MI’RAJ (Pengalaman Spiritual Rasulullah s.a.w.) DALAM LINTASAN SEJARAH [Bagian ke-1]




 بسم الله الر حمن الر حيم   


Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori (Muballigh Jmt. Kebumen/Jateng 2)
Empat belas abad yang lalu ada dua peristiwa agung dan bersejarah dalam bulan Rajab (menurut Kalender Hijriyah) yaitu peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad s.a.w..

“Tidaklah ada pertikaian di antara ulama, baik salaf ataupun khalaf bahwa Isra’ dan Mi’raj itu memang terjadi. Yang jadi pertikaian hanyalah cara Isra’ dan Mi’rajnya: Tubuh dan nyawakah atau Roh saja yang menyerupai pengalaman mimpi, tetapi bukan mimpi biasa” begitu pernyataan Hamka dalam Tafsirnya (2007: XV: 10).

Bukan itu saja, setelah kita menelaah tema ini dengan pendekatan sejarah maka akan terbuka “misteri” lainnya yaitu Mi’raj (5 Nabawi) terjadi, 7 tahun kemudian baru Isra’ terjadi (12 Nabawi). 

Ini akan menambah perspektif baru yang selama ini tidak muncul di tengah masyarakat Muslim (Baca: “Tafsir Kabir Surah Bani Israil” karya Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a., “Mi’raj Nabi Muhammad s.a.w. karya Maulana Rahmat Ali H.A.O.T. r.a., “Isra’ & Mi’raj Nabi Muhammad s.a.w. karya Maulana H. Ch. Mahmud Ahmad Cheema, HA, Shd. dan “Mi’raj Isra’ Bukan Isra’ Mi’raj” karya Maulana Saleh A. Nahdi).
Untuk itu, mari kita tinjau kembali peristiwa tersebut dari sudut pandang sejarah supaya kita dapat melihat peristiwa tersebut dengan pandangan yang “wajar”.

DEFINISI ISRA’ DAN MI’RAJ
Pertama-tama mari kita kenali dahulu definisinya, baik secara etimologi (kata/bahasa) maupun secara terminology (istilah). 

Secara etimologis, kata isra’, berasal dari kata: saroo – sirooyatan wa saroyaanan, yang berarti berjalan di malam hari (asroo = saaro laylan) [Munawwir: 1997: 629]. 

Begitu juga kata mi’raj, secara etimologis berasal dari kata: ‘aroja – ‘uruujan wa ‘arojan, yang berarti naik atau mendaki (irtaqoo). Dan al-mi’rooj berarti tangga (as-sulaam) [Munawwir: 1997: 913].

Penjelasan tersebut senada dengan kesimpulan dari Maulana Rahmat Ali, H.A.O.T. bahwa lafazh “mi’roj” itu adalah nama benda (ism) yang terjadi dari lafazh ‘aroja sebagai suatu nama pekerjaan (fi’il) yang berarti “naik”. Sedangkan yang dimaksud dengan “mi’roj” adalah suatu alat untuk naik yaitu “tangga” (1949: 13).

Adapun, kedua istilah tersebut secara terminologis, umumnya: Isra’ diartikan sebagai perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dari Masjid Al-Haram (Mekkah) ke Masjid Al-Aqsha (Yerusalem) sedangkan Mi’raj diartikan sebagai perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dari Masjid Al-Aqsha (Yerusalem) ke Sidratul Muntaha (di atas langit ke-7) [Ahnan: 1990: 26-27].

PENDAHULUAN:
Bedah Dada sebagai 
Pengalaman Spiritual Sebelum Kenabian

Dalam Khutbah Jum’atnya, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. (10/1/2003) tentang “Keistimewaan Kasyaf-kasyaf Rasulullah s.a.w. mengutip beberapa riwayat, antara lain:

Pertama, diriwayatkan dari Hadhrat Anas bin Malik r.a. bahwa pada suatu saat  Jibril datang kepada Rasulullah s.a.w. tatkala beliau s.a.w. tengah bermain-main dengan anak-anak. 

Dia memegang beliau s.a.w., membaringkan beliau s.a.w., membelah dada beliau s.a.w. lalu mengeluarkan jantung, kemudian membuka jantung beliau s.a.w. lalu mengeluarkan sebuah gumpalan dari itu sambil berkata, “Inilah bagian syaitan dalam dirinya.” 

Kemudian Jibril membersihkannya dengan air zamzam dalam bokor emas lalu kembali menyambungnya kemudian mengembalikannya pada tempatnya semula. 

Perawi meriwayatkan bahwa anak-anak datang berlari-lari kepada ibu beliau yakni ibu susuan beliau sambil berkata, “Muhammad (s.a.w.) telah dibunuh.” 

Ibu susuan beliau datang kepada beliau s.a.w. dalam kondisi wajah beliau s.a.w. dalam keadaan pucat pasi” (HR Muslim).

Nabi s.a.w. diasuh oleh Halimah binti Sa’d sejak lahir hingga usia 2 tahun. Berarti hal itu terjadi pada sekitar tahun 38 sebelum kenabian (51 SH/573 M) [Hashem: 2007: 60].

Kedua, bahwa pada suatu saat Hadhrat Abu Hurairah r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Ya Rasulullah, perkara apa  yang Anda lihat pada awal-awal kenabian?”Maka Rasulullah s.a.w. langsung duduk, lalu bersabda, “Wahai Abu Hurairah, engkau telah mengajukan pertanyaan yang sangat penting sekali.”

Kemudian beliau s.a.w. menjawab seraya  bersabda, “Pada umur 10 tahun lebih beberapa bulan, tatkala saya tengah berjalan di padang pasir, saya mendengar sebuah suara dari arah atas kepala saya, seorang tengah berkata-kata kepada yang lainnya, “Apakah dia orangnya?” “Ya inilah dia”, kata yang lain memberikan jawaban. 

Kemudian mereka muncul di hadapan saya dalam bentuk wajah yang saya tidak pernah melihat makhluk seperti itu dan mereka keduanya zahir dengan ruh-ruh yang  sebelumnya saya tidak pernah melihat seperti itu. 

Mereka mengenakan pakaian yang sebelumnya saya tidak pernah melihat siapapun mengenakan pakaian serupa itu. Mereka berdua sambil berjalan kaki datang ke arah saya hingga setiap orang dari mereka mempererat lengan saya, sementara saya tidak merasakan sentuhan tangan-tangan mereka. 

Di antara mereka, seorang berkata kepada seorang rekannya, “Baringkanlah dia.” Maka keduanya membaringkan saya di tanah. Seorang dari keduanya berkata kepada rekannya, “Belahlah dadanya.” 

Maka, salah seorang dari mereka menundukkan muka ke arah dada saya lalu membelahnya dan saya menyaksikan darah saya tidak ada yang keluar dan tidak pula ada sakit terasakan. 

Maka, seorang berkata kepada yang lain, “Keluarkanlah hasad dan dengki dari dadanya.” Karena itu  dia mengeluarkan sesuatu seperti gumpalan darah lalu membuangnya. 

Kemudian dia berkata kepadanya, “Masukkanlah ra’fat (ro’uuf) dan rahmat di dalamnya.”
Saya melihat bahwa itu merupakan suatu benda yang serupa dengan gumpalan darah yang menyerupai perak. 

Kemudian dia menggoyangkan jari kaki saya yang sebelah kanan sambil berkata, “Pergilah dengan sehat wal-alfiat.” Maka sesuai perintahnya saya bangun dalam kondisi saya bersikap lemah-lembut kepada orang-orang kecil dan rahmat untuk orang-orang dewasa” (HR Ahmad).

Usia 10 tahun berarti terjadi pada 30 sebelum kenabian yaitu sekitar tahun 43 SH/581 M (Hashem: 2007: 57-65).

AWAL KENABIAN (1 Nabawi/13 SH/610 M): Latar Belakang Mi’raj Pertama
Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. menegaskan, “Bahkan aku mengatakan bahwa dua kejadian Mi’raj yang tersebut dalam Al-Qur’an Karim sengaja disebutkan untuk menyatakan bahwa Mi’raj yang disebutkan dalam Surah An-Najm adalah Mi’raj yang ke-2, sedang Mi’raj yang pertama telah terjadi pada waktu menerima nubuwat (kenabian) atau tidak seberapa lama sesudah itu dan ketika itulah shalat 5 waktu difardhukan” (Ahmad: 2001: 21).

Selanjutnya beliau r.a. memperjelas, “… shalat difardhukan sejak dari permulaan Islam. Tidak ada 1 tahun pun setelah nubuwat (kenabian) di mana shalat tidak difardhukan” (Ahmad: 2001: 21).

Lagi beliau r.a. menjelaskan, “Kemudian dari Surah An-Najm diketahui bahwa Mi’raj itu ada dua, dan dari Hadits diketahui pula bahwa satu Mi’raj terjadi pada hari-hari permulaan nubuwat, malah dapat dikatakan dalam Mi’raj itulah diletakkan sendi nubuwat syariat dan difardhukannya shalat. 

Mi’raj yang ke-2 terjadi pada tahun ke-5 sesudah Nubuwat, atau mungkin terjadinya sebelum itu, hanya disebutkannya dalam SurahAn-Najm” (Ahmad: 2001: 22).
Pernyataan di atas sejalan dengan informasi yang berikan Sejarwan Tertua Ibnu Ishaq (lahir: 85, wafat: 150/153 H) dalam “Sirah”-nya: Shalih bin Kaisan berkata kepadaku dari Urwah bin Zubair dari Aisyah r.a. yang berkata, “Kali petama shalat diwajibkan kepada Rasulullah s.a.w. adalah 2 rakaat setiap kali shalat, kemudian Allah menyempurnakannya dengan menjadikan shalat itu 4 rakaat bagi orang muqim dan dan menetapkannya 2 rakaat seperti sejak awalnya bagi seorang musafir” (Ishaq: 2012: 153).

Hadhrat Khadijah r.a.
Selanjutnya Ibnu Ishaq berkata: “Setelah Rasulullah s.a.w. kembali menemui Khadijah lalu berwudhu’ untuk mengajarkan kepadanya cara bersuci untuk shalat sebagaimana diajarkan Malaikat Jibril kepadanya. Khadijah pun berwudhu’ sebagaimana Rasulullah s.a.w. berwudhu’. Selanjutnya Rasulullah s.a.w. shalat seperti Malaikat Jibril shalat mengimami beliau, dan Khadijah shalat seperti shalat Rasulullah s.a.w.” (Ishaq: 2012: 153-154).

Hadhrat Ali r.a.
Selanjutnya Ibnu Ishaq berkata: “Laki-laki pertama yang mengimani Rasulullah s.a.w., shalat bersama beliau dan membenarkan risalahnya ialah Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Semoga Allah meridhainya. Saat itu ia baru berumur 10 tahun” (Ishaq: 2012: 154).

Hadhrat Zaid r.a.
Selanjutnya Ibnu Ishaq berkata: “Setelah Ali bin Abu Thalib masuk Islam, kemudian Zaid bin Haritsah bin Syurahbil bin Ka’ab bin Abdul Uzza bin Umru Al-Qais Al-Kalbi, mantan budak Rasulullah s.a.w. menyusulnya menganut agama Islam. Dialah kalangan laki-laki yang pertama kali masuk Islam dan ikut shalat sesudah Ali bin Abu Thalib” (Ishaq: 2012: 155).

KITAB SHAHIH BUKHARI (Hadist No. 3598)
Telah menceritakan dari Anas bin Malik dari Malik bin Sha'sha'ah r.h.m. bahwa Nabi s.a.w. bercerita kepada mereka tentang malam perjalanan Isra' (baca: Mi’raj karena mengisahkan perjalanan ke Sidratul Muntaha):

Bedah Dada Lagi
"Ketika aku berada di Al-Hathim -atau beliau menyebutkan di Al-Hijir- dalam keadaan berbaring, tiba-tiba seseorang datang lalu membelah."

Qatadah berkata: Dan aku juga mendengar dia berkata, "Lalu dia membelah apa yang ada di antara ini dan ini".

Aku bertanya kepada Al-Jarud yang saat itu ada di sampingku, "Apa maksudnya?" Dia berkata, "Dari lubang leher dada hingga bawah perut" dan aku mendengar dia berkata, "Dari atas dadanya sampai tempat tumbuhnya rambut ‘sekitar pusat’.”

(Rasulullah s.a.w. bersabda): 
“Lalu laki-laki itu mengeluarkan kalbuku (hati), kemudian dibawakan kepadaku sebuah baskom terbuat dari emas yang dipenuhi dengan iman, lalu dia mencuci hatiku kemudian diisinya dengan iman dan diulanginya.” 

Buraq
(Rasulullah s.a.w. bersabda):
“Kemudian aku didatangkan seekor hewan tunggangan berwarna putih yang lebih kecil dari pada baghal namun lebih besar dibanding keledai."

Al-Jarud berkata kepadanya, "Apakah itu yang dinamakan Al-Buraq, wahai Abu HAmzah?"
Anas menjawab, "Ya. Al-Buraq itu meletakkan langkah kakinya pada pandangan mata yang terjauh."

Langit ke-1: Nabi Adam a.s.
(Rasulullah s.a.w. bersabda):
"Lalu aku menungganginya kemudian aku berangkat bersama Jibril a.s. hingga sampai di langit dunia (langit ke-1). Lalu Jibril meminta dibukakan pintu langit kemudian dia ditanya: 

"Siapakah ini?"

Jibril menjawab, "Jibril". 

Ditanyakan lagi, "Siapa orang yang bersamamu?" 

Jibril menjawab, "Muhammad". 

Ditanyakan lagi, "Apakah dia telah diutus?" 

Jibril menjawab, "Ya". 

Maka dikatakan, "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang." 

Maka pintu dibuka dan setelah melewatinya aku berjumpa Adam a.s.

Jibril a.s. berkata: 
"Ini adalah bapakmu, Adam. Berilah salam kepadanya". 

Maka aku memberi salam kepadanya dan Adam a.s. membalas salamku lalu dia berkata: "Selamat datang anak yang shalih dan nabi yang shalih."

Percakapan di setiap langit hampir sama, jadi pada kesempatan ini akan diringkaskan saja.

Langit ke-2: Nabi Yahya a.s. dan 'Isa a.s.
Langit ke-3: Nabi Yusuf a.s.
Langit ke-4: Nabi Idris a.s. 
Langit ke-5: Nabi Harun a.s.
Langit ke-6: Nabi Musa a.s.
Langit ke-7: Nabi Ibrahim a.s.

Sidratul Muntaha 
(Rasulullah s.a.w. bersabda):
Kemudian Sidratul Muntaha diangkat/dinampakkan kepadaku yang ternyata buahnya seperti tempayan daerah Hajar dengan daunnya laksana telinga-telinga gajah. Jibril a.s. berkata, "Ini adalah Sidratul Munahaa."

4 Sungai
(Rasulullah s.a.w. bersabda):
Ternyata di dasarnya ada 4 sungai, 2 sungai Bathin dan dua sungai Zhahir". 
Aku bertanya, "Apakah ini wahai Jibril?"

Jibril menjawab, "Adapun 2 sungai Bathian adalah 2 sungai yang berada di surga, sedangkan 2 sungai Zhahir adalah An-Nail dan Eufrat".

Baitul Ma'mur 
(Rasulullah s.a.w. bersabda):
Kemudian aku diangkat ke Baitul Ma'mur, lalu aku diberi satu gelas berisi khomer, satu gelas berisi susu dan satu gelas lagi berisi madu. Aku mengambil gelas yang berisi susu. 
Maka Jibril berkata, "Ini merupakan fithrah yang kamu dan ummatmu berada di atasnya".

Shalat 50 Kali Setiap Hari
(Rasulullah s.a.w. bersabda):
Kemudian diwajibkan bagiku shalat 50 kali dalam setiap hari. Aku pun kembali dan lewat di hadapan Musa a.s.

Musa bertanya, "Apa yang telah diperintahkan kepadamu?"

Aku menjawab, "Aku diperintahkan shalat 50 kali setiap hari". 

Musa berkata, "Sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup melaksanakan 50 kali shalat dalam sehari, dan aku, demi Allah, telah mencoba menerapkannya kepada manusia sebelum kamu, dan aku juga telah berusaha keras membenahi Bani Isra'il dengan sungguh-sungguh. Maka kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu".

Maka aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi 10 shalat, lalu aku kembali menemui Musa. 

Maka Musa berkata sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, lalu aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi 10 shalat, lalu aku kembali menemui Musa. 

Maka Musa berkata sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, lalu aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi 10 shalat, lalu aku kembali menemui Musa. Maka Musa berkata sebagaimana yang dikatakan sebelunya. Aku pun kembali, dan aku diperintah dengan 10 kali shalat setiap hari.

Shalat 5 Kali Setiap Hari 
(Rasulullah s.a.w. bersabda):
Lalu aku kembali dan Musa kembali berkata seperti sebelumnya. Aku pun kembali, dan akhirnya aku diperintahkan dengan 5 kali shalat dalam sehari

Aku kembali kepada Musa dan dia berkata, "Apa yang diperintahkan kepadamu?" 

Aku jawab, "Aku diperintahkan dengan 5 kali shalat dalam sehari". 

Musa berkata, "Sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup melaksanakan 5 kali shalat dalam sehari, dan sesungguhnya aku, telah mencoba menerapkannya kepada manusia sebelum kamu, dan aku juga telah berusaha keras membenahi Bani Isra'il dengan sungguh-sungguh. 

Maka kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu".

Beliau berkata, "Aku telah banyak memohon (keringanan) kepada Rabbku hingga aku malu. Tetapi aku telah ridho dan menerimanya".

Ketika aku telah selesai, terdengar suara yang berseru, "Sungguh Aku telah memberikan keputusan kewajiban-Ku dan Aku telah ringankan untuk hamba-hamba-Ku".

5 NABAWI (615 M):
Latar Belakang Mi’raj ke-2
Peristiwa Mi’raj ke-2 dilatarbelakangi oleh hijrahnya para sahabat ke Habasyah (Abisinia/Ethiopia) pada tahun ke-5 Nabawi. 

Setelah orang-orang Quraisy merasa bahwa usaha-usaha mereka untuk melunakkan Abu Thalib tidak berhasil maka mereka melancarkan bermacam gangguan dan penghinaan kepada Nabi (s.a.w.) dan memperhebat siksaan-siksaan di luar peri-kemanusiaan terhadap pengikut-pengikut beliau (s.a.w.)

Akhirnya, Nabi (s.a.w.) tak tahan melihat penderitaan sahabat-sahabatnya itu lalu menganjurkan agar mereka hijrah ke Habasyah (Abisinia) yang rakyatnya menganut agama Kristen dan Rasul (s.a.w.) mengetahui bahwa Raja Habasyah yaitu Najasyi dikenal adil maka berangkatlah rombongan pertama terdiri dari 10 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. 

Kemudian, disusul oleh rombongan-rombongan yang lain hingga mencapai hampir 100 orang. Di antaranya ‘Utsman bin ‘Affan beserta istri (Rukayyah, putrid Nabi [s.a.w.]), Zuber bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Ja’far bin Abu Thalib dan lain-lain.

Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-5 (bulan Rajab: baca, Ahmad: 2001: 17) sesudah Nabi Muhammad (s.a.w.) menjadi Rasul (615 M) [Yayasan/Depag RI: 1993: 61]. 

3 BULAN KEMUDIAN
H. Fu’ad Hashem dalam “Sirah”-nya (1989: 180-181) mengisahan bahwa kesan kepanikan di kalangan kaum Muslim timbul dari laporan bahwa para Muhajirin yang baru 3 bulan lamanya tinggal di Abysinia, mendadak kembali lagi ke Mekkah karena sebab yang misterius.

Ada yang mengatakan bahwa kepulangan mereka secara mendadak dan berakibat pengejaran kembali di Makkah, adalah karena laporan bahwa penduduk telah memeluk agama Islam. Bagaimana sampai bisa terjadi begini, juga tidak ada jawaban memuaskan.
Perincian yang disampaikan Ibnu Ishaq adalah sebagai berikut:

Nabi yang gelisah dengan kemaslahatan umatnya, dan ingin memperoleh pengikut sebanyak mungkin, saat itu mendapat wahyu yang berbunyi:

“ … telahkah kau renungkan Al-Laat dan Al-Uzza dan satu lagi yang ketiga, Al-Manaat,” dan di saat itulah setan lalu menaruh ke dalam mulutnya kalimat: “mereka ini gharaaniq, yang mulia, yang perantaraannya diharapkan.”

Bagi Quraisy, ini berita besar, mungkin lebih dari harapan mereka yang bisa diperoleh dari Muhammad. Pucuk dicinta ulam tiba. katanya, tidak ada yang mencurigai ayat “sisipan setan” itu. Maka bersujudlah kaum Muslim dan kafir bersama-sama di Ka’bah, sampai-sampai Walid tua kepayahan. Setelah bubar, kaum Quraisy senang bukan main. 

“Muhammad telah menyetujui nama Tuhan kami itu adalah gharaaniq yang dimuliakan, yang perantaraannya diharapkan.”  

Tentu saja berita ini bagaikan ledakan yang terdengar sampai jauh ke Abysinia. Mereka segera berkemas pulang, walaupun hanya sekitar 30 orang. Lalu Jibril mendatangi Rasul dan menyatakan yang sebenarnya. Muhammad mengalami tekanan batin yang luar biasa oleh teguran itu. Maka ayat Al-Quran itu lalu berbunyi:

“Telah kamu lihatkah Al-Laat dan al-Uzza? Dan satu lagi, yang ketiga, Al-Manaat? Apakah untuk kamu yang lelaki dan untuk Allah yang wanita? Itu pembagian yang tidak adil. Itu hanyalah nama-nama yang kamu berikan kepadanya. 

Kamu dan leluhur kamu. Untuk itu Allah tidak member kuasa. Tiada lain yang kamu ikuti, hanyalah dugaan dan keinginan hawa nafsunya. Padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Tuhannya!” (QS 53/An-Najm: 19-23).

Menanggapi riwayat di atas, Hadhat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. menulis dalam “Tasfsir Kabir”-nya (2001: 18).

“Kejadian yang masyhur ini tercantum dalam semua kitab tarikh dan kitab-kitab hadits. Jadi nyatalah bahwa Surah An-Najm diturunkan sebelum bulan Syawal tahun ke-5 Nubuwat; dan karena dalam Surah An-Najm disebutkan mengenai kejadian Mi’raj, jadi teranglah ba’ matahari pukul 12 siang bahwa Mi’raj pun telah terjadi sebelum tahun ke-5 Nubuwat.”

Ayat yang khusus membahas Mi’raj, silahkan baca pada QS 53/AN-NAJM: 7-18 (bilkhusus Ayat 14-17), karena ada kata-kata: Sidratul Muntaha (Pohon Sidrah tertinggi) dan Jannatul Ma’wa (surga tempat tinggal).

KESIMPULAN:

1. Shalat 5 waktu dimulai sejak awal kenabian.

2. Pada Mi’raj pertamalah Shalat 5 waktu diperintahkan.

3. Pengalaman Spiritual Mi’raj ini beliau s.a.w. lihat sambil berbaring di Al-Hathim/Al-Hijir.

4. Surah An-Najm yang turun pada tahun ke-5 menjelaskan tentang Mi’raj ke-2 dengan latar belakang Hijarah Pertama ke Abysinia.


KEPUSTAKAAN
Ahnan, Maftuh (1990). Misteri Isro’-Mi’roj. Bandung: CV. Bintang Remaja. 
Ahmad, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud r.a. (2001). Tafsir Kabir Surah Bani Israil (Ayat 1 s/d 41). Tangerang: Darul Barkat.
Ahmad, Hadhrat Mirza Tahir r.h. (2003). Tafsir Keistimewaan Kasyaf-kasyaf Rasulullahabir s.a.w.. Darsus No. 12. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Ali, Maulana Rahmat H.A.O.T. r.a. (1949). Mi’rajd Nabi Muhammad s.a.w.. Djakarta: Neratja Trading Company.
Amrullah, Prof. Dr. Haji Abdulkarim/Hamka (2007). Tafsir Al Azhar (Juz XV). Jakarta: PT Pustaka Panjimas.
As Sidokare, Abu Ahmad. Kitab Shahih Bukhari. Kompilasi Chm.
Farid, Malik Ghulam. 2014. Al-Qur’an Terjemahan dan Tafsir Singkat. Jakarta: Neratja Press.
Hashem, H. Fu’ad (1989). Sirah Muhammad Rasulullah Kurun Makkah Suatu Penafsiran Baru. Bandung: Mizan.  
Hashem, O (2007). Muhammad Sang Nabi. Jakarta: Ufuk Press.
Ishaq, Ibnu (2012). Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah s.a.w.. Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana.
Munawwir, Ahmad Warson (1997). Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran/Depag RI (1993). Al Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Intermasa.

Post a Comment

0 Comments