ASH-SHIDDIQ: Antara Perkataan dan Perbuatan Hadhrat Abu Bakar r.a.




Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori
(Muballigh Kebumen/Jateng 2)

Allah s.w.t. berfirman:


“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama 
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: An-Nabiyyiin (Nabi-nabi), Ash-Shiddiiqiin (para Shiddiiq), Asy-Syuhadaa’ (orang-orang yang mati syahid) dan Ash-Shoolihiin (orang-orang saleh). Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” 
(QS 4/An-Nisa’: 69).
Dalam catatan Tafsirnya [No. 314] Depag RI menjelaskan bahwa Ash-Shiddiiqiin ialah orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran Rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al-Faatihah ayat 7.

Sedangkan, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. dalam khutbahnya menyatakan: “Begitu banyak tingkatannya sehingga akhirnya menyampaikan kita kepada tingkat “Nubuwwat” (kenabian), karena setelah melewati tingkat “Shiddiq” keduduan (maqam) kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. adalah maqam ‘An-Nabiyyiin’ (kenabian)” [Khutbah Jumah, 24/11/1989].

Berkaitan dengan kutipan-kutipan di atas, sesungguhnya seluruh kehidupan Hadhrat Abu Bakar r.a. menggenapi dengan sempurna gelarnya yaitu Ash-Shiddiq. Namun demikian, pada kesempatan terbatas ini hanya akan dikemukakan 3 peristiwa yang menggambarkan bahwa beliau r.a. sungguh-sungguh seorang shiddiq.

1 Nubuwat/13 SH/610 M:
WAHYU PERDANA DAN PEMBENARANNYA
Yang petama adalah peristiwa wahyu perdana (QS 96/Al-‘Alaq: 1-5) dan pendakwaan Hadhrat Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan rasul.

Uraian ini telah saya tulis di www.islam-damai.com dengam judul: Kemusliman Hadhrat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a..

Yang intinya seperti dikisahkan Hahdrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. bahwa Abu Bakar (r.a.), sahabat karib dari masa kecil (atau: masa muda menurut istilah Haekal) pada saat itu sedang berada di luar kota. 

Ketika beliau (r.a.) pulang, mulai mendengar pengalaman baru Rasulullah s.a.w. dari orang-orang bahwa beliau s.a.w. mulai berkata tentang malaikat-malaikat yang membawa amanat dari Tuhan kepadanya. 

Abu Bakar percaya sepenuhnya kepada Rasulullah s.a.w.. Beliau (r.a.) tidak ragu-ragu sedikit pun bahwa Rasulullah s.a.w. tentu benar. Namun demikian, Rasulullah s.a.w. khawatir jangan-jangan Abu Bakar (r.a.) akan salah paham dan mulai memberi penjelasan panjang-lebar. 

Abu Bakar (r.a.) menghentikan Rasulullah s.a.w. berbuat demikian dan mendesak bahwa yang sebenarnya diinginkan beliau (r.a.) hanya pernyataan, apakah yang dikatakan orang-orang itu benar? 

Rasulullah s.a.w. berniat menerangkan lagi, tetapi Abu Bakar (r.a.) mengatakan tidak ingin mendengar keterangan. Beliau (r.a.) hanya membutuhkan jawaban kepada pertanyaan, apa Rasulullah s.a.w. mendapatkan Amanat dari Tuhan. Rasulullah s.a.w. menjawab bahwa benar demikian dan Abu Bakar (r.a.) segera menyatakan imannya (Riwayat Hidup Rasulullah s.a.w: 1992: 15).

Ibnu Ishaq berkata: Sebagaimana disampaikan kepadaku bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Setiap aku mengajak seseorang kepada Islam biasanya ia tidak langsung memberikan jawaban, kecuali Abu Bakar bin Abu Quhafah. Ia tidak lambat merespon dan tidak ragu-ragu ketika aku mengajaknya kepada Islam” (Sirah Nabawiyah: 2012: 157).

Khalid Muhammad Khalid menggambarkan (1992: 35-51):
Bahwa perkataan Hadhrat Abu Bakar (r.a.) itu ditindaklanjuti dengan memegang (menjabat) tangan Rasulullah s.a.w. seraya berkata (bai’at):

ASY-HADU ANNAKA SHOODIQUN AMIIN. ASY-HADU AN-LAA ILAAHA ILLAALLOOHU WA ASY-HADU ANNAKA ROSUULULLOOH.

(Saya bersaksi bahwa Anda adalah seorang yang benar dan terpercaya. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Anda adalah Rasulullah).  

12 N/1 SH/621 M:
ISRA’” DAN PEMBENARANNYA
Bukti berikutnya bahwa Hadhrat Abu Bakar (r.a.) adalah Ash-Shiddiq adalah peristiwa pengalaman spiritual Isra’ (QS 17/Al-Isra’: 1).

Uraian tentang Isra’ juga telah saya tulis di www.islam-damai.com dengan judul: “Isra’” (Pengalaman Spiritual Rasulullah s.a.w.) dalam Lintasan Sejarah. Namun demikian, ada sudut pandang lain dan pendalamaman materi yang belum disertakan dalam artikel tersebut adalah sebagai berikut:

Sejarawan Senior Ibnu Ishaq (2012: 245) menulis bersumber dari Al-Hasan:

Setelah Rasulullah s.a.w. pulang ke Mekkah. Keesokan harinya, beliau (s.a.w.) menceritakan apa yang beliau (s.a.w.) alami kepada orang-orang Quraisy. Sebagian besar dari mereka berkata, “Demi Allah, ini adalah sesuatu yang sangat konyol. Betapa tidak?! Rombongan musafir yang jalannya cepat saja membutuhkan jarak tempuh selama sebulan untuk pergi dari Mekkah ke Syam (Paletina), apakah mungkin Muhammad pergi ke sana lalu pulang ke Mekkah hanya dalam waktu semalam?”

Banyak orang yang tadinya telah masuk Islam menjadi murtad gara-gara peristiwa ini. 
Orang-orang Quraisy pergi kepada Abu Bakar, kemudian berkata kepadanya, “Coba tengok sahabatmu, wahai Abu Bakar! Ia mengaku pada mala mini pergi ke Baitul Maqdis dan shalat di sana, kemudian pagi ini ia pulang ke Mekkah!”

Abu Bakar berkata kepada mereka, “Apakah kalian mendustakan apa yang dikatakan?” Mereka menjawab, “Ya, benar! Dia kini sedang berada di masjid sedang bercerita kepada orang-orang tentang apa yang baru dialaminya.”

PEMBENARAN HADHRAT ABU BAKAR r.a. TERHADAP PERNYATAAN RASULULLAH s.a.w.
Ibnu Ishaq Sirah-nya (2012: 245) menulis: Abu Bakar berkata, “Demi Allah, jika itu yang ia katakana, pasti ia berkata benar. Apa ada yang aneh bagi kalian? Demi Allah, sesungguhnya ia berkata kepadaku bahwa ia berpindah dari langit ke bumi hanya dalam waktu sesaat pada waktu malam atau sesaat pada waktu siang dan aku mempercayainya. Jadi, inikah puncak keheranan kalian?”

Banyak Penulis dengan maksud yang sama tetapi mengungkapkannya dengan gaya yang berbeda. Hal ini dapat kita temukan pada karya:

1. Haekal (Abu Bakr As-Siddiq: 2012: 10).2. Khalid (Khalifah Rasulullah: 1992: 56).3. Syalabi (Sejarah dan Kebudayaan Islam: 1997: 100).4. Hamka (Tafsir Al-Azhar Juzu’ 15: 2012: 8).5. Ahnan (Misteri Isro’-Mi’roj: 1990: 205-207).6. Nahdi (Mi’raj Isra Bukan Isra Mi’raj: 1992: 12).7. Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (Tafsir Kabir Surah Bani Israil [Ayat 1 s/d 41]: 2001: 25).

PENGAKUAN NABI s.a.w. BAHWA HADHRAT ABU BAKAR r.a. ADALAH ASH-SHIDDIQ
Ibnu Ishaq Sirah-nya (2012: 245) menulis: Usia mengatakan itu, Abu Bakar berjalan hingga tiba di tempat Rasulullah s.a.w. berada.

Abu Bakar berkata kepada Rasulullah s.a.w., “Wahai Nabi Allah, benarkah engkau telah bercerita kepada orang-orang bahwa pada malam ini engkau pergi ke Baitul Maqdis?”
Rasulullah s.a.w. menjawab, “Ya, benar.”

Abu Bakar berkata, “Kalau begitu, tolong ceritakan kepadaku ciri-ciri Baitul Maqdis, karena sebelumnya aku pernah pergi ke sana!”

Rasulullah s.a.w. lalu menjelaskan ciri-ciri Baitul Maqdis kepada Abu Bakar. Setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah s.a.w., Abu Bakar berkata bahwa engkau benar. Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah.”

Setiap kali, Rasulullah s.a.w. menjelaskan ciri-ciri Baitul Maqdis, Abu Bakar berkata, “Engkau berkata benar. Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah.”

Usai bercerita, Rasulullah s.a.w. berkata kepada Abu Bakar, “Engkau wahai Abu Bakar adalah Ash-Shiddiq (orang yang membenarkan).” Sejak peristiwa itulah, Abu Bakar dijuluki Ash-Shiddiq.

Untuk uraian yang sama, silahkan baca: Haekal (2012: 10), Hamka (2007: 17-18) dan Ahnan (1990: 205). 

19 N/6 H/627/8 M:
“HUDAIBIYAH” DAN PEMBENARANNYA
Bukti lainnya bahwa Hadhrat Abu Bakar (r.a.) adalah Ash-Shiddiq adalah peristiwa “Hudaibiyah” (QS 48/Al-Fath: 27).

Sesungguhnya tema ini memiliki kisah yang panjang dan menarik ditinjau dari berbagai segi. Namun saat ini kita sedang fokus “membidik” ke-shiddiq-kan Hadhrat Abu Bakar r.a..
Jadi, kita relakan hal-hal itu dan mari kita ke masalah intinya.

Ke Mekkah dengan 1.500 Sahabat
Di dalam masa itu Rasulullah s.a.w. melihat sebuah kasyaf yang dalam Al-Quran disinggung demikian:

Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat“ (QS 48/Al-Fath: 27/Versi Depag RI).

Dalam Catatan Tafsirnya [No. 1405] Depag RI menyebutkan bahwa selang beberapa lama sebelum terjadi Perdamaian Hudaibiyah Nabi Muhammad s.a.w. bermimpi bahwa beliau (s.a.w.) bersama para sahabatnya memasuki kota Mekah dan Masjidil Haram dalam keadaan sebahagian mereka bercukur rambut dan sebahagian lagi bergunting. 

Nabi (s.a.w.) mengatakan bahwa mimpi beliau (s.a.w.) itu akan terjadi nanti. Kemudian berita ini tersiar di kalangan kaum Muslim, orang-orang Munafik, orang-orang Yahudi dan Nasrani. 

Setelah terjadi perdamaian Hudaibiyah dan kaum Muslim waktu itu tidak sampai memasuki Mekkah maka orang-orang Munafik memperolok-olokkan Nabi (s.a.w.) dan menyatakan bahwa mimpi Nabi yang dikatakan beliau (s.a.w.) pasti akan terjadi itu adalah bohong belaka. Maka, turunlah Ayat ini yang menyatakan bahwa mimpi Nabi (s.a.w.) itu pasti akan menjadi kenyataan di tahun yang akan datang. 

Dan, sebelum itu dalam waktu yang dekat Nabi (s.a.w.) akan menaklukkan kota Khaibar. Andaikata pada tahun terjadinya Perdamaian Hudaibiyah itu kaum Muslim memasuki kota Mekkah maka dikhawatirkan keselamatan orang-orang yang menyembunyikan imannya yang berada dalam kota Mekkah waktu itu.

REAKSI HADHRAT UMAR r.a. TERHADAP PERSETUJUAN RASULULLAH s.a.w. PERIHAL PERJANJIAN HUDAIBIYAH 
Kembali ke suasana “Perjanjian Hudaibiyah”, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (Riwayat Hidup Rasulullah s.a.w.: 1992: 139) mengisahkan bahwa karena Rasulullah s.a.w. menyetujui dan menerima tiap-tiap penolakan kaum Mekkah, para sahabat menjadi resah atas penghinaan itu. 

Darah mereka mulai mendidih dan Umar (r.a.), orang yang paling berang, pergi kepada Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah kita ada di pihak yang benar?”
“Benar,” jawab Rasulullah s.a.w., “kita ada di pihak yang benar.”

“Dan tidakkah kita diberi tahu oleh Tuhan bahwa kita akan bertawaf di Ka’bah?” tanya Umar (r.a.).

“Ya,” sabda Rasulullah s.a.w.

“Jika demikian mengapa persetujuan ini dan mengapa kata-kata yang menistakan ini?”

“Benar,” kata Rasulullah s.a.w., “Tuhan memang memberi khabar gaib bahwa kita akan bertawaf dengan damai, tetapi Tuhan tidak mengatakan kapan. Aku menyangka bahwa hal itu akan terjadi tahun ini. Tetapi aku dapat saja salah. Harus pada tahun inikah?”

Umar (r.a.) bungkam. Kemudian sahabat-sahabat lain mengemukakan keberatan mereka. 
Di antaranya ada yang bertanya, mengapa mereka menyetujui pengembalian seorang pemuda yang masuk Islam kepada ayahnya atau walinya tanpa mendapat syarat yang setimpal untuk seorang Muslim yang kemudian ingkar atau pergi kepada kaum Mekkah. Rasulullah s.a.w. menerangkan bahwa tidak ada kerugian dalam hal ini.

“Tiap orang yang masuk Islam,” sabda beliau s.a.w., “Ia masuk karena menerima kepercayaan-kepercayaan dan amalan-amalan yang diajarkan oleh Islam. Ia tidak menjadi orang Islam untuk menggabungkan diri kepada suatu jemaat dan menerima adat-adat kebiasaannya. Orang demikian itu akan tabligh Islam ke mana juga ia pergi dan menjadi wahana penyebar Islam. 

Akan tetapi, orang yang meninggalkan Islam tidak berguna bagi kita. Jika dalam hatinya tidak lagi beriman kepada apa yang kita percaya, ia bukan lagi seorang di antara kita. Maka lebih baik ia pergi ke tempat lain.” 

Jawaban Rasulullah s.a.w. itu memuaskan hati mereka yang mula-mula meragukan kebijaksanaan Rasulullah s.a.w.. Khalid (2012: 23-24) menambahkan bahwa menurut cerita Hadhrat ‘Umar r.a. sendiri (HR Bukhari/O. Hashem: 214-215):

“Maka tanganku dipegang oleh Abu Bakar dan ditariknya dengan kuat, seraya berkata: 
‘Hai ‘Umar, ia adalah Rasulullah, dan sekali-kali ia takkan mendurhakai-Nya! Sungguh Ia adalah Pembelanya maka berpegang-teguhlah kepada kendalinya, karena demi Allah, ia berada di atas kebenaran!

Lanjut Hadhrat ‘Umar r.a.:

“Allah s.w.t. pun menurunkan ketenteraman ke dalam hatiku dan yakinlah daku bahwa ia dalam kebenaran.”
  
Haekal (2012: 23-24) menambahkan bahwa setelah itu kemudian turun Surah 48/Al-Fath bahwa persetujuan Hudaibiyah itu adalah suatu kemenangan yang nyata, dan Abu Bakar (r.a.) dalam hal ini, seperti juga dalam peristiwa-peristiwa lain, ialah Ash-Shiddiq, yang tulus-hati, yang segera percaya. Untuk uraian yang sama, silahkan baca: Ishaq (2012: 589).

Hal itu hendaknya memuaskan semua orang masa kini yang berpendapat bahwa dalam Islam hukuman bagi orang murtad ialah hukuman mati. Jika hal ini memang demikian, Rasulullah s.a.w. tentu akan menuntut dikembalikan dan menghukum mereka yang meninggalkan Islam, demikian menurut Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1992: 139).

Demikianlah tiga peristiwa yang membuktikan bahwa Hadhrat Abu Bakar r.a. adalah Ash-Shiddiq sejati, sahabat utama Rasulullah s.a.w.. Semoga kita dapat meneladani, baik Sang Shiddiq, apalagi Sang Nabi s.a.w..


DAFTAR BACAAN

Ahmad r.a., Hahdrat Mirza Tahir Ahmad r.h. (1992). Program Utama Badan-badan. Darsus No. 05/1990. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Ahmad r.a., Hahdrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.h. (1992). Riwayat Hidup Rasulullah s.a.w.. Bogor: Yayasan Wisma Damai.
Ahmad r.a., Hahdrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.h. (1992001). Tafsir Kabir Surah Bani Israil [Ayat 1 s/d 41]). Tangerang: Darul Barkat.
Ahnan, Maftuh (1990). Misteri Isro’-Mi’roj. Bandung: CV. Bintang Remaja. 
Amrullah, Prof. Dr. Haji Abdulkarim/Hamka (2007). Tafsir Al Azhar (Juz XV). Jakarta: PT Pustaka Panjimas.
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an (1993). Al Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Intermasa.
Haekal, Muhammad Husain (2012). Abu Bakr As-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa.
Hashem, O. (2007). Muhammad Sang Nabi Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail. Jakarta: Ufuk Press.
Ishaq, Ibnu (2012). Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah s.a.w.. Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana.
 Khalid, Khalid Muhammad (1992). Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah. Bandung: CV Diponegoro.
Nahdi, Saleh A. (1992). Mi’raj Isra Bukan Isra Mi’raj. :Jakarta: Arista Brahmatyasa.
Syalabi, Prof. Dr. A. (1997). Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 1. Jakarta: Al Husna Zikra.

Post a Comment

0 Comments