HUKUMAN MURTAD DAN TUDUHAN PADA AHMADIYAH





Oleh : Mln. Harpan Aziz Ahmad

Beberapa hari lalu saya mendapatkan sebuah video dengan judul “Benarkah Darah Ahmadiyah Halal Dibunuh dan Boleh Diperangi?” Judul video tersebut rupanya mengutip pertanyaan seorang santri kepada gurunya, yang kemudian dijawab oleh sang Buya: 

“Orang Ahmadiyah keluar dari iman di saat mengakui adanya lagi nabi setelah Rasulullah saw. Dan, orang yang asalnya Islam keluar dari Islam namanya murtad, dan memang orang murtad itu hukumannya tiada lain kecuali dibunuh jika tidak bertobat.” 

Demikian kira-kira jawaban sang guru dengan sedikit tambahan bahwa kewenangan untuk membunuh itu harus atas perintah imam.

Jawaban atas pertanyaan tersebut jelas terlalu dini lagi mentah karena tidak berpijak pada nash dan argumen yang kuat. Terkait hukum bunuh bagi orang murtad misalnya, apakah benar demikian? Bagaimana Alquran berbicara tentang orang murtad? Dan bagaimana Rasulullah saw memperlakukan orang-orang yang murtad? 

Belum lagi berbicara tentang Ahmadiyah, sudahkah sang Buya bertabayun? Sehingga tahu benar kedudukan Ahmadiyah dan apa yang menjadi aqidahnya, yang kemudian merasa layak melemparkan tuduhan murtad atasnya?

Atas ketergesa-gesaan Sang Buya tersebut maka perlu kiranya diberikan tanggapan guna menjernihkan kekeliruan dan ketidaktepatannya.

Penjelasan Al-Quran Tentang Hukum Orang Murtad
Banyak ayat dalam Alquran yang berbicara tentang orang-orang yang murtad di masa awal keislaman. Dalam ayat ke 54 Surah Al-Maidah misalnya, Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya maka Allah akan segera mendatangkan suatu kaum, Dia akan mencintai mereka dan mereka pun akan mencintai-Nya, mereka akan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang beriman dan keras terhadap orang-orang kafir. 

Mereka akan berjihad di jalan Allah dan tidak takut akan celaan seorang pencela. Itulah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah Mahaluas karunia-Nya, Maha Mengetahui.”

Ayat ini secara nyata menolak pemikiran bahwa balasan bagi orang yang murtad adalah hukuman mati. Difirmankan bahwa kalau ada salah seorang di antara kamu murtad maka Allah SWT akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai oleh-Nya dan mereka pun akan mencintai-Nya, mereka akan bersikap lemah lembut kepada orang-orang mukmin dan keras kepada orang kafir.

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan pernah diterima darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi. Bagaimana mungkin Allah akan memberi petunjuk kepada suatu kaum yang kafir setelah mereka beriman, dan mereka telah menjadi saksi pula bahwa Rasul itu benar, dan juga telah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata? 

Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang aniaya. Mereka itulah orang-orang yang balasannya atas mereka adalah laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka tinggal lama di dalamnya, azab tidak akan diringankan bagi mereka, dan tidak pula mereka akan diberi tangguh. Kecuali orang-orang yang bertobat setelah itu dan melakukan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran ayat 85-89)

Secara pasti dalam ayat ini pun tidak kita dapati hukuman di dunia bagi mereka yang murtad dari agamanya, adapun hukuman yang disebutkan dalam ayat ini adalah hukuman yang akan mereka peroleh di akhirat kelak, yaitu mereka akan termasuk orang-orang yang merugi dan mendapatkan azab yang keras dari Allah SWT. 

Dan, hukuman itu pun dengan syarat bahwa mereka tidak bertobat dari kekeliruannya, karena jika mereka bertobat dan memperbaiki diri maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Sampai di sini kiranya jelas bahwa Islam sama sekali tidak mengizinkan menumpahkan darah seseorang hanya karena masalah ketidak-imanan semata. Sebagai agama yang hak, keindahan ajaran Islam sudah sangat memadai bagi mereka yang menghendaki kebaikan untuk terus beristiqomah di atasnya, ‘Laa iqroha fiddiin, qad tabayyana rusydu minal gayyi’

Bahkan, adanya unsur pemaksaan dalam keimanan akan bertentangan dengan ajarannya itu sendiri dan melunturkan sisi keindahan yang menjadi ciri khas Islam sebagai rahmatan lil’alamiin.

Perlakuan Rasulullah Saw Terhadap Orang Murtad
Di samping tuntunan Alquran, sejarah kehidupan Nabi Muhammad Saw yang penuh berkat pun menunjukan hal yang sama bahwa tidak ada hukuman bunuh bagi mereka yang semata-mata murtad dari keimanannya.

Tidak sedikit riwayat-riwayat yang dianggap shahih mengisahkan tentang praktik murtad di masa-masa awal Islam. Al-Bukhari misalnya, dalam Shahih Al-Bukhari di bab Alamat Nubuwwah fi al-Islam meriwayatkan sebuah hadits riwayat Anas bin Malik ra yang menceritakan bahwa ada seorang Nasrani dari Bani Najjar yang masuk Islam. 

Saat memeluk Islam, ia membaca dan menulis surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Ia pun memiliki kedudukan sebagai sekretaris Nabi Saw. Selanjutnya, ia murtad dan kembali memeluk Nasrani. Setelah itu berkata, “Muhammad tidak mengetahui (dariku) kecuali apa yang aku tuliskan untuknya.”

Dalam kisah ini, tidak diceritakan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan sahabat untuk mencari sahabat yang murtad tadi dan tidak ada pula perintah untuk membunuhnya. Atau dengan kata lain Nabi Saw hanya membiarkannya.

Kisah lain adalah setelah peristiwa isra-mi’raj, ada sebagian sahabat Nabi Saw yang masuk Islam menjadi murtad setelah Nabi Saw menceritakan pengalaman Isra dan Mi’rajnya. Ibnu Hisyam melalui riwayat yang didapat dari Ibnu Ishak dari hadits riwayat al-Hasan prihal pengalaman Nabi tentang Isra berkara:

“…… banyak orang yang telah masuk Islam menjadi murtad.” Namun, di sini Ibnu Hisyam tidak menyebutkan identitas orang-orang yang murtad tersebut.

Sementara itu, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak meriwayatkan hadits riwayat Aisyah ra, beliau berkata, “Ketika Nabi Saw melakukan perjalanan malam ke Mesjid Al-Aqsha, banyak orang yang tidak mempercayainya sehingga ada banyak orang yang telah beriman dan mempercayai Nabi Saw menjadi murtad..”

Fenomena murtadnya para sahabat Nabi Saw di masa awal juga terjadi setelah peristiwa hijrah ke Habsyah, di antanya adalah Abdullah bin Jahsy dan Sukran bin Amru. Terkait murtadnya Abdullah bin Jahsy ini Ibnu Hisyam meriwayatkan kisahnya dari Ibnu Ishak: 

“Abdullah bin Jahsy berhijrah ke Habsyah bersama orang-orang muslim lainnya. Ia hijrah ke Habsyah juga bersama istrinya yang bernama Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Tatkala sampai di Habsyah, ia menganut agama Nasrani dan keluar dari agama Islam sampai wafat sebagai Nasrani di sana.”

Sedangkan, terkait murtadnya Sukran bin Amru, Al-Baladzari dalam Ansab al-Asyraf menyebutkan, “as-Sukran pulang ke Mekah lalu pulang lagi ke Habsyah dalam keadaan murtad atau menjadi Nasrani dan ia mati di sana..” 

Riwayat yang dinarasikan al-Baladzari ini disebutkan dalam beberapa kitab sejarah seperti Tabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, Usdul Ghabah fi Ma’arifah as-Sahabah karya al-Jazari dan Tarikh al-Umam wa al-Muluk karya at-Tabari.

Dari beberapa keterangan tersebut, pun tidak ada cerita mengenai reaksi Nabi Saw terhadap orang-orang yang telah murtad dan keluar dari agama Islam. Sehingga Alquran menggambarkan kondisi tersebut dengan sangat terang yakni:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir, kemudian semakin bertambah dalam kekafiran, Allah tidak akan pernah mengampuni mereka dan tidak pula akan menunjuki mereka jalan yang lurus.” (Qs. An-Nisa, 4:137)

Singkat kata, jika balasan untuk kemurtadan itu adalah hukuman mati maka tidak akan mungkin disebut tentang keimanan dan kekafiran yang berulang-ulang.

Ahmadiyah Murtad Karena Menyakini Adanya Nabi Setelah Rasulullah Saw ?
Hal berikutnya yang perlu diluruskan adalah perihal tuduhan murtad kepada Ahmadiyah yang kemudian menjadi alasan ‘halalnya’ darah para Ahmadi (sebutan untuk pengikut Ahmadiyah), sang Buya mengatakan, “Orang Ahmadiyah keluar dari iman di saat mengakui adanya lagi nabi setelah Rasulullah saw. Dan orang yang asalnya Islam keluar dari Islam namanya murtad,…”

Dari penjelasan tersebut nampak jelas bahwa sang Buya tidak faham kedudukan Ahmadiyah dan aqidah yang dianutnya. Sebab, dasar keyakinan Ahmadiyah perihal adanya ‘kenabian’ paska Rasulullah Saw bukanlah sebuah kenabian dalam corak yang baru, melainkan kenabian yang memang menjadi aqidah dalam Islam itu sendiri yakni sosok Imam Mahdi dan Isa Al-Masih yang dijanjikan kedatangannya, baik dalam Al-Quran atau Al-Hadits.

Al-Quran Surah Jum’ah ayat ketiga misalnya, mengabarkan nubuwatan tentang akan bangkitnya seorang Zilli (bayangan) Rasulullah Saw:

وَّاٰخَرِيْنَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوْا بِهِمْۗوَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Dan Dia akan membangkitkannya juga pada kaum lain dari antara mereka yang belum bertemu dengan mereka, dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”

Dalam ayat ini ‘aakhariin’ yang disebutkan adalah menyinggung kebangkitan rasul yang telah disebutkan dalam ayat sebelumnya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Rasulullah Saw. Namun, tentu Rasulullah Saw tidak akan bangkit lagi secara jasmani untuk kedua kalinya, melainkan yang akan bangkit adalah seorang Zilli (bayangan) beliau. 

Hal ini diperkuat oleh ayat berikutnya, yakni:

ذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَآءُۗوَا للّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ

“Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki; Dan Allah Mempunyai karunia yang besar.”

Penggunaan kata ‘yu’thihi mayyasaa’ mengandung makna kebangkitan Rasulullah Saw kedua kali, dalam sosok seorang nabi umati (umat Rasulullah Saw) yang akan tampil sebagai khadim beliau Saw, kehormatan ini merupakan buah karunia yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, Allah Pemilik karunia yang besar. 

Kesimpulan ini diperkuat dengan hadits Bukhari dimana ketika ayat ini dibacakan seorang sahabat bertanya: ‘manhum ya Rasulullah?’ atas pertanyaan itu Rasulullah Saw meletakan tangan beliau diatas pundak Salman Al-Farsi ra. Seraya bersabda, “Jika iman telah terbang ke bintang Tsurayya, salah seorang atau beberapa orang laki-laki dari orang-orang ini akan membawanya kembali.” 

Dengan begitu secara meyakinkan Rasulullah Saw secara pribadi tidak akan dibangkitkan kembali, melainkan seorang hamba dari kalangan umat beliau Saw.

Dalam corak yang lain, berupa hadits Rasulullah Saw misalnya;

“Yusyiku man ‘aasa minkum an-yalqoo ‘iisaa ibnu Maryam imaaman mahdiyyan wahakaman ‘adalan”.

Yakni, hampir dekat saatnya orang yang hidup di antara kamu akan bertemu dengan Isa ibnu Maryam, yang menjadi Imam Mahdi dan Hakim yang adil (Musnad Ahmad bin Hambal, jld. II, p.411).

Sosok Isa yang disebut dalam hadits ini tentu bukan Isa yang diutus kepada Bani Israil, karena Al-Quran secara jelas menyatakan tentang kewafatannya (Qs.Ali-Imran,3:56,145). Untuk itu, harus dimaknai mitsal Isa yang akan bangkit dari umat Rasulullah Saw.

Jadi, dalam corak demikianlah keyakinan Ahmadiyah perihal adanya nabi setelah Rasulullah Saw. Perlu menjadi catatan bahwa hadits-hadits tentang datangnya Al-Mahdi dan Isa Al-Masih as itu berada pada taraf mutawatir (Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Hujajul-Kiramah, hal. 434). 

Bahkan, menurut ulama Ahlus-Sunnah wal-Jamaah beriman kepada Imam Mahdi atau Nabi Isa as adalah wajib (Lawaikhul-Anwaril-Bahiyah, Juz II, hal. 80). Oleh karenya, tidak kah menjadi aneh jika seorang muslim yang berpegang pada nash-nash Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Saw dihukumi sebagai murtad? Jika pun Buya memiliki pandangan lain, tentu tidak perlu memurtadkan mereka yang berbeda pandangan. 


Terlalu murah kiranya nilai kemuliaan seorang manusia jika harus ditumpahkan darahnya hanya karena perbedaan. Bukankah hati tempat bersarangnya iman itu milik Allah? Yang apabila Dia kehendaki seluruhnya dapat dibuat-Nya sama beriman pada satu ketetapan? Lantas, betapa angkuhnya manusia yang punya banyak keterbatasan, karena merasa benar lalu mengobral murah darah dan nyawa sesamanya.

Post a Comment

0 Comments