SIRATUN NABI: SEBUAH PESAN UNTUK TAHUN POLITIK




oleh: Zafar Ahmad Khudori

Bagi Indonesia, tahun ini adalah tahun politik. Dan, bagi setiap muslim: tiada hari tanpa Siratun Nabi. Maksudnya, tahun boleh berganti, musim boleh berganti tetapi seorang muslim tetap menjadikan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai teladan yang sempurna dalam hal kebaikan.

Seperti yang ditegaskan dalam Kitab Suci Al-Quran (QS 33/Al-Ahzab: 21) bahwa Rasulullah s.a.w. adalah Uswatun Hasanah bagi kita semua, bilkhusus muslimin wal-muslimaat.

Meskipun bulan ini telah melewati Rabi’ul Awwal, masyarakat muslim sedunia umumnya masih turut serta memperingati Maulid Nabi Muhammad s.a.w., termasuk di Indonesia, dengan cara yang bervariasi. Mari kita mengambil hikmah dari peringatan (dan terkadang lebih bersifat perayaan) tersebut.

Istilah Maulid dan Sirah
Dalam bahasa Arab, sesuatu yang dilahirkan dari ibunya disebut 'maulud', sedangkan hari kelahirannya disebut 'maulid'. Maka itu, peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. yang kita peringati ini disebut 'Maulid Nabi', tetapi secara akrab disebut dengan muludan atau malah muludan (Prof. DR. KH. Ali Yaqub, MA. 2008. Hadis-hadist Bermasalah. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hlm. 100).

Sedangkan, tentang penulisan biografi Nabi Muhammad s.a.w. itu diilhami oleh tradisi Parsi. Kisah Muhammad Rasulullah s.a.w., dalam tradisi Islam disebut siirah. Istilah jamaknya adalah siyar yaitu kumpulan cerita yang dikenal tentang raja-raja Parsi. 

Riwayat Nabi, pada mulanya ditulis dalam gaya cerita-cerita Parsi itu (M. Dawam Rahardjo, “Sepatah Kata Tentang Sejarah Muhammad” dalam H. Fuad Hashem. 1989. Sirah Muhammad Rasulullah Kurun Makkah. Bandung: Mizan. Hlm. 13).

Jadi, dari segi arti, istilah maulid merujuk kepada hari kelahiran sedangkan istilah sirah kepada riwayat hidup (biografi). Namun demikian, dalam prakteknya, meskipun kita menggunakan istilah maulid, tetapi kenyataannya kita memperingati riwayat hidup Nabi dari lahir hingga wafat beliau s.a.w.; yang lebih bersesuaian dengan istilah sirah.

Pesan ke-1: Mendoakan “Musuh”
Wujud Rasulullah s.a.w. sungguh berberkat sekali. Beliau s.a.w. datang ke dunia sebagai rahmatul lil ‘alamin. Musuh-musuh pun didoakan oleh beliau sambil menangis di hadapan Allah s.w.t.

Siti Aisyah r.a.meriwayatkan, katanya, “Pada suatu malam saya bangun ikut salat tahajjud bersama Rasulullah s.a.w.. Pada waktu itu, beliau terus-menerus berdoa sambil menangis memohon kepada Allah s.w.t.,‘ Wahai Allah, maafkanlah kaumku ini dan berilah taufik kepada mereka untuk menggunakan akal mereka” [Sunan an-Nasa’i, Kitab al-Iftitah, Bab Tardid al-Ayah, no. 1010]. 

Pesan ke-2: Berprasangka Baik
Ketika di suatu medan perang seorang sahabat tengah mengejar untuk membunuh seorang musuh, kemudian ketika musuh itu sudah terpojok, serentak ia membaca Kalimah Syahadat. Akan tetapi, sahabat itu langsung membunuhnya juga. 

Ketika peristiwa itu dilaporkannya kepada Rasulullah s.a.w., beliau s.a.w. dengan nada tidak senang dan marah bertanya kepada sahabat itu, “Apakah sudah engkau belah dadanya bahwa dia mengucapkan kalimah syahadah itu karena takut dari pedang engkau?” 

Sahabat itu sangat menyesal sekali atas kesalahannya itu, sambil berkata, “Aduhai!! Alangkah baiknya jika aku ini  baru beriman pada hari ini” [Sunan Abi Dawud, Kitab al-Jihad, Bab Maa Yuqatilul Musyrikuun, no. 2643].

Akan tetapi, apa yang tengah dilakukan oleh sebagian umat Islam setelah wafat Nabi s.a.w.? Keadaannya sangat terbalik.

Pesan ke-3: Keadilan dan Persamaan Hak
Ada satu segi lain lagi tentang sirat beliau s.a.w. yang kaitannya dengan keadilan dan musawat (persamaan hak). Beliau bersabda, “Pada zaman dahulu ada satu kaum sebelum kalian telah binasa disebabkan apabila ada salah seorang dari pembesar mereka berbuat kesalahan atau pelanggaran ia dibiarkan (tidak dikenai hukuman)

Namun, apabila ada seorang yang lemah dan miskin terlibat dalam suatu kesalahan atau pelanggaran maka terhadapnya dikenakan sanksi atau hukuman. Hal seperti ini tidak boleh terjadi di dalam ummatku!”

Akan tetapi, jika kita perhatikan keadaan masyarakat sepeninggal beliau akan nampak seringkali terjadi perlakuan tidak adil di tengah-tengah masyarakat bahkan di tengah-tengah masyarakat muslim juga sering terjadi.

Di zaman Rasulullah s.a.w., ada seorang perempuan terkenal dalam sebuah Kabilah dan dia dari keluarga baik-baik dan kedudukannya di tengah masyarakat juga baik namanya juga Fatimah, ia telah mencuri. Rasulullah s.a.w. telah mengenakan hukuman terhadapnya. 

Seorang sahabat telah berusaha untuk menyelamatkan supaya ia jangan dikenai hukuman, akhirnya tidak ada seorangpun yang berani menghadap Rasulullah s.a.w.. Maka, mereka telah menyuruh Usamah r.a. untuk menyampaikan pesan pembelaan mereka kepada Rasulullah s.a.w.

Ketika Rasulullah s.a.w. mengetahui pesan pembelaan itu maka muka Rasulullah s.a.w. pun berubah karena timbul rasa marah. Lalu, bersabda, “Apakah kalian berbicara tentang perempuan itu? Dengarlah, jika anakku Fatimah berbuat dosa (mencuri) seperti itu pasti aku menghukumnya seperti ini juga.” Itulah contoh keadilan yang beliau tunjukkan [Shahih al-Bukhari, Kitab al-Hudud, Bab Iqamati al-Hudud ‘alasy-Syarif wal-Wadhi”, no.6787].

Pesan ke-4: Tidak Boleh Minta Jabatan
Pada suatu waktu, Abu Dzar Ghifari r.a. meriwayatkan katanya, “Saya pergi kepada Rasulullah s.a.w. memberi dukungan atau rekomendasi bagi dua orang lelaki dengan harapan kedua orang ini akan diberi tugas untuk memungut dan mengelola harta zakat. 

Maka, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Hai Abu Dzar, seseorang yang meminta sesuatu kedudukan di dalam perkhidmatan agama, kami tidak akan memberinya kedudukan itu. 

Jika Allah sendiri memberi kedudukan itu kepadanya maka Dia akan memberi taufiq dan menolongnya juga untuk menjalankan tugasnya, jika seseorang ditunjuk untuk melakukan pengkhidmatan tanpa diminta maka Allah s.w.t. memberi taufiq dan menolongnya untuk menjalankan tugasnya bahkan Allah s.w.t. memberkati pekerjaannya itu. 

Apabila orang itu sendiri meminta kedudukan atau meminta pekerjaan itu maka di dalam pekerjaannya akan timbul keburukan. Kepada orang seperti itu Tuhan akan berfirman, ‘Biarlah ia sendiri telah meminta tugas itu dan menganggap dirinya pandai untuk pekerjaan itu maka semua tanggung jawabnya akan dia pikul sendiri.’”

Jadi, ingatlah menginginkan kedudukan termasuk kehendak atau ambisi pribadi yang tidak disukai oleh Allahs.w.t. yaitu manusia telah menyatakan banyak keinginan pribadinya.

Sabda Rasulullah s.a.w.bahwa kalian jangan menginginkan kedudukan (di dalam Islam). Memberi suara bagi diri sendiri maksudnya ia mengaku pakar di dalam kedudukan (jabatan) itu dan tidak ada orang lain yang lebih pakar dari pada dirinya. Oleh sebab itu, pilihlah saya untuk kedudukan itu.

Para pemimpin harus selalu ingat kepada sabda Rasulullah s.a.w. yaitu “Pemimpin adalah khadim kaumnya” [Kanzul ‘Ummal fii Sunanil Aqwaali wal-Af’aal, al-Juz as-Saadis, no. 17513/hlm. 302].

Pada suatu waktu, Rasulullah s.a.w. bersabda kepada Abu Dzar r.a.“Pangkat atau kedudukan adalah sebuah amanat dan manusia sungguh lemah. Jika tidak menunaikan hak amanat tentu akan ditanya pertanggungan jawabnya. Maka, amanat ini harus dilaksanakan dengan kemampuan (kepakaran) sepenuhnya sambil merendahkan diri” [Shahih Muslim, Kitab al-Ahkaam, Bab Karahiyati- Imarah bi-ghairi Dharurah].

Jadi, yang harus diingat yaitu pemimpin adalah khadim kaumnya. Jalankanlah tugas pengkhidmatan itu sambil banyak-banyak memohon doa kepada Allah s.w.t. supaya Dia memberi bimbingan setiap waktu dan setiap menjalankan tugas pengkhidmatan itu. 

Maka, barulah petugas itu akan mampu menjalankan kewajiban pengkhidmatannya dengan sebaik-baiknya. Jika seseorang memahami arti pengkhidmatan dalam arti yang sesungguhnya, barulah ia akan mampu menjalankan pengkhidmatan itu dengan sebaik-baiknya.

Pesan ke-5: Tidak Menuduh Tanpa Bukti
Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. telah menunjukkan contoh yang sangat agung, ketika diperoleh kemenangan di atas kubu orang-orang Yahudi yang sangat masyhur di Khaibar. 

Kawasan tanah mereka yang jatuh ketangan Islam dibagikan kepada para mujahidin yang ikut serta di dalam peperangan itu. Tanah yang dibagikan itu adalah kawasan yang sangat subur sekali, terdiri dari kebun-kebun kurma yang sangat bagus. 

Ketika sudah sampai musim panen kurma dan sampai kepada pembagian hasil buah-buahannya sesuai dengan peraturan pembagiannya, Abdullah bin Suhail r.a. telah telah pergi bersama anak paman beliau bernama Muhayyisyah bin Mas’ud bin Zaid untuk membagikannya [Shahih al-Bukhari, Kitab al-Shulh, Bab Perdamaian dengan Orang Musyrik]

Sampai di sana mereka berpisah untuk beberapa waktu lamanya. Ketika Abdullah bin Suhail r.a. pergi dari sana ke suatu tempat dan menyendiri beliau telah dibunuh oleh seseorang tak dikenal. Mayat beliau dibuang ke dalam sebuah lubang. Kejadian itu sungguh jelas kemungkinan pembunuh beliau itu orang Yahudi.

Abdullah bin Suhail r.a. orang sangat baik dan terkenal di kalangan para sahabat, tidak mungkin orang Islam yang telah membunuh beliau. Besar sekali kemungkinan orang Yahudilah yang telah membunuh beliau itu. 

Bagaimanapun masalah itu sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Tuduhan pembunuhan ditujukan terhadap orang-orang Yahudi dan memang betul demikian. Rasulullah s.a.w. telah bertanya kepada Muhayyisyah saudara sepupu Abdullah bin Suhail r.a.“Apakah engkau berani bersumpah bahwa orang-orang Yahudi yang telah membunuh?” 

Beliau menjawab, “Saya tidak melihat dengan mata kepala saya sendiri. Karena saya tidak melihat dengan mata kepala saya sendiri saya tidak berani bersumpah. ”Maka Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sekarang akan diambil sumpah dari orang-orang Yahudi, apakah mereka yang telah membunuh Abdullah bin Suhail r.a.itu? 

Orang-orang Yahudi menyatakan diri bersih tidak membunuhnya. ”Maka, Muhayyisyah berkata kepada Rasulullah s.a.w.,“Apa buktinya kita percaya kepada perkataan orang-orang Yahudi ini, mereka berani mengucapkan sumpah palsu walaupun seratus kali?”

Akan tetapi, oleh kerana keadilan yang dituntut maka jika orang-orang Yahudi telah bersumpah biarkan mereka bersumpah.” Segala biaya kematian Abdullah bin Suhail r.a. akhirnya dipenuhi dari Baitul Mal. Demikianlah, keadilan yang beliau tegakkan. 

Beliau tidak meninggalkan keadilan di dalam sisi kehidupan bagaimanapun. Jika ditinjau dari sisi apapun maka akan nampak contoh yang sangat baik (uswah hasanah) Rasulullah s.a.w..
Keadilan yang telah dicontoh di dalam kehidupan Rasulullah s.a.w. begitu tinggi jauh berbeda dengan keadilan masyarakat umumnya.

Kemudian, bandingkanlah bagaimana caranya para sahabat r.a. itu yang telah diberi tarbiyat oleh Rasulullah s.a.w.. Sekalipun mereka menjadi saksi dan menyaksikan keadaan pada waktu itu, akan tetapi oleh karena tidak melihat dengan mata kepala sendiri beliau tidak berani bersumpah.

Jika kita menapak di atas jalan uswah hasanah Rasulullah Rasulullah s.a.w. pasti kita akan merasa takut terhadap Tuhan.

Pesan ke-6: Dilarang Membunuh
Rasulullahs.a.w. telah memberi nasihat terakhir pada kesempatan Hajjatul Wada’ (Hajj terakhir) beliau bersabda, “Bagi kalian untuk menjaga kehormatan darah sesama muslim dan menjaga harta benda mereka wajib seperti wajibnya kalian menjaga kehormatan hari dan bulan yang mulia ini.”

Sabda beliau itu telah meletakkan tanggung jawab seseorang terhadap yang lain atau menjaga darah dan harta sesama orang Muslim.

Rasulullahs.a.w. telah bersabda bahwa setiap orang yang telah mengucapkan dua kalimah syahadah adalah orang Muslim.

Semoga Allah s.a.w. mengasihani kita semua dan semoga Dia memberi taufik kepada kita semua untuk menjadi orang-orang yang benar berjalan di atas uswah hasanah Rasulullah s.a.w. supaya mereka menjadi pewaris kasih sayang Allah s.w.t.. Semoga Allah s.w.t. memberi taufik kepada kita semua untuk menjalani kehidupan sesuai dengan uswah hasanah Rasulullah s.a.w.Amin!

Sumber Utama: 

Khutbah Jum’ah Hdhrat Amirul Muminin Khalifatul Masih V atbaTanggal 13 Maret 2009 dari Baitul Futuh London, U.K. tentangSudut Pandang Yang Tepat Perihal Peringatan Kehidupan Penuh Berkat Nabi Muhammad s.a.w.(Alihbahasa dari Audio Urdu oleh Hasan Basri).

Post a Comment

1 Comments