ISRA’ (Pengalaman Spiritual Rasulullah s.a.w.) DALAM LINTASAN SEJARAH [Bagian ke-2]






Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori (Mbl. Jmt. Kebumen/Jateng 2)

Tentang Mi’raj, silahkan baca tulisan saya dengan judul “Isra’” (Pengalaman Spiritual Rasulullah s.a.w.) dalam Lintasan Sejarah.

LATAR BELAKANG ISRA’

Boikot di Syi’ib Abu Thalib: 
7 NABAWI (16 MEI 616 M) SAMPAI 10 NABAWI (619 M)
Dalam “Muqaddimah”-nya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran (Depag RI: 1993: 62) mengisahkan bahwa sesudah orang Quraisy melihat bahwa segala jalan yang mereka tempuh untuk memadamkan da’wah (seruan) Nabi Muhammad s.a.w. tidak memberi hasil, karena Bani Hasyim dan Bani Muththalib –dua keluarga besar Nabi Muhammad, baik yang sudah Islam ataupun yang belum- tetap melindungi beliau s.a.w., maka mereka mencari taktik baru untuk melumpuhkan kekuatan Islam. 

Mereka mengadakan pertemuan dan mengambil keputusan untuk melakukan pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib ialah dengan jalan memutuskan segala perhubungan: hubungan perkawinan, jual-beli, ziarah-menziarahi dan lain-lain. Keputusan mereka itu ditulis di atas kertas dan digantungkan di Ka’bah.

Dengan adanya pemboikotan umum ini maka Nabi Muhammad s.a.w. dan orang-orang Islam serta keluarga Bani Hasyim dan Bani Muththalib, terpaksa menyingkir dan menyelamatkan diri ke luar Kota Mekkah. Selama 3 tahun lamanya menderita kemiskinan dan kesengsaraan (baca juga: Ahmad: 2001: 19).

Seluruh Klan Hasyim digiring dan dikurung di Syi’ib Abu Thalib yaitu sebuah pelataran sempit yang dikelilingi dinding batu terjal lagi tinggi, tidak dapat dipanjat. Letaknya di kaki bukit Abu Qubays, bagian Makkah sebelah Timur. 

Orang hanya dapat masuk keluar dari sebelah Barat melalui celah sempit setinggi kurang dari 2 meter, yang hanya dapat dilewati unta dengan susah payah. Menurut sebuah laporan, di tengah pelataran itu ada sebuah bangunan tua yang kecil, tempat tinggal Muhammad dan keluarganya. Sedang, pengikutnya yang dikucilkan itu membangun dan tinggal di kemah-kemah sekitarnya (Hashem: 1989: 202).

Banyak juga di antara kaum Quraisy yang merasa sedih akan nasib yang dialami keluarga Nabi itu. Dengan sembunyi-sembunyi pada waktu malam hari, mereka mengirim makanan dan keperluan lainnya kepada kaum kerabat mereka yang terasing di luar kota seperti yang dilakukan oleh Hisyam bin ‘Amr (Yayasan: 1993: 62).

Hisyam bin ‘Amr adalah cucu dari kakak ‘Abdul Muththalib, Nadlah, yang namanya memang tak terkenal.

Selain itu ada Zuhayr (misan Abu Jahal yang juga misan Muhammad, karena ibunya ‘Atikah, adalah bibi Muhammad). Berangkat ke Ka’bah dengan mengenakan jubah panjang dan mengelilingi Ka’bah 7 kali. 

Kemudian, ia tampil ke tengah jamaah dan berkata keras, “Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita akan tetap makan dan berpakaian sementara Bani Hasyim punah, karena tak mampu menjual dan membeli? Demi Tuhan, saya tidak akan berpangku tangan, kecuali piagam boikot itu disobek-sobek.”

Abu Jahal yang saat itu sedang berada dekat masjid menjerit, “Kau berdusta, demi Tuhan, Piagam itu tak boeh disobek!”

Zama’ah (bin Aswad; yang juga ada di situ) menyela, “Kau pembohong lebih besar lagi. Kami tak setuju ketika Piagam itu dibuat.”

Kata Abul Bakhtari, “Zama’ah memang betul. Kami tak puas dengan yang ditulis dan kami tak terikatdengannya.”

Muth’im bin Adi menambahkan, “Kalian berdua memang benar dan siapa saja mengatakan lain adalah pembohong. Kami bersaksi kepada Tuhan bahwa kami lepas dari semua gagasan itu dan apa yang tertulis dalam dokumen Piagam.”

Abu Jahal berkeras, “Tetapi itu telah dibicarakan semalam suntuk. Juga telah dibahas ditempat lain.”

Abu Thalib ketika itu sedang duduk di samping masjid. Ketika Muth’im menuju ke tempat Piagam tergantung, ia menemukan Piagam itu telah dimakan rayap dan yang terbaca hanya: “Atas nama-Mu Tuhan.” Boikot berakhir (Hashem: 1989: 204-205; baca juga Hashem: 2007: 88). 

TAHUN 620 M:
‘Aamul Huzni (Tahun Kesedihan/Dukacita)
Belum lagi sembuh kepedihan yang dirasakan Nabi Muhammad s.a.w. akibat pemboikotan umum itu, tibalah pula musibah yang besar menimpa dirinya yaitu wafat paman (baca: Pak De/Wa’) beliau, Abu Thalib  dalam usia 87 tahun. Tidak berapa lama (3 bulan) kemudian disusul oleh istrinya, Siti Khadijah.

Kedua musibah terjadi pada tahun ke-10 dari masa kenabian. Tahun ini dalam sejarah disebut “Aamul Huzni (Tahun Kesedihan/Dukacita) [Yayasan: 1993: 62; baca juga Hashem: 2007: 88]. 

12 NABAWI: 
ISRA’ MENURUT AL-QURAN
Allah s.w.t. berfirman (QS 17/Al-Isra’: 1/terjemah versi Depag RI): “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan (asroo) hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

KESAKSIAN UMMU HANI r.a.:
Peristiwa Isra’ Dilihat dalam Ru’ya
Ibnu Ishaq berkata: seperti disampaikan kepadaku dari Ummu Hani binti Abu Thalib r.a. (ia bernama asli: Hindun) mengenai peristiwa Isra’ Rasulullah s.a.w. berkata:

“Rasulullah s.a.w. diisra’kan tatkala beliau sedang berada di rumahku. Malam itu, beliau tidur di rumahku. Dia mengakhirkan shalat Isya’, lalu tidur dan kami pun tidur. 
Menjelang Shubuh, Rasulullah s.a.w. membangunkan kami. 

Setelah shalat Shubuh bersama, Rasulullah s.a.w. berkata, ‘Wahai Ummu Hani! Setelah aku mengakhirkan shalat Isya’ seperti yang engkau lihat, kemudian aku pergi ke Baitul Maqdis dan shalat di sana. Setelah itu barulah aku mengerjakan shalat Shubuh bersama kalian sekarang seperti yang kalian lihat” (Hadits Ibnu Jarir dalam “Tafsir”-nya: 17: 331; dalam Ibnu Ishaq: 2012: 247-248).

Selanjutnya Ummu Hani binti Abu Thalib r.a. mengatakan bahwa kemudian Rasulullah s.a.w. keluar namun aku halangi. Aku berkata kepadanya, “Wahai Nabi Allah, sembunyikan peristiwa ini dari manusia, sebab jika kau ceritakan nanti mereka pasti mendustakanmu dan mempermainkanmu.”

Rasulullah s.a.w. bersabda, “Demi Allah, aku pasti menceritakan peritstiwa ini kepada mereka.”

Aku berkata kepada budakku dari Habsyah, “Sana, ikutilah Muhammad dan dengarkan apa yang dia katakana kepada orang-orang dan apa yang dikatakan orang-orang kepadanya.”

Ketika Rasulullah s.a.w.  bertemu dengan orang-orang, beliau bercerita kepada mereka dan mereka terheran-heran. Mereka berkata, “Hai Muhammad, apa buktinya kalau ceritamu itu benar, sebab kami belum pernah sekalipun mendengar cerita model ini sebelum ini?” (Ishaq: 2012: 248).

DIPERLIHATKAN BAITUL MAQDIS
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h. (10/1/2003) dalam Khutbah Jumah-nya mengutip Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salmah, beliau berkata: 

Saya telah mendengar dari Hadhrat Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tatkala Quraisy Mekkah mendustakan saya (perjalanan Isra’ saya) maka saya berdiri di tempat Hijir dan Allah menampilkan Baitul Maqdis di hadapan saya. Sambil melihatnya saya mulai memberitahukan kepada orang-orang  tanda-tandanya” (HR Bukhari).

Berkenaan dengan itu tertera dalam riwayat lain bahwa seorang Yahudi berdiri menanyakan kepada Rasulullah s.a.w. bahwa, “Jika  Tuan melihatnya itu benar-benar Baitul Maqdis ....” --orang Yahudi itu telah pernah melihat-- “maka perlihatkanlah (terangkanlah) kepada saya bagaimana bentuknya? Barang atau benda  apa saja yang telah Anda lihat?”

Pada waktu itu Rasulullah s.a.w. untuk sementara tidak mengetahui. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Saya tidak mengerti jawaban apa yang saya harus berikan.”  Maka Allah mendirikan Baitul Maqdis di hadapan beliau s.a.w. dan sambil melihat tanda-tandanya beliau s.a.w. mulai membertahukan satu persatu  bahwa tempat yang itu ini dia, tempat fulan ini, tempat fulan di sini.”

Hal itu senada dengan Kitab Shahih Bukhari Hadist No. 3597 bahwa dari Jabir bin Abdullah r.h.m. bahwa dia mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ketika kaum Quraisy mendustakanku, aku berdiri di Al-Hijir, lalu Allah menampakkan kepadaku Baitul Maqdis maka aku mulai menceritakan kepada mereka tentang tanda-tandanya, sedang aku terus melihatnya".

YANG DIPERLIHATKAN DALAM ISRA’ 
Hadits dari Ibnu Jarir: 15: 6:
Selanjutnya Ibnu Jarir memuat Hadits riwayat bahwa Anas bin Malik Malik berkata: Ketika Rasulullah s.a.w. bertanya kepada Jibril, “Jibril, siapakah orang ini?” Jibril tidak menjawab melainkan menyuruh jalan terus. 

Rasulullah s.a.w. meneruskan perjalanannya menurut kehendak Allah s.w.t.. Tiba-tiba beliau s.a.w. mendengar seseorang memanggil beliau s.a.w., “Hai Muhammad, mari ke sini!” Jibril melarang beliau s.a.w. menjawab ajakan itu dan menyuruh berjalan terus.

Setelah itu beliau s.a.w. berjumpa dengan beberapa orang. Orang-orang ini menyampaikan salam, “Assalaamu ‘alaika, yaa awwalu! Assalaamu ‘alaika, yaa aakhiru! Assalaamu ‘alaika, yaa haasyiru!” Kali ini Jibril menyuruh Rasulullah s.a.w. menjawab salam mereka.

Sesudah itu Rasulullah s.a.w. berangkat lagi. Tak lama kemudian beliau s.a.w. bertemu sekumpulan orang. Mereka memberi salam kepada beliau s.a.w. sebagaimana orang-orang sebelumnya. Rasulullah s.a.w. menjawab salam mereka. 

Dan, tidak lama kemudian tibalah beliau s.a.w. di Baitul Muqaddas. Di situ, Malaikat Jibril memberikan kepada Rasulullah s.a.w. tiga cangkir. 

Cangkir pertama berisi air, cangkir kedua berisi susu dan cangkir ketiga berisi arak. 
Rasulullah s.a.w. mengambil cangkir yang berisi susu lalu beliau s.a.w. meminumnya. Jibril berkata, “Engkau memperoleh fitrat yang benar. 

Jika engkau minum air itu niscaya engkau akan tenggelam, demikian pula umatmu. Dan jika engkau minum arak tersebut niscaya engkau akan menjadi sesat, dan umat engkau pun akan sesat pula.

Sesudah itu Jibril membawa Adam dan nabi-nabi lainnya kepada Rasulullah s.a.w.. Rasulullah s.a.w. shalat berjamaah dan beliau s.a.w. sebagai imamnya. 
Setelah beliau s.a.w. selesai shalat berjamaah maka Jibril menerangkan kepada Rasulullah s.a.w.:

“Perempuan tua tadi ibarat dunia, dan seperti itulah usia dunia sebagaimana usia sang nenek. Orang-orang yang memanggil engkau di jalan tadi adalah iblis. Dan orang-orang yang memberi salam kepada tadi adalah Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s..”

MENENTUKAN WAKTU
Tentang waktu ketika Nabi s.a.w. melihat Ru’ya Isra’ (QS 17: 60) berada di rumah Ummu Hani, para Ahli berbeda pendapat:

H. Fuad Hashem member data dengan mengatakan: tetapi karena Surah Al-Isra’ disepakati dalam kronologi sbagai Surah ke-50 dari 86 Surah yang turun di Mekkah maka dapat diduga Isra’ itu terjadi beberapa waktu sebelum hijrah. 

Bahkan, mengenai tanggal pun ada berbagai pendapat; misalnya, tanggal 17 bulan Rajab, 27 Rabi’ul Awwal, 29 Ramadhan, malahan ada lagi yang mengatakan 27 Rabi’ul Akhir. Semua itu memperkirakan tahunnya berkisar antara saat menjadi Rasul dan beberapa tahun sebelum hijrah (1989: 229).

Sementara Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. (2001: 19) memperkaya data dengan merinci bahwa: 

Az-Zurqani dalam “Syarah Mawahib”-nya menulis bahwa Isra’ ini kejadian pada tahun 11  Nubuwat dalam bulan Rabi’ul Awwal atau Rabiuts-Tsani atau Sya’ban (Zurqani: 1: 306 dalam Ahmad: 2001: 18).

Ibnu Mardawaih menerima riwayat dari Hadhrat ‘Abdullah bin ‘Umar r.a. yang berkata bahwa Rasulullah s.a.w. diisra’kan pada malam ke-17 bulan Rabi’ul Awwal 1 tahun sebelum Hijrah (Al-Khaqaiq: 1: 162).

Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa kejadian Isra’ ini adalah 1 tahun sebelum Hijrah. Baihaqi juga meriwayatkan dari Suda yang mengatakan bahwa Isra’ itu terjadi kira-kira 6 bulan sebelum Hijrah (Al-Khaqaiq: 1: 162).

Dari Ibnu Sa’ad dari Ummu Salamah r.a. mengatakan bahwa Isra’ itu terjadi dalam bulan Rabi’ul Awwal 1 tahun sebelum Hijrah.

Setelah itu beliau (Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a.) menyimpulkan: dengan yakin dapatlah dikatakan bahwa Isra’ terjadi 1 tahun atau 6 bulan sebelum Hijrah.

KESIMPULAN:

1. Isra’ itu dilihat Nabi s.a.w. melalui mimpi di rumah Ummu Hani r.a..

2. Isra’ terjadi 1 tahun atau 6 bulan sebelum Hijrah.

3. Isra’ itu terjadi setelah Mi’raj dengan selisih waktu antara 6-7 tahun.

4. Istilah yang lebih tepat adalah Mi’raj Isra’; bukan Isra’ Mi’raj.

   

KEPUSTAKAAN
Ahmad, Mirza Bashiruddin Mahmud (2001). Tafsir Kabir Surah Bani Israil (Ayat 1 s/d 41). Tangerang: Darul Barkat.
Ahmad, Hadhrat Mirza Tahir r.h. (2003). Tafsir Keistimewaan Kasyaf-kasyaf Rasulullahabir s.a.w.. Darsus No. 12. Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
As Sidokare, Abu Ahmad. Kitab Shahih Bukhari. Kompilasi Chm.
Hashem, H. Fu’ad (1989). Sirah Muhammad Rasulullah Kurun Makkah Suatu Penafsiran Baru. Bandung: Mizan.
Hashem, O (2007). Muhammad Sang Nabi. Jakarta: Ufuk Press.   
Ishaq, Ibnu (2012). Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah s.a.w.. Jakarta Timur: Akbar Media Eka Sarana.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran (1993). Al Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Intermasa.

Post a Comment

0 Comments