MEMAHAMI TAFSIR AYAT “KHOOTAMAN NABIYYIIN”


Oleh: Mln. Zafar Ahmad Khudori

Tema ini berpangkal dari firman Allah s.w.t.:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا


Menurut Depag RI, Terjemah QS 33/Al-Ahzab: 40 ini adalah: 

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Sedangkan tafsirnya adalah sebagai berikut yaitu, “Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah s.a.w.” (Catatan Tafsir No. 1223/Depag RI).

ASBAABUN NUZUUL
Untuk memperjelas terjemah dan tafsir Depag RI di atas, marilah kita lihat asbaabun nuzuul ayat tersebut:

Asbaabun nuzuul-nya terdiri dari ayat-ayat Alquran sebelum ayat 40, yaitu Ayat 36-37 dan hadits-hadits yang meriwayatkan sebab-sebab turunnya ayat tersebut:

Ayat ke-1: QS 33/Al-Ahzab: 36:

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”

Hadits ke-1: Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi s.a.w. melamarkan Zainab untuk Zaid, tetapi Zainab mengira bahwa Rasulullah s.a.w. melamar untuk dirinya. Ketika Zainab tahu bahwa Rasulullah s.a.w. melamarkan untuk Zaid, ia menolaknya.

Ayat ini (QS 33: 36) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut di atas yang melarang kaum mukminin menolak ketetapan Rasul-Nya. Setelah turun ayat ini, Zainab pun menerima lamaran itu.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dengan sanad yang shahih yang bersumber dari Qatadah.

Hadits ke-2: Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Nabi s.a.w. melamarkan Zainab binti Jahsyin untuk Zaid bin Haritsah akan tetapi ditolak dan berkata dengan sombongnya, “Keturunanku lebih mulia daripadanya.”

Ayat ini (QS 33: 36) turun berkenaan dengan peristiwa di atas sebagai perintah untuk menerima ketetapan Allah dan Rasul-Nya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas. Pun, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al-‘Ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.

Ayat ke-2: QS 33/Al-Ahzab: 37:
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. 

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia [1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya [1220]. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Catatan Tafsir Depag RI:

[1219]. Maksudnya: setelah habis idahnya.

[1220]. Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. 

Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas istri anak angkatnya.

Hadits ke-1: Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ayat “wa tukhfii fii nafsika mal-loohu mub-diihi” (QS 33: 37) turun berkenaan dengan peristiwa Zainab binti Jahsyin dan Zaid bin Haritsah.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang bersumber dari Anas.

Hadits ke-2: Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Zaid bin Haritsah mengadu kepada Nabi s.a.w. tentang kelakuan Zainab binti Jahsyin. Bersabdalah Rasulullah s.a.w., “Tahanlah istrimu!” Maka turunlah Ayat ini (QS 33: 37) yang mengingatkan Rasulullah s.a.w. akan sesuatu yang tetap dirahasiakan oleh dirinya yang telah diberitahukan oleh Allah. Diriwayatkan oleh AI-Hakim yang bersumber dari Anas.

Hadits ke-3: Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika telah habis iddah Zainab (setelah diceraikan oleh Zaid), bersabdalah Rasulullah s.a.w., “Pergilah engkau kepada Zainab dan terangkanlah kepadanya bahwa aku akan mengawininya.”

Berangkatlah Zaid memberitahukan maksud Rasulullah s.a.w.. Zainab pun menjawab, “Aku tidak akan berbuat apa-apa sebelum meminta pertimbangan dari Tuhanku.” Ia pergi ke tempat sujudnya.

Setelah turun Ayat ini (QS 33: 37) datanglah Rasulullah s.a.w.mengawininya tanpa menunggu persetujuannya. Pada waktu itu para shahabat dijamu makan roti dan daging (walimah) dan berangsur pulang, hanya tinggal beberapa orang saja bercakap-cakap di sana. 

 Keluar-masuklah Rasulullah s.a.w. ke rumah-rumah istrinya dan Zaid pun mengikutinya. Beberapa lama kemudian diberitahukan bahwa semua orang sudah meninggalkan rumah Zainab. Maka pergilah Rasulullah s.a.w. mendapatkan Zainab diikuti oleh Zaid. Akan tetapi, oleh Rasulullah s.a.w. dihalangi dengan hijab.

Turun pula (QS 33: 53) berkenaan dengan peristiwa tersebut di atas sebagai larangan kepada kaum Muslimin untuk memasuki rumah Rasulullah s.a.w. kecuali dengan izinnya. Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan An-Nasa’i.

Setelah itu turunlah QS 33/Al-Ahzab: 40 di atas yang asbaabun nuzuul-nya adalah sebagai berikut: 

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Rasulullah s.a.w. kawin dengan Zainab, orang banyak rebut memperbincangkannya, ”Muhammad kawin dengan bekas istri anaknya.” Maka turun Ayat ini (QS 33: 40) yang menegaskan bahwa Zaid itu bukan putra Rasulullah s.a.w.Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi yang bersumber dari ‘Aisyah.

Semua asbaabun nuzuul di atas dapat dibaca dalam buku “Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran” [karya terjemah dari: KH. Qamaruddin Shaleh, HAA. Dahlan dan Prof. Dr. M.D. Dahlan. CV. Diponegoro, Bandung: Cetakan XVIII, 1996. Hlm. 398-400], merupakah terjemahan dan saduran dari kitab “Lubaabun Nuquul fii Asbaabun Nuzuul” yang disusun oleh Jalaluddin As-Suyuthi.

TAFSIR JEMAAH MUSLIM AHMADIYAH
Jemaah Muslim Ahmadiyah dalam buku, “Al Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat” (terjemahan dari “The Holy Qur’an: English Translation & Commentary”karya Malik Ghulam Farid [editor]) menerjemahkan di atas (QS 33: Ayat 41/karena “Bismillaah” dihitung sebagai Ayat ke-1) sebagai berikut:

“Muhammad bukanlah bapak, salah seorang di antara laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Sedangkan Tafsirnya (catatan no. 2359) adalah sebagai berikut:

ARTI POKOK
Khotam berasal dari kata khotama yang berarti: ia memeterai, mencap, mensahkan atau mencetakkan pada barang itu. Inilah arti-pokok kata itu. 

ARTI KEDUA
Adapun arti kedua ialah: ia mencapai ujung benda itu; atau menutupi benda itu, atau melindungi apa yang tertera dalam tulisan dengan memberi tanda atau mencapkan secercah tanah liat di atasnya, atau dengan sebuah meterai jenis apa pun.

ARTI LAINNYA 
Khotam berarti juga sebentuk cincin stempel; sebuah segel, atau meterai dan   
sebuah tanda; ujung atau bagian terakhir dan hasil atau anak (cabang) suatu 
benda. Kata itu pun berarti hiasan atau perhiasan; terbaik atau paling sempurna. 
Kata-katakhotim, khotm(un)dan khotam hampir sama artinya” 

Sumber:
“Arabic-English Lexicon”oleh E.W. Lane
“Al-Mufradatoleh Ar-Raghib
Fat-hul Bayan” oleh Abu ath-Thayyib Siddiq ibn Hasan
“Syarh Zurqani”oleh Al-Zurqani)

KESIMPULAN (I):
Arti pertama:
Maka kata khootaman nabiyyiin  akan berarti:
-      meterai para nabi; 
-      yang terbaik dan paling sempurna dari antara nabi-nabi; 
-      hiasan dan perhiasan nabi-nabi. 

Arti kedua ialah nabi terakhir.

MUSUH NABI s.a.w.SEBAGAI ABTAR
Di Mekkah pada waktu semua putra Rasulullah s.a.w. telah meninggal dunia semasa masih kanak-kanak, musuh-musuh beliau mengejek beliau seorang abtar (yang tidak mempunyai anak laki-laki), yang berarti karena ketidak-adaan ahli waris lelaki itu untuk menggantikan beliau, jama’ah beliau cepat atau lambat akan menemui kesudahan. Sumber:Al-Bahrul Muhith”oleh Abu Hayyan"

Sebagai jawaban terhadap ejekan orang-orang kafir, secara tegas dinyatakan dalam Surah Al-Kautsar bahwa bukan Rasulullah s.a.w. melainkan musuh-musuh beliaulah yang tidak akan berketurunan.

SURAH AL-AHZAB AYAT 40
MENJAWAB SURAH AL-KAUTSAR
Sesudah Surah Al-Kautsar diturunkan, tentu saja terdapat anggapan di kalangan kaum muslimin di zaman permulaan bahwa Rasulullahs.a.w. akan dianugerahi anak-anak lelaki yang akan hidup sampai dewasa.

Ayat yang dibahas ini menghilangkan salah paham itu, sebab ayat ini menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w., baik sekarang maupun dahulu ataupun di masa yang akan datang bukan atau tidak pernah akan menjadi bapak seorang orang lelaki dewasa (rijaal berarti pemuda).

Dalam pada itu, ayat ini nampaknya bertentangan dengan Surah Al-Kautsar, yang di dalamnya bukan Rasulullah s.a.w., melainkan musuh-musuh beliau yang diancam dengan tidak akan berketurunan, tetapi sebenarnya berusaha menghilangkan keragu-raguan dan prasangka-prasangka terhadap timbulnya arti yang kelihatannya bertentangan itu.

Ayat ini mengatakan bahwa Baginda Nabi Besar Muhammad s.a.w. adalah rasul Allah s.w.t., yang mengandung arti bahwa beliau adalah bapak ruhani semua orang mukmin dan semua nabi, betapa beliau dapat disebut abtar atau tak berketurunan. 

MAKNA BELIAU s.a.w.
SEBAGAI NABI TERAKHIR
Bila ungkapan ini diambil dalam arti bahwa beliau itu “nabi yang terakhir” dan bahwa “tiada nabi akan datang sesudah beliau” maka ayat ini akan nampak sumbang bunyinya dan tidak mempunyai pertautan dengan konteks ayat; dan daripada menyanggah ejekan orang-orang kafir bahwa Rasulullah s.a.w. tidak berketurunan, malahan mendukung dan menguatkannya.

KESIMPULAN (II): 
Pendek kata, menurut arti yang tersimpul dalam kata khotam seperti dikatakan di atas maka ungkapan Khootaman Nabiyyiin dapat mempunyai kemungkinan 4 macam arti:

1.    Rasulullahs.a.w.adalah materai para nabi yakni tiada nabi dapat dianggap benar, kalau kenabiannya tidak bermeterai Rasulullah s.a.w.. Kenabian semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan dan disahkan oleh Rasulullah s.a.w. dan juga tiada seorang pun yang dapat mencapai tingkat kenabian sesudah beliau, kecuali dengan menjadi pengikut beliau.

2.    Rasulullahs.a.w. adalah yang terbaik, termulia dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka. Sumber: Syarh Zurqani” oleh Al-ZurqanidanMuwahib al-Laduniyyah”  oleh Qastalani.

3.    Rasulullahs.a.w. adalah yang terakhir di antara para nabi pembawa syari’at. Penafsiran ini telah diterima oleh para ulama terkemuka, orang-orang suci dan waliullah seperti Ibn’ Arabi, Syah Waliaullah, Imam ‘Ali Qari, Mujaddid Alf Tsani dan lain-lain. 

      Menurut ulama-ulama besar dan para waliullah itu, tiada nabi dapat datang sesudah Rasulullah s.a.w.yang dapat me-mansukh-kan (membatalkan) millah beliau atau yang akan datang dari luar umat beliau. Sumber: Futuhatul Makkiyyah oleh Muhyiddin ibn Al-‘Arabi
  
      Siti Aisyah ra, istri Rasulullah s.a.w. yang amat berbakat, menurut riwayat pernah mengatakan, “Katakanlah bahwa beliau (Rasulullah s.a.w.adalah Khootaman Nabiyyiin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau”. Sumber: Durr Mantsur”oleh Hafizh Jalaluddin Sayuthi"

4.    Rasulullahs.a.w. adalah nabi yang terakhir (Aakhirul Anbiyaa’) hanya dalam arti kata bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan selengkap-lengkapnya dalam diri beliau: khotam dalam arti sebuatan terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan adalah sudah lazim dipakai. 

      Lebih-lebih Alquran dengan jelas mengatakan tentang bakal diutusnya nabi-nabi sesudah Rasulullah s.a.w. wafat (QS 7:36). Rasulullah s.a.w. sendiri jelas mempunyai tanggapan tentang berlanjutnya kenabian sesudah beliau. Menurut riwayat, beliau pernah bersabda, “Sekiranya Ibrahim (putra beliau) masih hidup, niscaya ia akan menjadi nabi” (Sunan ibn Majah”dan “Abu Bakar adalah sebaik-baik orang sesudahku, kecuali bila ada seorang nabi muncul” (“Kanzul ‘Ummal” oleh Syaikh ‘Aladdin ‘Ali Al-Muttaqi).

Catatan dari Hadits:
SABDA NABI s.a.w. TENTANG KHOOTAM
Untuk mengetahui apa makna “khootam”maka marilah kita simak sabda dari Sang Penerima wahyu “Khootaman Nabiyiin” itu sendiri:

1.     Hadist No.5417
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu Umar radliallahu 'anhumabahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah membuat CINCIN (KHOOTAMAN) dari emas atau perak, dan menghadapkan mata cincinnya di telapak tangan serta mengukirnya dengan tulisan "Muhammad Rasulullah", maka orang-orang pun membuat seperti itu juga, ketika beliau mengetahui orang-orang membuatnya, maka beliau langsung melempar cincin tersebut sambil bersabda: "Saya tidak akan memakainya selama-lamanya."

Setelah itu beliau membuatnya (KHOOTAMAN) dari perak dan orang-orang pun ikut membuat CINCIN (KHOWAATIIMA) dari perak. 

Ibnu Umar mengatakan; "CINCIN itu (AL-KHOOTAMA) dipakai oleh Abu Bakr setelah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian Umar dan Utsman, sehingga Utsman menjatuhkannya di sumur Aris.

2.    Hadist No.5418
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah memakai cincin (KHOOTAMAN) emas, kemudian beliau membuangnya sambil bersabda: "Saya tidak akan memakainya lagi selama-lamanya." Maka orang-orang pun ikut membuang cincin yang mereka kenakan (KHOWAATIIMA-HUM).

3.   Hadist No.5419
Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata; telah menceritakan kepadaku Anas bin Malik radliallahu 'anhu bahwa dia pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memakai cincin (KHOOTIMAN) perak di tangannya selama satu hari. 

Kemudian orang-orang pun ikut membuat cincin (KHOWAATIIMA) dari perak dan memakainya, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun membuang cincin (KHOOTAMAHU) tersebut dan orang-orang pun ikut membuang cincin yang mereka kenakan (KHOWAATIIMAHUM)." 

Hadits ini juga diperkuat dengan riwayat Ibrahim bin Sa'd, Ziyad dan Syu'aib dari Az Zuhri. Ibnu Musafir mengatakan; dari Az Zuhri bahwa pendapatku itu adalah cicncin (KHOOTAMAN) yang terbuat dari perak. Sumber: Kompilasi Chm oleh: Abu Ahmad as Sidokare.

Baca juga: “Tarjamah Hadits mengenai Pribadi dan Budi Pekerti Rasulullah s.a.w.” karya terjemah Drs. M. Tarsyi Hawi. CV. Diponegoro: Bandung, 1988. Hlm. 39-45. Judul aslinya: “Asy-Syamaa-ilul Muhammadiyyah”, karya Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isabin Saurah.

Sumber Utama: 
”Al Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, ”karya Malik Ghulam Farid [Editor]. Neratja Press: Jakarta, 2014. Hlm. 1465-1466.
”Al Qur’an dan Terjemahannya”karya Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an. PT Intermasa: Jakarta, 1993. Hlm. 674.


Post a Comment

0 Comments