Keteguhan Hati Para Utusan Tuhan, Adalah Bukti Kebenaran Itu Sendiri



Oleh: Mln. Harpan Aziz Ahmad

Kebangkitan seorang utusan Tuhan selalunya memiliki dampak yang sama pada suatu kaum atau masyarakat yaitu “perpecahan”; ada kelompok yang beriman dan ada pula kelompok yang menolak. 

Tidak pernah terjadi saat dimana seorang utusan Tuhan dibangkitkan kemudian seluruh kaumnya beriman, atau sebaliknya ketika bangkit seorang utusan lantas seluruh kaum itu menolak.

Nabi Musa as harus berhadapan dengan kekejian Fir’aun beserta para pemukanya. Nabi Isa as harus bertahan dari berbagai siasat dan makar jahat para ulama Yahudi. Bahkan, Rasulullah saw sendiri, seorang yang dikenal Shadiq dan Amin oleh kaumnya harus melewati penentangan yang demikin keras lagi panjang. 

Hal ini menunjukan bahwa perpecahan dalam suatu kaum atau masyarakat beserta penentangannya adalah sunatullah yang mengikuti kebangkitan dari seorang utusan-Nya.
Mengapa terjadi perpecahan dan kenapa mesti ada penentangan? 

Perpecahan itu sendiri sejatinya merupakan proses seleksi yang suka tidak suka mesti terjadi guna tegaknya suatu tatanan baru (Qs. 3:180), sedangkan penentangan-penentangan yang lahir dari perpecahan itu adalah jalan bagi terbukanya kemajuan atas dakwa seorang utusan Tuhan (Qs. 93:2-6).

Untuk itu, perpecahan dan penentangan menjadi suatu hal yang “wajib ada” sebab ia adalah sarana bagi terbukanya kebenaran itu sendiri. Seumpa seorang mahasiswa yang membutuhkan sidang untuk menguji skripsinya, seorang utusan Tuhan memerlukan penentangan sebagai ‘panggung pentas’ untuk segala kebenaran yang ia bawa. Dan selama masa penentangan tersebut, keteguhan hati para utusan Tuhan akan menjadi bukti kebenaran yang bahkan lebih cemerlang dari sebatas keunggulan argumentasi.

Ketika Abu Thalib atas desakan para pemuka Makkah meminta Rasulullah saw menghentikan dakwahnya, dipanggilnya Rasulullah saw dan diterangkan kepada beliau tuntutan para pemuka Makkah. “Jika engaku tidak setuju,” kata Abu Thalib, “maka aku harus meninggalkan engkau atau kaumku akan meninggalkan aku”. Rasulullah saw sangat iba melihat paman beliau. Dengan mata yang basah beliau bersabda: 

“Aku tidak meminta paman meninggalkan kaum paman. Aku tidak meminta paman supaya melindungiku. Bahkan sebaliknya tinggalkanlah aku dan berpihaklah pada kaum paman. 

Tetapi, Tuhan Maha Esa menjadi saksi dan aku mengatakan bahwa andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti menyebarkan kebenaran Tauhid Ilahi. Aku harus berjuang sampai mati. Paman dapat menetapkan pilihan paman” (Hisyam & Zurqani).

Jawaban Rasulullah saw ini adalah perlambang dari keteguhan hati beliau saw dalam mengemban misinya. Demikian tegar, tegas dan sungguh-sungguh telah membuka mata Abu Thalib walaupun tak berani beriman. Hal ini terlihat dari responnya yang demikian takjub dan terpesona atas pendirian kemenakannya:

“Kemenakanku, lanjutkanlah tugasmu. Laksanakan kewajibanmu. Biarlah kaumku meninggalkan aku. Aku besertamu” (Hisyam).

Pemandangan ini terjadi pada setiap perjalanan dakwah utusan Tuhan. Dan satu-satunya alasan atas teguhnya pendirian itu adalah kebenaran atas dakwah yang mereka emban. 

Mustahil seseorang mengorbankan nama baik, kenyamanan, persaudaraan dan keharmonisan, kemudian melawan arus penentangan yang demikian keras jika apa yang mereka sampaikan adalah sebuah rekaan semata. Untuk itu, keteguhan hati dalam membawa misi itu sendiri adalah bukti, bahwa pesan yang mereka bawa adalah pesan suci dari Sang Ilahi.

Sebagaimana pendahulunya, demikian jugalah yang kita saksikan pada diri Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. Dua puluh empaat tahun amanat itu beliau pikul meski harus berhadapan dengan hujatan, caci-makian. Padahal apa yang beliau bawa bukanlah untuk kebesaran nama beliau, meliankan untuk Islam dan untuk wujud yang dikasihinya Muhammad saw.

Beliau menyampaikan:
“Hendaknya jangan takut terhadap penentangan. Justru dari penentangan itu timbul manfaat, dan inilah sunnah yang berlaku sejak dahulu. Tatkala seorang nabi lahir maka orang-orang mulai menentangnya. Mereka berbuat zalim dan aniaya. Dalam kaitan itu mereka pun memperoleh peluang untuk menyimak buku-buku dan mendengar serta mengetahui kondisi-kondisi yang sebenarnya” (Malfuzhat jilid X).

Setiap utusan Tuhan mengetahui benar konsekuensi dari tugasnya, namun karena keyakinan dan kasih sayang yang Allah sendiri tanamkan dalam hatinya, meraka rela melalui segala hujatan dan berbagai bentuk penentangan lainnya guna tersampaikannya kebenaran meski berat sekalipun.

Sepanjang masa kehidupan beliau yang beberkat, selain melakukan berbagai upaya untuk membela Islam dan Nabi suci Muhammad saw baik melalui tulisan dan juga perdebatan, hal berat lainnya yang harus beliau hadapi adalah persidangan. Banyak perkara yang harus beliau jalani karena ketidak sukaan orang-orang atas pendakwaan beliau. 

Sidang pengadilan atas tuntutan Dr. Henry Martin Clark misalnya, kemudian persidangan tuduhan atas kematian Pandit Lekhram, persidangan atas tuntutan Karam Din dari Jhelum, serta persidangan-persidangan lainnya telah demikian menguras waktu dan perhatian beliau. Namun, semua upaya untuk menghentikan dakwah beliau itu terbukti gagal, dari sekian banyak kasus yang diajukan atas nama beliau tidak ada satupun yang membuktikan kesalahannya. 

Dan, beliau sendiri tidak pernah menunjukan keputus-asaan atas tugas yang beliau emban, dan tidak juga semua upaya dan makar jahat itu mengecutkan langkah beliau untuk terus menyampaikan kebenaran. 

“sesungguhnya aku tidak akan peduli dengan berbagai keberatan yang dilontarkan oleh orang lain kepadaku. Jika aku meninggalkan jalan kebenaran hanya karena takut pada mereka, ini akan merupakan sebuah pengkhianatan yang besar” (Haqiqatul Wahy hal 2).

Post a Comment

0 Comments