ESENSI PUASA RAMADHAN



Oleh: Mln. Tarmidzi Ali

Puasa Ramadhan tahun 2020 telah memicu ketakutan global di seluruh dunia dengan munculnya wabah covid-19. Pandemi ini telah ‘memaksa’ kita untuk melakukan isolasi mandiri di tempat masing-masing demi mencegah penyebaran virus dan membeludaknya pasien di rumah sakit.

Pada artikel ini, saya hendak memberikan sedikit penjelasan soal esensi puasa di bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, pengampunan dan membebaskan diri dari siksa neraka. Bagaimana seharusnya seseorang dapat mencapai tujuan dari puasa ini sebagaimana yang diharapkan pada surah Al-Baqarah ayat 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bebas dari segala jenis keburukan.

Puasa bukan saja kegiatan menghindarkan diri dari makan minum dan physical distancing dengan istri sejak fajar mulai menyingsing di ufuk Timur, menjelang subuh sampai terbenamnya matahari di ufuk Barat, bahkan  lebih daripada itu, untuk semetara waktu kita coba meninggalkan pengertian makna jasmaniah menuju ke pemahaman batiniah, dengan memahami kembali sabda Hadhrat Masih Mau’ud as. terkait dengan tujuan puasa:

“Kebanyakan orang tidak mengetahui akan hakikat puasa sedikitpun. Pada dasarnya orang yang tidak pernah pergi ke suatu negeri dan tidak kenal akan alam negeri itu, bagaimana mungkin dia dapat menjelaskan keadaan negeri tersebut? Puasa bukanlah sekedar suatu ibadah di mana manusia menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan, dia memiliki suatu hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman.”

“Di dalam fitrah manusia terdapat ketentuan bahwa semakin sedikit dia makan, maka sedemikian itu pula akan terjadi tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa). Dan potensi/kekuatan kasyfiyah pun bertambah. Maksud Allah Ta’ala dalam hal itu adalah; kurangilah satu makanan jasmaniah dan tingkatkanlah makanan rohaniah. Orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa hal itu bukanlah berarti supaya menahan lapar saja, melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berdzikir kepada Allah swt., sehingga ia memperoleh tabattul dan inqithaa, seperti yang disebutkan di QS Al-Muzammil ayat 8.”

Mengikat jalinan yang erat dengan Allah swt. dengan cara bangun di malam hari untuk shalat tahajjud. Inilah jalan yang sudah disinyalir di banyak surah di dalam Al-Qur’an tentang apa itu takwa yang harus dilaksanakan oleh mereka yang beriman. Bahwa dengan berpuasa di siang hari dan melakukan ibadah tarawih dan tahajud di malam hari akan membawa seseorang semakin mendekat untuk meraih qurub dan Nur Ilahi. 

Tentu, semua yang dapat membatalkan puasanya harus dijauhi; seperti menipu, tindakan merugikan orang lain, mencuri, bertengkar, memandang kepada yang bukan muhrim, menyebarkan hoax, fitnah, pendeknya meninggalkan semua yang dilarang hukum syariat.

Tanpa Nur Ilahi yang akan menyinari hati sanubari, maka akan selalu ada kecendrungan manusia kepada hubbu al-dunia yang gemerlapan dan bahkan menggelapkan juga. Maksud hati sanubari di sini bukan lagi dalam bentuk pengertian fisik yang terdapat di sebelah kiri rongga dada, namun hati dalam pengertian ruhani, yang bersih seperti cermin kemudian ia memiliki kemampuan untuk menyerap cahaya Ilahi yang akan menyinari ruang batinnya.

Saya coba kutip lagi sabda Hadhrat Masih Mau’ud as.:

“Puasa adalah upaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kehidupan bagi ruh. Dan, orang yang berpuasa semata-mata demi Allah Ta’ala, bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah Ta’ala yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Malfuzhat, Jld. IX, hal. 123, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Seakan-akan tubuhnya dibikin menderita dan sengsara akibat tidak ada asupan makanan dan minuman yang masuk ke dalam mulut. Ia yang menderita atau menangguhkan makan minum sesaat demi Tuhannya, tentu akan mudah juga ia untuk memahami kehidupan di dunia ini yang sesaat, ia akan meninggalkan dan menangguhkan kesenangan hidup dunia demi meraih keselamatan hidup di akhirat.

Beliau a.s. bersabda, “Puasa dan shalat, kedua-duanya merupakan ibadah. Penekanan puasa pada tubuh, sedangkan penekanan shalat adalah pada ruh. Shalat menimbulkan suatu keperihan dan keharuan. Oleh sebab itu ia lebih utama. Puasa menimbulkan kasyaf-kasyaf. Namun, kondisi demikian, juga kadang-kadang dapat dialami oleh para Yogi. Namun, keperihan/keharuan rohani yang timbul melalui doa-doa, tidak dialami oleh pihak lainnya.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 379, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).

Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan hendak memperbaiki diri, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari)
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang shalat malam hari; tarawih dan tahajjud di bulan Ramadhan dengan iman dan hendak memperbaiki diri, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari)

Covid-19 dan Ramadhan bukan hal yang sama, namun keduanya sama-sama telah mebawa perubahan. Covid telah membawa perubahan-perubahan yang signifikan bagi kehidupan manusia modern, dan tentu kita juga berharap Ramadhan membawa perubahan bagi perbaikan akhlak dan spiritual manusia modern yang semakin menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.

Post a Comment

0 Comments