TIDAK ADA MONOPOLI DALAM KEBAIKAN (No Monopoly in Goodness)




Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori (Muballigh Jemaat Kebumen)

Allah s.w.t.befirman:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَّبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَّبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًا()

Artinya,“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun;dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat,tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” [QS Al-Nisaa’: 37].

DUA PERINTAH
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah berfirman tentang dua perintah yang menjadi kewajiban bagi kita yaitu Huquuqulloo(pelaksanaan kewajiban kepada Allah) dan HuquuqulIbaa(pelaksanaan kewajiban kepada sesama makhluk Allah).

Huquuqulloo(pelaksanaan kewajiban kepada Allah) di sini adalah: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”
Sedangkan, HuquuqulIbaa(pelaksanaan kewajiban kepada sesama makhluk Allah) meliputi:
“… dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat,tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.

Pada kesempatan ini kita akan lebih fokus pada tema Huquuqul ‘Ibaad yaitu ihsaan (berbuat baik) kepada sesama. Sebelum jauh memasuki tema ini mari kita telusuri serba-serbi kata ihsaan.

IHSAAN MENURUT KAMUS
Ihsaan berasal dari kata hasuna – husnan yang berarti kaana jamiilan yaitu bagus, baik, cantik.
Al-hasanatu = al-‘amalul hasanu yaitu perbuatan baik, kebajikan.
Sedang al-ihsaan berarti fi’lul khoiiri yaitu hal berbuat kebaikan.
Sumber: Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia: 1997, hlm. 264-265. 

IHSAAN MENURUT AL-QUR-AN
Allah s.w.t. berfirman: Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan ihsaan (berbuat kebaikan) dan memberi kepada kaum kerabat; dan melarang dari perbuatan keji dan hal yang tidak disenangi, dan memberontak. Dia memberi kamu nasihat supaya kamu mengambil pelajaran” (QS 16/An-Nahl: 91).

TIGA MACAM KEBAIKAN
Ayat ini (QS 16/An-Nahl: 91) mengandung macam perintah dan macam larangan, yang secara singkat membahas semua macam derajat perkembangan akhlak dan kerohanian manusia, bersama segi kebaikan dan keburukannya masing-masing. 
Ayat ini menganjurkan berlaku adil, ihsaan (berbuat baikkepada orang lain dan kasih-sayang antara kaum kerabat; dan melarang berbuat hal yang tidak senonoh, berbuat keburukan dan pelanggaran yang nyata.
Keadilan mengandung arti bahwa seseorang harus memperlakukan orang-orang lain seperti ia diperlakukan oleh mereka. Ia hendaknya membalas kebaikan dan keburukan orang-orang lain secara setimpal menurut besarnya dan ukurannya yang diterima olehnya dari mereka.
Lebih tinggi dari  adl (keadilan) adalah derajat ihsaa(kebaikan) bila manusia harus berbuat kebaikan kepada orang-orang lain tanpa mengindahkan macamnya perlakuan yang diterima oleh mereka, atau, sekalipun ia diperlakukan buruk oleh mereka. Perbuatannya tidak boleh digerakkan oleh pertimbangan-pertimbangan menuntut balas. 
Pada derajat perkembangan akhlak terakhir dan tertinggi ialah iitaai dzil-qurbaa (memberi seperti kepada kerabat), seorang mukmin diharapkan untuk berlaku baik terhadap orang-orang lain, bukan sebagai membalas sesuatu kebaikan yang diterima dari mereka; begitu pun tidak dengan pertimbangan untuk berbuat lebih baik dari kebaikan yang ia peroleh, melainkan untuk berbuat kebaikan yang ditimbulkan oleh dorongan fitri, seperti ia berbuat baik kepada orang-orang yang mempunyai perhubungan darah yang dekat sekali. 
Keadaanya pada derajat ini serupa dengan keadaan seorang ibu yang menyusui anak yang kecintaan terhadap anak-anaknya bersumber pada dorongan fitri. Sesudah orang mukmin mencapai derajat ini perkembangan akhlaknya menjadi sempurna(Catatan “Tafsir” No. 1570 karya Malik Ghulam Farid).

IHSAAN MENURUT HADITS 
Nabi Muhammad s.a.w. bersabda bahwa ihsaan itu ialah “An ta’budallooha ka-annaka taroohu fa-in-lam takun taroohu fa-innahu yarooka, ”artinya, “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu” (HR Muslim).

PENJELASAN HADHRAT MASIH MAU’UD a.s.
Hadhrat Masih Mau’ud  a.s. menjelaskan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan agar kamu berbuat kebaikan sebagai balasan terhadap kebaikan. Dan apabila kamu mendapat kesempatan serta kemungkinan untuk berbuat lebih dari bersikap adil, maka berbuatlah ihsaan
Dan apa­bila lebih dari ihsaan kamu mendapat kesempatan serta kemungkinan berbuat baik seperti kepada kaum kerabat yang timbul dari dorongan alami maka berbuatlah kebaikan dengan kasih sayang alami. 
Di dalam ayat suci ini diuraikan tiga derajat berbuat kebaikan.
Derajat per­tama ialah berbuat kebaikan sebagai balasan terhadap kebaikan. Ini merupakan derajat rendah. Dan orang-orang yang memiliki peradaban paling rendah dapat memiliki akhlak ini yaitu ia tetap berbuat kebaikan terhadap orang‑orang yang berbuat baik kepadanya.
Derajat kedua adalah lebih sulit dari derajat pertama. Yakni, pertama‑tama ia sendiri yang berbuat kebaikan, dan tanpa adanya hak pada seseorang ia memberikan manfaat kepada orang itu sebagai perbuatan baik yang lebih (ihsaan). Dan ini merupakan akhlak derajat menengah. Kebanyakan orang berbuat kebaikan kepada orang‑orang miskin. 
Dalam berbuat ihsaan itu terselip suatu aib terselubung. Yakni, orang yang berbuat ihsaan mempunyai pikiran bahwa ia telah berbuat ihsaan dan sekurang-kurangnya sebagai imbalan ihsaan tersebut dia menginginkan ucapan terima kasih atau do’a. Dan apabila orang yang telah menerima kebaikannya itu melawannya maka dia menyebut orang itu tidak tahu membalas budi. Kadangkala, disebabkan oleh ihsaan-nya seseorang telah meletakkan beban yang tak terpikulkan pada orang lain dan mengungkit‑ungkit ihsaan itu kepadanya.
Derajat ketiga berbuat kebaikan yang telah diterangkan oleh Allah Ta’ala ialah, hendaknya jangan sampai ada anggapan telah melakukan kebaikan yang lebih (ihsaandan tidak mengharap­kan balasan terima kasih. Melainkan, hendaklah kebaikan itu dilakukan atas dorong­an rasa kasih sebagaimana terhadap kerabat terdekat (ii-taa-dzil-qurbaa). Misalnya, seorang ibu berbuat kebaikan terhadap anaknya se­mata‑mata hanya karena dorongan rasa kasih. 
Inilah derajat terakhir dalam rangka berbuat kebaikan yang tidak mungkin lagi ada langkah lebih dari itu. Akan tetapi, Allah Ta’ala telah mengaitkan semua jenis perbuatan baik itu dengan tempat dan keadaan yang tepat. Dan, di dalam Ayat tersebut di atas, telah diterangkan dengan jelas, apabila kebaikan-kebaikan itu dilakukan tidak pada tempatnya masing-masing, maka akan berubah men-jadi keburukan.
Dari ‘adl akan berubah menjadi fahsya yaitu demikian rupa melampaui batas sehingga keadaannya berubah men­jadi buruk. Demikian pula dari ihsaan akan berubah menjadi munkar yaitu keadaan yang ditolak oleh akal dan hati nurani. Dan dari ii-taa-dzil-qurbaakan berubah menjadi bagh-yyaitu dorongan rasa kasih yang tidak pada tempatnya sehingga akan menimbulkan suatu keadaan yang buruk. 
Pada dasarnya yang disebut bagh-yitu adalah hujan yang turun melampaui batas dan membinasakan sawah ladang. Atau, sikap keterlaluan yang melebihi hak semestinya, juga merupakan bagh-y(Filsafat Ajaran Islam: 2008. Hlm. 51-53).

IHSAAN UNTUK SEMUA LAPISAN
Di dalam Ayat datas (QS 4: 37) terdapat tertib [urutan berlaku baik] yang seyogianya kita pelihara yaitu setelah kedua orang tua, orang terdekat pada seseorang adalah istrinya,anak-anaknyasaudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan kemudian membantu makhluk Allah Ta’ala. 
Ada para tetangga. Di antara tetangga itu ada yang masih kerabat dan yang bukan kerabat bahkan terdapat pula tetangga-tetangga yang merentang panjang hingga tingkat yang telah beliaua.s. terangkan pada suatu tempat bahwa silsilah tetangga-tetangga kalian itu terbentang hingga 40 buah rumah bahkan hingga seratus rumah. 
Kemudian, dia yang duduk beserta kalian di pertemuan-pertemuan kalian, di masjid dan pada waktu shalat Jumat, mereka semua termasuk ke dalam kategori tetangga. Mereka yang melakukan perjalanan bersama-sama dengan kalian mereka pun menjadi tetangga kalian dan kalian harus berlaku baik terhadap mereka. Kemudian kalian harus berlaku baik terhadap yang dimiliki oleh tangan kanan kalian dan membantunya(Khotbah ‘Idul Fithri Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis:26/6/2017).
Termasuk “maa malakat aimaanuum” ialah semua binatang yang kalian pelihara [baca “Casyma-e-Ma’rifatkarya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Hlm.200]. Dalam hal inibeliau a.smenerangkan bahwa kepada semua hewan pun hendaknya kita harus berlaku baik juga.

Pada kenyataannya, hakikat slogan atau motto yang kita teriakkan yaitu “Love for All Hatredfor None” (Mencintai Semua Orang, Tiada Kebencian bagi Siapa pun) itu akan membuat seseorang meningkat kepedulian dan kecintaan terhadap sesama sehingga mereka akan menganggap penderitaan sesamanya sebagai penderitaannya.
Sebagaimana perlu juga mengobati jasmani mereka. Suatu Jemaat itu tidak dianggap suatu Jemaat selama orang-orang yang kuat belum menopang saudara-saudara mereka yang lemah.Satu cara untuk itu ialah dengan menutupi kelemahan mereka.
Begitu juga penting bagi orang besar (berkedudukan) untuk mengkhidmati yang kecil (orang biasa) dan memperlakukannya dengan kecintaan dan kelembutan.
Hadhrat Khaliatul Masih V a.b.a. menyatakanbahwa kita harus sungguh-sungguh berupaya untuk menyebarkan kecintaan, harmoni, persaudaraan, menjalankan kewajiban-kewajiban di segala segi dan pada setiap jenjang(Khotbah ‘Idul Fithri:26/6/2017).

NO MONOPOLY IN GOODNESS
Kalimat ini dapat kita temukan di bukuA Man of Godkarya Iain Adamson(Bristol, 1990: 27-31). Pada subjudul itu antara lain, Penulis menceritakan:
Hormat kepada agama-agama lainnya merupakan pokok ajaran beliau (Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. ayahanda dari Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.h.kepada anak-anak. Mereka diingatkan untuk tidak menganggap bahwa kesalehan, amal baik dan nilai-nilai ruhani sebagai monopoli agama Islam. 
Bukan jugacontoh seorang Muslim yang baik jika seseorang menghindari tetangganya hanya karena ia itu beragama Hindu atau Sikh.
“Kami diperintahkan untuk tidak menentang keyakinan agama lain melalui polemik, tetapi berdasar perbedaanopini yang nyata. Kami tidak diizinkan mengalihkan perbedaan opini itu menjadi antagonisme dalam perilaku kehidupan sehari-hari”(Diterjemahkan oleh A.Q. Khalid).

Sumber:
Adamson, Iain. A Man of God:The Live of Khalifatul Masih IV, George Shepherd Publishers,  Maggs House, Bristol, 1990.
Adamson, Iain. SeorangHambaAllah:Riwayat HidupHazrat Khalifatul Masih IV, Penerjrmah: A.Q. Khalid, Tanpa Tahun. 
Ahmad a.s.Hadhrat Mirza Ghulam. Filsafat Ajaran Islam,Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bogor,2008.
Ahmad a.b.a., Hadhrat Mirza Masroor. Khotbah ‘Idul Fithri Hadhrat Khalifatul Masih al-Khaamis 26Juni 2017M,Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.2017.
Farid, Malik Ghulam. Al-Qur’an Terjemah dan Tafsir Singkat, Neratja Press, Jakarta, 2014.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997.

Post a Comment

0 Comments