan Shahih Bukhari maka Hadits semacam itu tidaklah layak dilerima. Sebab, dengan menerimanya kita terpaksa harus menolak Al-Quran dan semua Hadits yang bersesuaian dengan Al-Quran.”

Hadhrat Ahmad a.s. juga mengingatkan untuk menolak Hadits yang bertentangan dengan Al-Quran (2018: 111):

Namun seandainya ada sebuah Hadits yang jelas berlawanan dengan keterangan yang dinyatakan Al-Quran Suci maka kamu sekalian hendaknya berikhtiar untuk memperbandingkannya, sebab jangan-jangan pertentangan tadi hanyalah kekeliruanmu; dan andaikata pertentangan itu tidak juga dapat dipecahkan maka Hadits semacam itu buanglah, karena Hadits itu bukan dari Rasulullah saw.


DAFTAR BACAAN

Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi (1993). Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Ash-Shiddieqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi (1980). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Pakistan, Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyya (2010). Ketentuan dan Peraturan Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyah. Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Ahmad a.s., Hadhrat Mirza Ghulam (2018). Bahtera Nuh. Jakarta: Neratja Press.
Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashir, M.A. (1998). Empat Puluh Permata Hadits. Tangerang: Darul Barkat.

Post a Comment

0 Comments