MEMAHAMI TAKDIR (1)



Oleh: Mln. Muhammad Ali Daeng Ruppa

Apapun yang terjadi di dunia ini semuanya terjadi karena sudah ditakdirkan. Peristiwa apa saja yang dialami seseorang, baik atau buruk, nikmat atau musibah, bahagia atau susah, untung atau rugi, semua sudah diatur oleh takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah swt. Demikian secara singkat pemikiran dan ungkapan yang biasa dilontarkan orang-orang atas apa yang menimpa dirinya.

Bagaimana dengan orang yang melakukan bunuh diri, apakah ini terjadi karena sudah ditakdirkan? Bagaimana pula dengan orang yang melakukan pencurian dan korupsi atau kejahatan, apakah itu juga merupakan takdir Allah? Demikian juga orang yang usahanya bangkrut atau hidupnya miskin, apakah karena sudah digariskan dalam takdir Allah?

Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul di tengah-tengah masyarakat sehingga penulis merasa perlu berpendapat dalam tulisan singkat ini agar tidak gagal paham terhadap takdir ini, yang akibat keliru dalam memahaminya dapat berpengaruh pada kurangnya motivasi dan daya dorong manusia untuk action (berbuat), juga matinya semangat untuk berkreatifitas dan mencari solusi untuk setiap permasalahan.

Tidak jarang kita menyaksikan orang menjadikan takdir sebagai tempat pelarian menghibur dirinya yang telah berbuat salah. Ada juga orang yang ketika dia melakukan kelalaian, kemalasan, dan keburukan sampai akhirnya ketika mereka mendapat akibat buruk dari kelalaian, kemalasann, dan keburukannya itu, mereka kemudian menjadikan takdir sebagai kambing hitamnya. Akhirnya, kesempatan dan potensi untuk melakukan ishlah bagi dirinya menjadi hilang.

Dalam Islam takdir adalah suatu kebenaran dan merupakan salah satu rukun dari enam Rukun Iman. Mengimaninya secara benar mampu mengantarkan manusia mencapai kesuksesan. Tuhan yang telah menetapkan takdir adalah Tuhan Yang Pemurah, Pengasih dan Penyayang. Kecintaan-Nya kepada Makhluk-Nya jauh lebih besar dari kecintaan seorang ibu kepada anaknya. Maka tidaklah masuk akal jika Tuhan yang semulia itu menakdirkan manusia menjadi penjahat, pemabuk atau pelacur. Dan tidak mungkin Tuhan yang begitu Mulia sengaja membiarkan hamba-Nya hidup miskin dan melarat. 

Tuhan adalah sumber segala kebaikan, maka tidaklah benar jika menganggap bahwa Tuhan lah yang bertanggung jawab atas segala kejahatan dan keburukan yang terjadi di dunia ini.

Allah Ta’ala berfirman di dalam Kitab Suci Al-Qur'an: 

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا

Maka Dia mengilhamkan kepadanya keburukan-keburukannya dan ketakwaannya. (QS. As-Syams: 8)


Menjelaskan ayat ini Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. menulis, ”Tuhan telah menanamkan dalam fitrat manusia perasaan atau pengertian mengenai apa yang baik dan buruk, dan telah mewahyukan kepadanya, bahwa ia dapat memperoleh kesempurnaan rohani dengan menjauhi apa yang buruk dan salah, dan menerima apa yang benar dan baik.

لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَتْ

Baginya ganjaran untuk apa yang diusahakannya, dan ia akan mendapat siksaan untuk apa yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqarah: 286)

فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ

Maka barangsiapa berbuat kebaikan seberat zarah, ia akan melihat hasil-nya, Dan barangsiapa berbuat keburukan seberat zarah, ia akan melihat hasil-nya. (QS. Al-Zalzalah 7-8)

Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra., Khalifatul Masih II, memberikan penjelasan kepada ayat-ayat di atas bahwa “Setiap orang akan diberi ganjaran untuk perbuatan baik, sekalipun perbuatan itu dilakukan sambil lalu saja dan tanpa usaha secara sadar; sedang ia akan dihukum atas perbuatan jahatnya hanya bila perbuatan itu dilakukan dengan sengaja dan dengan usaha yang dilakukan secara sadar. Tiada perbuatan menusia, baik ataupun buruk, akan terbuang percuma. Tiap perbuatan harus dan memang ada akibatnya.”

Berdasarkan ayat Alquran dan penjelasan dari Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra. di atas, jelas bagi kita bahwa apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala adalah potensi yang tertanam secara fitrati dalam diri manusia serta segala implikasinya. Potensi positif akan berimplikasi positif dan potensi negatif akan berimplikasi negatif pula. 

Potensi mana yang lebih dominan berpengaruh pada diri manusia itu tergantung pada manusianya. Kedua potensi tersebut masing-masing bisa tumbuh dan berkembang pada setiap diri manusia tergantung pada bagaimana manusia membawa dan mengatur dirinya. Adapun Allah Ta’ala yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang telah memberikan perangkat hukum syariat kepada manusia agar mereka terbimbing untuk lebih mengaplikasikan secara maksimal potensi positifnya bahkan juga untuk mampu mentransformasi potensi negatif menjadi energi positif yang menghasilkan akhlak terpuji.

Allah Ta’ala berfirman di dalam Kitab Suci Alquran:

وَلَا تَقْرَبَا هَٰذِهِ الشَّجَرَةَ

Yakni janganlah mendekati pohon (kejahatan) ini. (Al-Baqarah: 35)

Melalui ayat ini Allah Ta’ala memberikan pesan yang kuat agar manusia lebih condong kepada kebaikan dan menjauhkan diri dari kejahatan atau unsur-unsur penyebab kejahatan.Sekaligus memberikan isyarat yang kuat dengan memisalkan kejahatan dengan sebuah pohon, bahwa kejahatan itu bisa tumbuh dan berkembang seperti pohon. 

Manusia mesti jeli memperhatikan unsur-unsur yang bisa menjadikannya berkembang dan besar, sehingga mampu juga mengetahui cara dan langkah apa yang bisa diambil untuk menghalangi perkembangannya, atau membiarkannya berkembang menjadi pohon yang bermanfaat.

Post a Comment

1 Comments

  1. Alhamdulillah,benar2 menyejukan hati.hanya saja dalam beberapa kalimatnya kurang sederhana,sehingga akan terasa agak sulit untuk dipahami oleh masyarakat awam

    ReplyDelete