AJARAN DAN TELADAN NABI MUHAMMAD s.a.w.




Oleh : Mln. Zafar Ahmad Khudori(Muballigh Jmt. Kebumen dsk.)

Allah s.w.t. berfirman tentang Nabi Muhammad s.a.w.:

“Dan ia tidak berkata-kata menurut kehendak hawa-nafsunya; itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan oleh Tuhan” (QS 53/An-Najm: 3-4).

Kemudian Allah s.w.t. berfirman tentang perintah-Nya kepada Nabi s.a.w. dan ummatnya:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” [QS Al-Nisaa’: 36].

Berikut ini beberapa contoh penerapan wahyu Ilahi [QS Al-Nisaa’: 36] dalam kehidupan Rasulullah s.a.w., baik sabda maupun perbuatan beliau s.a.w.:

HUQUQULLAAH (HABLUM MINALLAAH)
Yang pertama adalah Huququllaah (hak-hak hamba kepada Allah) atau yang biasa kita kenal dengan Hablum-minallaah (hubungan hamba dengan Allah s.w.t.) yaitu wa’budullooha wa laa tusy-rikuu bihii syai-aa (menyembah Allah s.w.t. dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun): 

Salah satu amalan menyembah atau ibadah yang paling pokok dalam Islam ialah shalat.
Tentang Shalat dalam Situasi Sakit: Dari 'Aisyah r.a.; "Rasulullah s.a.w. pernah shalat di rumahnya ketika Belliau s.a.w. sedang sakit hingga shalat dengan duduk.
(HR Bukhari Bab: Shalat dengan Duduk, no. 1046).

Tentang Shalat dalam Situasi Perang: Dari 'Ali r.a. dari Nabi s.a.w. bahwa beliau s.a.w. bersabda pada perang Khandaq:

"Semoga Allah memenuhi rumah dan kubur mereka dengan api karena mereka telah menyibukkan kita hingga (tidak dapat melaksanakan) shalat Al-Wustha (Ashar) sampai matahari terbenam" (HR Bukhari Bab: Pertempuran Khandaq no. Hadist no. 3842).

HUQUQUL-‘IBAAD (HABLUM MINAN-NAAS)
Selanjutnya  adalah Huququl-‘Ibaad (hak-hak sesama hamba Allah) atau yang biasa kita kenal dengan Hablum-minan-naas (hubungan sesama manusia) yang dalam Ayat ini (QS 4:36) dirinci sebagai berikut:

1. Berbuat Baik kepada Ibu-Bapak (Wa-bil-Waalidaini Ihsaanaa)
Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis a.b.a. bersabda bahwa perintah ini (QS 4/An-Nisa: 36) adalah bahwa “Kalian harus melakukan kebaikan” dan dalam Ayat yang lain dikatakan:

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan: ‘ah’” (QS 17/Bani Israil: 23) yakni janganlah memperlihatkan atau mengatakan kata-kata yang tidak menyenangkan hati kedua orang tua.”

Sebab, kebaikan apa pun yang telah orangtua lakukan sewaktu ia masih kanak-kanak, tak ada seorang pun yang bisa membalasnya. Kitab Suci Al-Quran telah mengajarkan kita dengan do’a ini:

“Robbir-hamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo”, artinya, “Ya Tuhanku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka berdua telah memeliharaku sewaktu aku kecil" (QS 17/Bani Israil: 24).

Jadi doa untuk kedua orangtua ini akan mengingatkan anak-anak kepada ibu-bapaknya mengenai apa yang telah orang tua lakukan semasa mereka masih kecil.
(Khotbah ‘Idul Fithri Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis a.b.a.: 5/11/2005).

2. Karib-kerabat (wa bi-Dzil-Qurbaa)
Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis a.b.a. bersabda bahwa di dalam Ayat ini (QS 4: 36) terdapat tertib [urutan berlaku baik] yang seyogianya kita pelihara yaitu setelah kedua orang tua, orang terdekat pada seseorang adalah istri/suami-nya, anak-anaknya, saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan ….. (Khotbah ‘Idul Fithri Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis a.b.a.: 26/6/2017).

Perihal sikap terhadap istri: beliau s.a.w. sangat baik dan adil terhadap istri-istrinya. Jika pada suatu saat salah seorang di antara mereka tidak dapat membawa diri dengan hormat yang layak terhadap beliau s.a.w., beliau s.a.w. hanya tersenyum dan selanjutnya hal itu beliau s.a.w. lupakan.

Siti Khadijah r.a. adalah istri beliau s.a.w. yang pertama dan telah mengadakan pengorbanan-pengorbanan besar untuk kepentingan beliau s.a.w.. Ia jauh lebih tua daripada Rasulullah s.a.w.. Sesudah ia wafat, beliau menikah dengan wanita-wanita yang lebih muda tetapi tidak pernah kenang-kenangan kepada Khadijah r.a. itu menjadi luntur. Bila saja salah seorang dari sahabat-sahabat Khadijah berkunjung kepada beliau s.a.w., beliau biasa berdiri menyambutnya (HR Muslim).

3. Anak-anak Yatim (Wal-Yataama)
'Urwah bin Az-Zubair bercerita bahwa dia pernah bertanya kepada 'Aisyah r.a. tentang firman Allah QS 4/An-Nisa': 2, yang artinya: 


“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi …” 

'Aisyah menjawab: "Yang dimaksud Ayat itu adalah seorang anak perempuan yatim yang berada pada asuhan walinya, lalu walinya itu tertarik dengan kecantikan dan hartanya dan berhasrat untuk mengawininya namun memberikan haknya lebih rendah dari yang biasa diberikan kepada istri-istrinya sebelumnya maka mereka dilarang menikahinya kecuali bila mereka dapat berlaku adil kepada mereka, dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lain selain mereka".

'Aisyah berkata: "Kemudian orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah s.a.w. setelah itu maka Allah 'Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya QS 4/An-Nisaa': 127, yang artinya:

“dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah; Allah akan memberikan fatwa kepada kalian tentang mereka …” 

'Aisyah berkata: "Maka Allah menjelaskan dalam Ayat ini bahwa seorang anak yatim perempuan jika memiliki kecantikan dan harta lalu walinya berhasrat menikahinya namun tidak memberikan haknya dengan melengkapi mahar sebagaimana semestinya. Namun bila anak yatim perempuan itu tidak memiliki harta dan kecantikan: mereka meninggalkannya dan mencari wanita selain mereka".

Beliau s.a.w. bersabda: "Sebagaimana mereka tidak menyukainya disebabkan sedikit hartanya dan tidak cantik lalu meninggalkannya maka mereka juga tidak boleh menikahinya saat tertarik kecuali bila mereka dapat berlaku adil kepadanya dengan menunaikan maharnya secara wajar serta memberikan hak-haknya".
(HR Bukhari Bab: Firman Allah "Dan berikanlah kepada anak-anak Yatim yang sudah baligh harta mereka…" No. Hadist: 2557).

4. Orang-orang Miskin (wal-Masaakiin)
Rasulullah s.a.w. senantiasa prihatin memikirkan untuk memperbaiki keadaan golongan yang miskin dan mengangkat taraf hidup mereka di tengah-tengah masyarakat.

Sekali peristiwa, ketika beliau s.a.w. sedang duduk-duduk dengan para sahabat, berlalulah orang kaya. Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada salah seorang dari para sahabat, apa pendapatnya tentang orang itu. Ia menjawab, “Ia seorang berada lagi terkenal. Jika ia meminang seorang gadis idamannya akan diterima baik dan jika ia menjadi perantara untuk kepentingan seseorang, perantaraannya itu akan diterima.”

Tak lama kemudian, berlalu orang lain yang nampaknya miskin dan tidak mampu. Rasulullah s.a.w. menanyakan kepada sahabat tadi, bagaimana orang itu menurut pendapatnya. Ia menjawab, “Ya Rasulullah! Ia seorang orang miskin. Jika ia meminang seorang gadis, permintaannya tidak akan diterima dengan baik dan jika ia menjadi perantara untuk seseorang perantaraannya akan ditolak dan jika ia berusaha mengajak bercakap-cakap dengan seseorang, ia tidak akan mendapat perhatian.”

Setelah mendengar jawaban itu, Rasulullah s.a.w. bersabda, ”Nilai orang miskin itu jauh lebih tinggi dari nilai sejumlah emas yang cukup untuk mengisi sekalian alam” (HR Bukhari, Kitabal-Riqaq).

Tetapi, sementara Rasulullah s.a.w. menuntut supaya kaum miskin dihargai dan perasaan mereka tidak dilukai dan memenuhi segala kebutuhan mereka, beliau s.a.w. berusaha juga meresapkan rasa harga diri ke dalam hati mereka dan mengajarkan agar tidak meminta-minta.

Beliau s.a.w. biasa mengatakan bahwa meskipun tidak pantas bagi orang-orang miskin merasa puas dengan sebutir atau dua butir kurma atau sesuap atau dua suap makanan tetapi ia harus menghindarkan diri dari meminta-minta, betapa beratnya juga percobaan yang dihadapinya (HR Bukhari, Kitab al-Kusuf).

5. Tetangga yang Dekat (wal-Jaari Dzil-Qurbaa) dan 6. Tetangga yang Jauh (wal-Jaaril-Junubi)
Di antara tetangga itu ada yang masih kerabat dan yang bukan kerabat bahkan terdapat pula tetangga-tetangga yang merentang panjang hingga tingkat yang telah beliau (Hadhrat Masih Mau’ud) a.s. terangkan pada suatu tempat bahwa silsilah tetangga-tetangga kalian itu terbentang hingga 40 buah rumah bahkan hingga 100 rumah.

Kemudian dia yang duduk beserta kalian di pertemuan-pertemuan kalian, di masjid dan pada waktu shalat Jumat, mereka semua termasuk ke dalam kategori tetangga. Mereka yang melakukan perjalanan bersama-sama dengan kalian mereka pun menjadi tetangga kalian dan kalian harus berlaku baik terhadap mereka (Khotbah ‘Idul Fithri Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis a.b.a.: 26/6/2017).

Dari Aisyah r.a. dari Nabi s.a.w. beliau bersabda:

"Jibril senantiasa mewasiatkanku untuk berbuat baik terhadap tetangga sehingga aku mengira tetangga juga akan mendapatkan harta waris" (HR Bukhari Bab: Wasiat Jibril kepada Tetangga, no: 5555).

7. Teman Sejawat (wash-Shoohi bil-Janbi), 8. Musafir (wabnis Sabiil) dan 9. Hamba Sahaya (wa Maa Malakat Aimaanukum)
Kemudian kalian harus berlaku baik terhadap yang dimiliki oleh tangan kanan kalian dan membantunya.

Termasuk “maa malakat aimaanuum” ialah semua binatang yang kalian pelihara [baca “Casyma-e-Ma’rifat” karya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Hlm. 200]. Dalam hal ini, beliau a.s. menerangkan bahwa kepada semua hewan pun hendaknya kita harus berlaku baik juga” (Khotbah ‘Idul Fithri Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis a.b.a.: 26/6/2017).

Dari Ibnu 'Umar r.a. dari Nabi s.a.w. bersabda:

"Barang siapa yang membebaskan hak kepemilikan seorang budak maka ia berkewajiban untuk membebaskan seluruhnya. Seandainya dia memiliki harta sebanyak harga budaknya maka budaknya ditaksir dengan harga normal dan teman yang memiliki hak berserikat itu diberikan hak bagiannya dan budak dibebaskan".
(HR Bukhari Bab: Berserikat dalam Kepemilikan Budak dan selainnya, no. 2321).

Khusus tentang budak-budak, beliau s.a.w. senantiasa menganjurkan kepada mereka yang mempunyai budak-budak supaya memperlakukan mereka dengan baik serta kasih sayang. Beliau s.a.w. menetapkan bahwa jika si pemilik memukul budaknya atau memaki-makinya maka satu-satunya perbaikan yang dapat dilakukannya ialah memerdekakannya (HR Muslim, Kitab al-Iman).

Tentang hewan-hewan, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ada seorang laki-laki (rojul) yang sedang berjalan lalu dia merasakan kehausan yang sangat sehingga dia turun ke suatu sumur lalu minum dari air sumur tersebut. Ketika dia keluar didapatkannya seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan.

Orang itu berkata: "Anjing ini sedang kehausan seperti yang aku alami tadi". Maka dia (turun kembali ke dalam sumur) dan diisinya sepatunya dengan air dan sambil menggigit sepatunya dengan mulutnya dia naik keatas lalu memberi anjing itu minum. Kemudian dia bersyukur kepada Allah maka Allah mengampuninya".

Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah kita akan dapat pahala dengan berbuat baik kepada hewan?"

Beliau s.a.w. menjawab: "Terhadap setiap makhluk bernyawa diberi pahala" (HR Bukhari, Bab: Memberi air minum. No. Hadist: 2190).

Dari 'Abdullah bin 'Umar r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: "Ada seorang wanita disiksa disebabkan mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan lalu wanita itupun masuk neraka". Nafi' berkata: Beliau berkata: "Sungguh Allah Maha Mengetahui bahwa kamu tidak memberinya makan dan minum ketika engkau mengurungnya dan tidak membiarkannya berkeliaran sehingga dia dapat memakan serangga tanah" (HR Bukhari, Bab: Memberi air minum. No. Hadist: 2192).

Demikianlah contoh-contoh ajaran dan teladan Nabi Muhammad s.a.w. sesuai dengan firman Allah s.w.t.:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (QS 33:21/Terjemah Versi Depag RI).

Di akhir Ayat 36 Surah 4/An-Nisa’ di atas, Allah s.w.t. berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” [QS Al-Nisaa’: 36].

Maksudnya: bila perkataan dan perbuatan kita tidak sesuai dengan firman Allah s.w.t. dan sabda dan teladan Nabi-Nya di atas maka kita akan termasuk kepada golongan orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. Dan itu merupakan sikap yang tidak disukai oleh Allah s.w.t..
Na’u-dzubilaahi min dzaalik. Semoga Allah s.w.t. menjauhkan kita dari sikap seperti itu.

Post a Comment

0 Comments