BAI’AT DALAM ISLAM




بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده و نصلى على رسوله الكريم و على عبده المسيح الموعود

Oleh : Mln. Dian Kamiluddin

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًاعَظِيمًا

Sesungguhnya orang-orang yang baiat kepada engkau sebenarnya mereka baiat kepada Allah. Tangan Allah ada di atas tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janjinya, maka ia memutuskannya untuk kerugian dirinya sendiri; dan barangsiapa menyempurnakan apa yang dia telah janjikan kepada Allah, maka Dia segera akan memberinya ganjaran yang besar.[1]

Bai’at berasal dari bahasa Arab yaitu, باع - يبيع - بيعا - بيعة yang artinya adalah menjual. Maksud dari menjual ini ialah bahwa “Orang mukmin menjual dirinya serta apapun yang dia miliki kepada Allah SWT sebagai pembeli dengan bayaran berupa Surga.”

Bai’at merupakan ajaran yang ada pada setiap agama, yang kemudian ditegakkan dan dilestarikan kembali oleh Islam melalui sunnah. Hadhrat RasuluLlaah ﷺ dan diteruskan oleh Khulafa-ur-Rasyidin.

Bai’at merupakan pengikat, sebagai bukti kesetiaan dan ketaatan seseorang ketika masuk ke dalam Jemaah Islam yang dikehendaki oleh Allah SWT dan Rasul-Nya  yang mana manfaat dari bai’at ini adalah perjuangan dan pengorbanan setiap orang akan lebih beberkah, bahkan akan menciptakan persatuan yang mendatangkan kekuatan dan keindahan Islam dan umatnya. 

Oleh sebab itu, orang yang mati tanpa ikatan bai’at berarti mati seperti orang jahiliyyah yaitu tuna ilmu. Karena, potensi dirinya tidak dipersembahkan untuk keperluan Jemaah Islam. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Hadhrat RasuluLlaah ﷺ bersabda:

و من مات و ليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية

“Siapa yang mati, padahal tidak ada bai’at atas dirinya, maka berarti ia mati seperti kematian orang yang tidak mengerti.”[2]

Pada hakikatnya, bai’at itu ditujukan kepada Allah SWT karena Dia yang memiliki Surga sebagai sarana untuk membeli orang-orang mukmin yang telah menyatakan bai’at. Tetapi, dalam prakteknya Allah Taala mewakilkan penerimaan bai’at tersebut kepada Nabi Besar Muhammad ﷺ sebagai wakil-Nya di bumi pada saat itu, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Fath ayat 10.

Namun, setelah Hadhrat RasuluLlaah ﷺ wafat, maka estafet penerimaan bai’at diteruskan oleh para Khalifah beliau , yaitu Hadhrat Abu Bakar ra, Hadhrat Umar bin Khattab ra, Hadhrat Utsman bin Affan ra dan Hadhrat Ali bin Abi Thalib ra sehingga meskipun para sahabat ra sudah berbai’at kepada Hadhrat RasuluLlaah , para sahabat ra berbai’at kembali kepada Hadhrat Abu Bakar ra ketika beliau ra terpilih menjadi Khalifah.[3] Demikian pula Hadhrat Umar bin Khattab ra memerintahkan kepada manusia/sahabat agar berbai’at kepadanya, lalu mereka pun bai’at.[4]

Maka, dengan bai’at tersebut umat Islam tetap bersatu dalam dalam satu jama’ah yang dipimpin oleh satu Imam. Tapi sebaliknya, jika umat Islam tidak ada ikatan bai’at maka akan mudah terpecah-belah dan saling bertentangan satu dengan lainnya. Bahkan, bisa menimbulkan permusuhan dan peperangan, yang bisa merusak citra Islam dan lemahnya kaum Muslimin.

Dengan demikian, untuk menghindari kondisi seperti itu, Hadhrat RasuluLlaah ﷺ menyuruh umat Islam berbai’at kepada Al-Mahdi di zaman ini sebagai wakil beliau ﷺ dan KhalifatuLlaah agar terciptanya persatuan dan kesatuan di dalam umat Islam. Sebagaimana dalam sebuah hadits disebutkan:

فاذا رأيتموه فبايعوه ولو حبوا على الثلج فانه خليفة الله المهدى

Maka apabila kamu sekalian melihatnya, yaitu Al-Mahdi maka berbai’atlah kamu kepadanya meskipun harus merangkak di atas salju, karena ia KhalifatuLlaah, Al-Mahdi.[5]

Dengan demikian, sangat meyakinkan bahwa bai’at itu sunnah RasuluLlaah ﷺ dan sunnah Khulafaur Rasyidin ra dan di akhir zaman ini dilanjutkan serta ditegakkan kembali oleh Imam Mahdi sesuai perintah panutan kita, yaitu Hadhrat Mustafa Muhammad ﷺ agar umat Islam terikat dalam satu ikatan jama’ah Islam yang mendunia dan rahmat bagi sekalian alam.



[1]QS. Al-Fath ayat 10
[2]HR. Ahmad bin Hanbal dan Kanzul Umal Juz I/463
[3]HR. Al-Harits, Ibnu Jarir, Bukhari dan Muslim; dan Kanzul Umal, Juz V/14109
[4]HR. Bukhari dan Muslim, dan Kanzul Umal, Juz V/14135
[5]HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Tsauban ra dan Kanzul Umal Juz XIV/38658

Post a Comment

0 Comments