Menelusuri Tarikh & Mengambil Hikmah RUKUN ISLAM



Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori
Muballigh Jmt. Kebumen (Jateng 2)

Menurut Hadits Shahih Bukhari:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar, katanya:
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Dasar (pokok-pokok) Islam itu ada lima perkara:
(1) Mengaku tidak ada Tuhan selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad itu Rasul Allah.
(2) Menegakkan shalat.
(3) Membayar zakat.
(4) Menunaikan ibadah haji, dan
(5) Puasa bulan Ramadlan." 

Sedangkan, versi Hadits Shahih Muslim adalah sebagai berikut:
Hadistnya cukup panjang tetapi khusus bagian Rukum Islam ialah sebagai berikut:
(Dari ‘Umar bin Khattab r.a., katanya:) 
Rasulullah s.a.w. menjawab, 'Islam itu ialah: 
(1) engkau mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasulullah (Utusan Allah),
(2) engkau kerjakan shalat,
(3) engkau bayar zakat,
(4) engkau puasa di bulan Ramadan dan
(5) engkau sengaja mengunjungi Ka’bah (naik haji) kalau engkau sanggup datang ke situ.”

Susunan Rukun Islam Tidak Bersifat “Baku”
Dari kedua hadits tersebut kita mendapatkan informasi bahwa susunan Rukun Islam tidak bersifat “baku”. Hal ini dapat dilihat dari HR Bukhari yang meletakkan “Menunaikan ibadah haji” sebagai Rukun ke-4 dan “Puasa bulan Ramadlan" sebagai Rukun ke-5. Sedangkan, HR Muslim yang meletakkan “puasa di bulan Ramadan” sebagai Rukun ke-4 dan“mengunjungi Ka’bah (naik haji)" sebagai Rukun ke-5.

Menegakkan Rukun Islam
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1996: 59) menjelaskan pandangan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. tentang kesungguhan mengamalkan Rukun Islam:

Beliau (a.s.) menganjurkan agar supaya orang-orang mu'min menjalankan agama dengan sebenar-benarnya: melakukan ibadah shalat, puasa, naik haji ke Tanah Suci Mekkah dan membayar zakat; yang kesemuanya harus dijalankan sesuai dengan apa yang digariskan oleh Al-Qur’an.

Al-Qur’an Karim tidak menghendaki shalat yang berupa demonstrasi gerakan-gerakan jasmani belaka, tidak menghendaki puasa yang hanya untuk menderita lapar semata, meninggalkan kampung halaman tanpa ada faedahnya dan membayar zakat sebagai suatu penghamburan harta belaka.

KALIMAT SYAHADAT
Ungkapan masyarakat kita (Muslimin Indonesia): “Kalimat Syahadat”, menurut Kamus Bahasa Arab diucapkan dengan “Kalimatusy-Syahaadah” atau bisa ditulis dengan “Kalimah Asy-Syahaadah”.
“Kalimah” dalam bahasa Arab, artinya “kata” dalam bahasa Indonesia (Al-Munawwir: 1227).
Sedangkan kata “syahaadah” artinya:
-  al-bayyinah = bukti.
-  al-yamiinu = sumpah.
-  al-istisy-haadu = (hal) gugur di jalan Allah (sebagai syahid).
-  al-iqroor = kesaksian, pengakuan (Al-Munawwir: 747).

“Kalimatusy-Syahaadah” = “Kalimatut-Tauhiid” yaitu “Laa ilaaha illaalooh” (Al-Munawwir: 1227).

Hikmah Kalimat Syahadat itu Khusus dalam Islam
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1996: 9) menjelaskan bahwa pada hakekatnya kecuali pada Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w. tak ada seorang nabi pun yang memiliki Kalimah. Di antara keistimewaan-keistimewaan dari Nabi Muhammad Rasulullah s.a.w. terdapat sebuah keistimewaan pula bahwa di antara para nabi hanya beliau (s.a.w.)-lah yang menerima Kalimah. 

Sebabnya ialah di dalam Kalimah itu telah dipadukan menjadi satu: Pernyataan Kerasulan dan Pernyataan Tauhid, sedangkan Pernyataan Tauhid itu merupakan satu kebenaran yang abadi, ia tak dapat hapus, oleh karena masa kenabian dan para nabi yang terdahulu pada satu saat harus berakhir, sebab itu Allah Taala tidak mempersatukan nama-Nya dengan nama dan salah seorang nabi.

Namun, karena Kenabian dari Baginda Nabi Muhammad s.a.w. akan berlanjut terus hingga Hari Kiamat dan masa beliau (s.a.w.) tidak akan kunjung akhir, oleh sebab itu Allah Taala mempersatukan Kerasulan dan nama beliau (s.a.w.) bersama Kalimah Tauhid untuk menyebutkan kepada dunia bahwa seperti halnya Laa ilaaha illallooh tidak akan hapus begitu juga Muhammadur Rosuulullooh tidak akan hapus.

“Iman kepada Allah dan Rasul-Nya” Menjadi Dasar Segala Amal
Menanggapi Hadits (Bukhari dan Muslim) di atas, Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. (1998: 6-7) mengatakan bahwa dalam Hadits ini “iman kepada Allah dan Rasul-Nya” disebutkan supaya menjadi dasar dari segala amal; maka jelaslah bahwa dalam pengertian Islam, sebagai nomor pertama disebutkan untuk beriman kepada Tauhid Ilahi dan Risalah Nabi Muhammad s.a.w. supaya tiap-tiap amal seorang Muslim dapat didasarkan atas keyakinan yang suci ini bahwasanya Allah s.w.t. itu Tunggal dan Rasulullah s.a.w. adalah Nabi-Nya yang membawa syari’at penghabisan.

Tarikh (Sejarah) Syahadat: Awal Kenabian (13 SH)
Menurut Ibnu Ishaq (2012: 150-155), orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat kategori awwalin adalah: Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abu Bakar bin Abu Quhafah.

Seperti kata Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1996: 30) bahwa tatkala Rasulullah s.a.w. mengumumkan kenabian beliau (s.a.w.) di kota Mekkah maka pada hari pertama hanyalah 4 orang saja yang beriman kepada beliau (s.a.w.) dan berikut beliau (s.a.w.) jumlahnya 5 orang.
Kisah Muslimin awal ini dapat juga dibaca pada:

1. “Sejarah Hidup Muhammad” karya Muhammad Husain Haekal (2015: 90-92). Jakarta: Tintamas.
2. “Riwayat Hidup Rasulullah saw” karya Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1992: 15). Bogor: Yayasan Wisma Damai.


SHALAT
Arti Kata “Shalat”
Menurut Hudhari Bik (1980: 82), kata “shalat” ini bukan berasal dari Islam, karena kata-kata tersebut telah digunakan oleh bangsa Arab sebelum Islam datang dengan arti do’a dan minta ampun.
Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. (1998: 7) menjelaskan lebih lengkap lagi bahwa shalat menurut bahasa Arab berarti: do’a, tasbih, tahmid, yang dalam sehari semalam atau dalam 24 jam shalat diwajibkan 5 kali yang wajib dikerjakan setelah thoharoh atau bersuci dan berwudhu dengan cara yang telah ditetapkan.

Baca juga Subulus Salam Jilid 1 karya Sayyidul Imam Muhammad bin Isma’il Al-Kahlaniy yang terkenal dengan nama Ash-Shon’aniy.

Tarikh Shalat: Awal Kenabian (13 SH)
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (2001: 21) menjelaskan bahwa Mi’raj terjadi 2 kali. Yang pertama terjadi pada waktu menerima nubuwat (kenabian) dan tidak lama sesudah itulah shalat 5 waktu difardhukan. Sedangkan Mi’raj yang ke-2, itulah yang disebutkan dalam Surah An-Najm.

Selanjutnya beliau r.a. memperjelas, “… shalat difardhukan sejak dari permulaan Islam. Tidak ada 1 tahun pun setelah nubuwat (kenabian) di mana shalat tidak difardhukan”.

Pernyataan di atas sejalan dengan informasi yang berikan Sejarwan Senior Ibnu Ishaq (lahir: 85) dalam “Sirah”-nya: Shalih bin Kaisan berkata kepadaku dari Urwah bin Zubair dari Aisyah r.a. yang berkata, “Kali pertama shalat diwajibkan kepada Rasulullah s.a.w. adalah 2 rakaat setiap kali shalat, kemudian Allah menyempurnakannya dengan menjadikan shalat itu 4 rakaat bagi orang muqim dan dan menetapkannya 2 rakaat seperti sejak awalnya bagi seorang musafir”.

Baca juga “Fikih Sunnah Jilid 1” karya Sayyid Sabiq. Bandung: Alma’arif. Hlm. 205.

Selanjutnya Ibnu Ishaq (2012: 153-154) berkata: “Setelah Rasulullah s.a.w. kembali menemui Khadijah lalu berwudhu’ untuk mengajarkan kepadanya cara bersuci untuk shalat sebagaimana diajarkan Malaikat Jibril kepadanya. Khadijah pun berwudhu’ sebagaimana Rasulullah s.a.w. berwudhu’. Selanjutnya Rasulullah s.a.w. shalat seperti Malaikat Jibril shalat mengimami beliau, dan Khadijah shalat seperti shalat Rasulullah s.a.w.”.

Selanjutnya Ibnu Ishaq (2012: 155) berkata: “Setelah Ali bin Abu Thalib masuk Islam, kemudian Zaid bin Haritsah bin Syurahbil bin Ka’ab bin Abdul Uzza bin Umru Al-Qais Al-Kalbi, mantan budak Rasulullahs.a.w. menyusulnya menganut agama Islam. Dialah kalangan laki-laki yang pertama kali masuk Islam dan ikut shalat sesudah Ali bin Abu Thalib”.

Hikmah Shalat
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1996: 59-60) menjelaskan tentang Shalat bahwa dikatakan oleh AI-Quran (Al-Ankabut/29: 46):

"Shalat itu menghalangi manusia daripada berbuat kejahatan dan perbuatan yang terlarang".
Jadi, shalat yang tidak menghasilkan buah seperti diterangkan oleh AI-Quran itu bukanlah shalat namanya."

Hadhdrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menjelaskan ingatlah juga bahwa Al-Quran menegur mereka yang menegakkan shalat tetapi tidak memahami makna daripadanya dan tetap saja bersikap kejam kepada sesama manusia (Malfuzat, vol. 9, h.108 – 110).

ZAKAT
Arti Zakat
Hudhari Bik (1980: 115) menjelaskan bahwa pengertian Zakat menurut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah dan pujian.

Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menjelaskan bahwa arti kata Zakat merupakan derivasi dari kata tazkia (yang artinya mensucikan). Sucikanlah harta kalian dan bayarkan Zakat dari sana. Ia yang memberikan dari harta yang disucikan sesungguhnya menegakkan kebenaran. Adapun ia yang tidak membedakan antara Halal dan Haram, sesungguhnya ia jauh dari makrifat.
(Malfuzat, vol. 9, h. 108 – 110)

Hikmah Zakat
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1996: 60) menjelaskan tentang zakat Allah s.w.t.berfirman (QS 9/At-Taubah: 103):

"Ambillah zakat dari harta benda mereka supaya dengan ini membersihkan dan mensucilkan mereka."

Maksudnya ialah ditetapkannya zakat itu gunanya untuk menciptakan kesucian pada tiap individu dan masyarakat, serta untuk membersihkan rasa dan cita.

PUASA
Hudhari Bik [1980: 95] menjelaskan bahwa arti puasa menurut bahasa Arab adalah mengekang dan meninggalkan sesuatu. Dari inilah timbulnya pengertian yang dikenal yaitu mengekang dua syahwat (yaitu makan-minum dan hubungan khusus pria dan wanita). 

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad r.a. (1998: 10) juga menjelaskan bahwa perkataan “shoum” dalam bahasa Arab berarti menahan diri.

Keterangan senada dapat dibaca pada Fikih Sunnah Jilid 3 karya Sayyid Sabiq (1994: 161) dan Pedoman Puasa karya Prof. DR. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1990: 53).

Tarikh Puasa: 2 H.
Hudhari Bik (1980: 99) menjelaskan bahwa Rasulullah (s.a.w.) telah menentukan jumlah hari-hari puasa sunat di luar bulan Ramadhan dan difardhukannya puasa itu pada tahun ke-2 dari hijrah.
Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. [Darsus No. 44/1992] menjelaskan bahwa sejauh yang saya selidiki terbukti bahwa Ramadhan pertama kali dilaksanakan pada tahun ke-2 Hijrah. Dan bukti ini tidak ada sanggahan tertulis dari kitab manapun. 

Dan, pada bulan Ramadhan tersebut sedang terjadi Perang Badar, yang beberapa hari kemudian tiba hari ‘Id dan orang-orang Islam telah merayakan ‘Id pertama setelah perang selesai selagi luka-luka akibat perang belum pulih sepenuhnya.

Hikmah Puasa
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1996: 60) menjelaskan bahwa berkenaan dengan Puasa, AI-Qur-an Suci (QS 2/Al-Baqarah: 184) telah mengatakan "La'allakum tattaquun" yakni ibadah puasa itu ditetapkan untuk supaya di dalam jiwa manusia tertancap ketakwaan dan budi pekerti yang luhur. 

Jadi, apabila orang mengerjakan puasa, tapi buah dari pada ibadah itu tidak tercapai maka hal itu maknanya niatnya tidak lurus, dan tidaklah ia mengerjakan puasa, melainkan penganiayaan pada diri sendiri dengan mengosongkan perut. Tuhan tidak membutuhkan dari manusia pengosongan perut.
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan laku puasa bukan hanya asal lapar dan haus saja. Puasa memiliki realitas dan efek yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman.

Sudah menjadi fitrat manusia bahwa tambah sedikit yang dimakannya maka tambah tinggi derajat pensucian ruhani yang bisa dicapainya serta bertambah kapasitasnya untuk mendapatkan kasyaf (Malfuzat, vol. 9, h.108 – 110).

HAJI
Kita biasa mengungkapkan kata “haji”. Menurut kamus bahasa Arab (Al-Munawwir: 237), kata tersebut berasal dari kata “hajja – hajjan”, artinya:

-  Ahtajjal-baital-haroom = naik haji, berziarah ke Baitullah.
-  Al-amaakinal-muqoddasah = berziarah, mengunjungi.
-  Hajja-hu = qoshodah = pergi, bermaksud, menyengaja.

Tarikh Hajji: 6 H
Menurut Hudhari Bik (1980: 112) Difardhukannya hajji itu pada tahun ke-6 hijrah, dan pada tahun itu belau (s.a.w.) telah keluar untuk ‘umrah namun terhalang dari Baitullah dan ‘umrah itu diqadha pada tahun ke-7. Pada tahun ke-10 Nabi (s.a.w.) hajji bersama sebagian besar kaum Muslim yakni hajji wada’, dan dalam hajji itu beliau (s.a.w.) menjelaskan cara hajji.

Hikmah Hajji
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1996: 60). menjelas bahwa mengenai naik haji ke tanah suci Mekkah, Allah s.w.t. befirman (QS 2/Al-Baqarah: 198) bahwa ibadah ini merupakan suatu media (perantara)untuk menumpas pikiran-pikiran degil dan menjauhkan perselisihan-perselisihan. 
Jadi maksud daripada ibadah haji itu ialah untuk menghentikan kebiasaan dari mengeluarkan ucapan-ucapan kotor, perbuatan keji dan perselisihan.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud (1996). Apakah Ahmadiyah itu? Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud (2001). (Tafsir Kabir Surah Bani Israil karya Tangerang: Darul Barkat.
Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud (1992). Riwayat Hidup Rasulullah saw. Bogor: Yayasan Wisma Damai.
Ahmad a.s., Hadhrat Mirza Ghulam. Malfuzat, vol. 9.
Bik, Hudhari (1980). Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami [Sejarah Pembinaan Hukum Islam]. Indonesia: Darul Ikhya.
Ahmad r.h., Hadhrat Mirza Tahir (1992). Khutbah ‘Idul Fithri di Islamabad, Inggris: 5 April 1992. Darsus No. 44/1992. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Ahmad r.a., Hadhrat Mirza Bashir (Risalah Darul Barkat” No. 2/12/1998). Empat Puluh Permata Hadis. Tangerang: Darul Barkat.
Ash Shiddieqy, Prof. DR. T.M. Hasbi (1990). Pedoman Puasa. Jakarta: Bulan Bintang.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah Jilid 1. Bandung: Al Ma’arif.
Sabiq, Sayyid (1994). Fikih Sunnah Jilid 3. Bandung: Al Ma’arif.
Ishaq, Ibnu (2012). Sirah Nabawiyah Sejarang Lengkap Kehidupan Rasulullah s.a.w.. Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana.
Ash-Shon’aniy, Sayyidul Imam Muhammad bin Isma’il Al-Kahlaniy. Terjemahan Subulus Salam 1. Surabaya: Al Ikhlas.
Haekal, Muhammad Husain (2015). Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Tintamas.
Munawwir, Ahmad Warson [1997]. Al Mnawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.
Muslim, Imam (bin Al Hajjaj Al Qusyairi An Naisaburi) [1981]. Terjemah Hadits Shahih Muslim I. Penerjemah: Fachruddin HS. Jakarta: Bulan Bintang.
Bukhari, Imam (Abu ‘Abdullah Muhammad bin Isma’il) [1996]. Terjemah Hadits Shahih Bukhari 1. Penerjemah: H. Zainuddin Hamidy dkk. Jakarta: Widjaya.

Post a Comment

0 Comments