MEMATIKAN DAN MENGHIDUPKAN




Oleh: Mln. Ata Ur Rahman/ Mubalig Majalengka & Sadasari

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ يَٰقَوۡمِ إِنَّكُمۡ ظَلَمۡتُمۡ أَنفُسَكُم بِٱتِّخَاذِكُمُ ٱلۡعِجۡلَ فَتُوبُوٓاْ إِلَىٰ بَارِئِكُمۡ فَٱقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ عِندَ بَارِئِكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ

Dan ingatlah Musa berkata kepada kaumnya: Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu dengan menjadikan anak lembu sebagai sembahan; karena itu kembalilah kepada Penciptamu, kemudian bunuhlah hawa nafsumu; yang demikian itu amat baik bagimu pada sisi Penciptamu. Lalu Dia menerima tobatmu. Sesungguhnya Dia Maha penerima tobat, Maha Penyayang. (QS. 2: 54)[1]

Mati sebelum mati..Bisakah kita mengamalkan kata-kata mutiara ini. Dalam QS. 2: 54 di atas Nabi Musa memerintahkan kaumnya untuk membunuh hawa nafsu mereka. Kaum Bani Israil telah menjadikan seekor lembu sebagai sembahan mereka ketika Nabi Musa meninggalkan mereka selama 40 malam untuk bermunajat kepada Allah Taala di Gunung Tursina. Sementara Nabinya berdoa, umatnya malah berdosa karena berbuat musyrik. Dalam konteks inilah Nabi Musa memerintahkan umatnya untuk membunuh hawa nafsunya.

Nabi Musa tidak hanya menyuruh umatnya bertaubat atas kesalahannya yang fatal tetapi juga menyuruh mereka untuk membunuh hawa nafsu mereka yang buruk. 

Menyembah Hawa Nafsu
Untuk memperjelas hal ini Allah Taala berfirman dalam QS. Al-Jatsiyah, 45 :23:

أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُون

Apakah pernah engkau merenungkan  orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah menyesatkan menurut ilmu-Nya. [2]

Akar utama pelanggaran terhadap perintah Tuhan adalah karena manusia telah menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhannya dan tidak mempercayai eksistensi Tuhan. Jika kita sudah menjadikan hanya Tuhan sebagai sembahan sejati kita maka tidak mungkin akan terjadi berbagai pelanggaran terhadap perintah Tuhan. Tidak mungkin menjadikan sembahan lain sebagai Tuhan atau melakukan dosa lainnya karena kita yakin bahwa Tuhan senantiasa mengawasi perbuatan kita.

Keyakinan Hampa Penyebab Banyak Dosa
Hazrat Masih Mau'ud as bersabda: “Berbahagialah kamu sekalian sekiranya kamu dianugerahi harta keyakinan, sebab setelah itu petualangan dosamu akan berakhir. Dosa dan keyakinan kedua-duanya tidak dapat berkumpul. Dapatkah kamu memasukan tangan ke dalam lobang yang kamu tahu di dalamnya ada seekor ular berbisa?

Dapatkah kamu tetap berdiri pada suatu tempat sedang batu-batu berjatuhan bagaikan hujan muntah dari gunung berapi atau petir hallintar atau singa buas menyerang atau wabah pes yang berdaya musnah meniadakan umat manusia?

Kemudian seandainya kamu sekalian yakin akan Tuhan seperti halnya kamu yakin kepada adanya ular atau halilintar atau singa atau wabah pes, maka tidaklah mungkin kamu akan berbuat kebalikannya yaitu tidak mentaati dan menempuh jalan yang akan menjuruskan kamu kepada akibat dapat hukuman atau kamu mau memutuskan tali keikhlasan dan kesetiaanmu terhadap-Nya?”[3]

Hazrat Masih Mau'ud as menyampaikan petunjuk kepada kita bahwa akar pelanggaran terhadap Tuhan atau timbulnya dosa adalah karena ketidakyakinan terhadap eksistensi Tuhan. Jika seseorang sudah sampai pada taraf keyakinan yang sepenuhnya kepada Tuhan maka tidak mungkin baginya melakukan pelanggaran terhadap perintah Tuhan atau berbuat dosa.  Jadi, ketika kaum Nabi Musa menyembah anak lembu menunjukkan kehampaan iman mereka. Atau ketika kita sebagai hambanya masih berbuat dosa menunjukan kelemahan atau hampanya iman kita. 

Menghidupkan Rohani
Coba kita telaah firman Allah Taala dalam QS. Al-Anfal: 24:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ

Hai orang-orang yang beriman sambutlah seruan Allah dan Rasul-Nya apabila ia menyeru kamu supaya ia menghidupkan kamu...[4]

Mentaati seruan Allah dan Rasulnya akan menghidupkan rohani kita yang sudah mati demikian sebaliknya membangkang terhadap perintah-Nya akan mematikan rohani kita. Kaum Nabi Musa karena tidak taat kepada Tuhan dan Rasulnya secara rohani sudah mati. Kata-kata beliau as “bunuhlah hawa nafsumu” mengindikasikan mematikan hawa nafsu akan menghidupkan rohani kaumnya. 

Jadi, kepada Nabi Musa as., Tuhan memerintahkan kaumnya untuk mematikan hawa nafsu mereka akibat pembangkangan perintah Tuhan. Sementara kepada junjungan kita yang mulia Rasulullah saw Tuhan menyampaikan resep untuk menghidupkan rohani kita yaitu ketaatan mutlak terhadap perintahNya.

Pesannya adalah: matikan hawa nafsu penentangan terhadap perintah Tuhan  dan gelorakan ketaatan terhadap perintahNya untuk kehidupan  rohani kita. Mematikan nafsu menghidupkan rohani.

Dzikrullah Parameter Kehidupan
Dalam HR. Bukhari no. 6407 dan Muslim no. 779 Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang yang mengingat Tuhannya dan orang yang tidak mengingat Tuhannya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati”

Hadits ini mengindikasikan kehidupan rohani. ‘Hidupnya’ seseorang terkait  erat dengan asyiknya koneksi ia dengan Tuhannya. ‘Matinya’ seseorang terkait dengan hampanya hubungan ia dengan Tuhannya. Seseorang dianggap sudah mati ketika ia tidak lagi memiliki  hubungan vertikal dengan Tuhannya. Ia dianggap hidup ketika memiliki hubungan yang akrab dan hangat dengan-Nya.

Penjara dan Surga
Dalam HR. Muslim no. 2392 Rasulullah saw. bersabda: “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir”. Dunia ini ibarat jeruji besi bagi kaum mumin karena kita hidup di dunia ini harus sesuai dengan batasan syariat. Sementara bagi orang kafir batasan itu nihil. Karena itu untuk menghadapi dunia yang ‘mempesona’, ‘ penuh daya tarik’, ‘menghanyutkan’ kita harus ‘mematikan’ nafsu kita agar terselamatkan dari ‘rayuan’ dunia.

Matilah Sebelum Kamu Mati
Dalam khutbah Huzur tgl. 24. April 2020 lalu Huzur menyampaikan sabda Hazrat Masih Mauud as.: “Ketika sudah seutuhnya tidak tersisa tahapan ketakwaan, maka selanjutnya manusia memasuki golongan waliyullah. Pada hakikatnya, derajat sempurna ketakwaan ialah semacam maut karena ketika manusia menentang segenap sisi jiwa maka itu akan membuat jiwa seperti berhenti ada. Karena itulah dikatakan, مُوتُوا قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا ‘Muutuu qabla an tamuutuu.’ – ‘Matilah sebelum kamu mati.’

Hazrat Masih Mau'ud as  bersabda, “Jemaat kita hendaknya menciptakan maut pada jiwa dan untuk meraih ketakwaan maka hal pertama berlatihlah sebagaimana seorang anak yang tengah belajar menulis. Mula-mula tulisannya miring-miring namun pada akhirnya setelah terus berlatih anak tersebut tulisannya mulai jelas dan lurus. Begitu pula mereka pun perlu berlatih. Ketika Allah Ta’ala melihat kegigihannya, Allah Taala sendiri akan mengasihinya.”

Selanjutnya beliau bersabda kepada Jemaat mengenai islah bagi internal Jemaat: “Saya perhatikan, kadang terjadi perselisihan di kalangan intern, berseteru satu sama lain, terjadi kerenggangan. Bahkan perselisihan sepele pun kadang menyebabkan saling menyerang kehormatan satu sama lain dan menyerang saudaranya. Perbuatan seperti ini sangat tidak tidak sesuai, seharusnya tidak terjadi. Bahkan wajar-wajar saja jika salah seorang diantara mereka mengakui kesalahannya.”

“Dalam keadaan demikian kita harus terhindar dari gejolak nafsu bahkan demi untuk menghilangkan kerusakan, kita secara sengaja harus memilih kehinaan bagi diri sendiri. Jangan sekali-kali berusaha untuk merendahkan satu sama lain dalam perselisihan tersebut.”[5]

Huzur masih melihat banyaknya permasalahan dalam internal jemaat seperti perselisihan, percekcokan, sehingga menyerang kehormatan satu sama lain padahal boleh jadi hanya karena permasalahan sepele. Nasihat Huzur kepada kita agar kita mematikan gejolak nafsu seperti itu agar tercipta kehidupan surgawi di dalam Jemaat.

Orang yang ‘sudah mati’ tidak berfokus pada dunia dan gemerlapnya karena dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jadi jika kita masih memiliki hasrat terhadap dunia ini dan kemewahannya kita belum menjadi ‘orang yang mati’. Orang yang ‘sudah mati’ fokusnya pada apa yang akan ia bawa untuk mempertanggungjawabkan amalannya di hadapan Tuhan.

Orang yang ‘sudah mati’ hasrat kehidupannya mengalami kematian, hidup tenang tanpa beban, tidak ambisi, egois, iri dengki. Justru karakter seperti inilah yang mematikan hidupnya. Semenjak jiwa  ‘merasa mati’ ia segera mendapatkan hidup hakiki, kedamaian, aman sentosa, kehidupan surga.

Nikmat Duniawi dan Nikmat Rohani
Selanjutnya Hudhur menyampaikan sabda Hadhrat Masih Mauud bahwa kelezatan rohani itu didapat sesudah kita mematikan kelezatan duniawi. “Jiwa menyukai kelezatan lahiriah. Ia sama sekali tidak mengetahui kelezatan yang tersembunyi. Kelezatan Allah Ta’ala dan kelezatan ruhani tersembunyi, manusia tidak mengenalnya.

Manusia hanya mengenal gemerlap duniawi dan itu jugalah yang digandrungi oleh jiwa. Untuk membuat jiwa mengenalnya adalah penting bagi seseorang supaya pertama tercipta maut terhadap kelezatan lahiriah dan gemerlap duniawi. Selanjutnya, ia akan mengenali kelezatan yang tersembunyi. Saat itu akan mulai timbul kelezatan Ilahi yang merupakan contoh kehidupan surgawi. Ketika seseorang mulai mempelajari kelezatan-kelezatan tersembunyi maka manifestasi kehidupan surgawi akan bermula”.[6]

Puasa Melatih ‘Mati’
Inilah falsafah puasa. Kita dilatih oleh Allah Taala untuk mematikan kelezatan duniawi dengan menahan lapar dan dahaga  dengan tujuan agar kita selaku hambanya mencicipi kelezatan rohaniah.  Sabda Masih Mauud as: Puasa bukanlah sekedar (suatu ibadah) dimana manusia menahan lapar dan dahaga. Melainkan dia memiliki suatu hakikat  serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman.

Di dalam fitrat manusia terdapat (ketentuan) bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian itu pula akan terjadi tazkiya-e-nafs (pensucian jiwa) dan potensi kasyfiah punbertambah.  Maksud Allah Taala dari hal itu (puasa) adalah: kurangi satu makanan (jasmani) dan tingkatkanlah (makanan) lainnya (makanan rohani)”. [7]

Tuhan ingin memberikan kenikmatan ‘yang lain’ kepada hambaNya tetapi syaratnya kita harus meninggalkan kenikmatan yang zahir yang kita rasakan di dunia ini. Puasa ini adalah jalan meraih kenikmatan tersebut. Kata Tuhan: coba lepaskan ketergantungan kalian terhadap materi yang mana sepanjang tahun kalian tenggelam dalam kenikmatan duniawi yang sementara ini, Aku ingin menawarkan  kenikmatan ‘lain’ yang mana jika kalian mendapatkannya kenikmatannya akan berlangsung abadi.

Mujahadah
Huzur bersabda: Dalam hal ini beliau memberikan nasihat umum kepada Jemaat, beliau (as) bersabda, “Hal ini telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada kalimat وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا  ‘Walladziina jaahaduu fiina lanahdiyannahum subulana.’ – ‘Dan orang-orang yang berjuang untuk Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami.’ Maksud mujahadah adalah latihan.

Jika manusia berupaya lalu berdoa kepada Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala akan mengasihinya dan memberikan buah padanya. Yang dimaksud mujahadah di sini adalah latihan, sebagaimana seorang anak terus berlatih, disatu sisi insan berdoa dan disertai dengan upaya yang kamil, maka pada akhirnya karunia Tuhan akan datang padanya. Gejolak hawa nafsu menjadi tenggelam dan dingin kemudian keadaannya layaknya api yang disiram air. Banyak sekali manusia yang terdampar dalam nafsu ammarah”. [8]

Untuk sampai pada maqom mati sebelum mati ini kita harus terus berlatih, bekerja keras, dan terus berdoa. Ketika kita gigih berusaha pada jalan Allah Taala, Allah Taala pun pasti akan menyongsong kita untuk mencapai kedudukan tersebut.  , مُوتُوا قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا ‘Muutuu qabla an tamuutuu.’ – ‘Matilah sebelum kamu mati.’ Kunci untuk mendapatkan kelezatan surgawi. 

Mematikan dan Menghidupkan
Dalam  ketaatan terhadap perintah Tuhan, manusia seantiasa bertolak belakang dengan nafsunya. Oleh karena itu firman Tuhan: bunuhlah hawa nafsu kalian!. Tuhan ke kanan nafsu ke kiri, Tuhan ke atas, nafsu ke bawah. Jika gejolak nafsu kalian mengalahkan kepatuhan terhadap Tuhan, rohani kalian akan mati. Tetapi jika kalian mendahulukan Allah Taala dan Rasulnya rohani kalian akan hidup. Matikan nafsu untuk menghidupkan rohani. Matikan nafsu untuk meraih kehidupan yang hakiki. Mudah-mudahan kita senantiasa ada dalam kepatuhan sepenuhnya kepada Tuhan dan Rasul-Nya dan Hadhrat Khalifah saat ini sehingga kita menjadi orang-orang yang ‘hidup’. Aamiin.


[1] Alquran dengan terjemahan dan tafsir singkat, YWD, Vol. I, 2007
[2] Alquran dengan terjemahan dan tafsir singkat, YWD, Vol. III, 2002
[3] Bahtera Nuh, Neratja Press, cet. 5, 2018, h.117-118
[4] Alquran dengan terjemahan dan tafsir singkat, YWD, Vol.I, 2007
[5] Khutbah Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis 24 April 2020
[6] Khutbah Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis 24 April 2020
[7] Malfuzhat, Jl. I, h. 282
[8] Khutbah Hadhrat Khalifatul Masih Al-Khamis 24 April 2020

Post a Comment

0 Comments