Jembatan Enam






Oleh : Mln. Tarmidzi Ali

Seorang anak lelaki kurus berusia tujuh tahun, kelas I SD – Thariq Ahmad Razi namanya – kecuali hari libur, ia bangun pagi–pagi sekali, terus ke kamar mandi membersihkan badannya untuk shalat subuh.
Selesai mengenakan seragam sekolah merah putih, ia dan kakaknya Aisyah R. Rosstarina kelas IV di SD yang sama, mengambil sarapan pagi yang sudah disiapkan di meja makan.
Kedua bocah tersebut tidak lupa pamitan pada kedua orang tuanya terlebih dahulu saat akan berangkat ke sekolah dengan salaman ciuman tangan.
Razi dan Aisyah setiap hari berjalan kaki menyusuri jalan setapak dengan melewati dua jembatan penyeberangan sebelum mereka berdua tiba di sekolah. Sebuah jembatan disebut "Jembatan Enam" dan jembatan lainnya disebut jembatan kecil.
Mereka melewati jembatan Enam dengan tanjakan dan turunan yang agak tajam; yang ketinggiannya mencapai 2 meter, lebarnya ± 2 meter dan panjang penyeberangannya sekitar 20 meter. 
Berjalan sampai agak ke tengah, di dua sisi jembatan Enam sudah tidak ada lagi lengan – lengan besi  pengaman jembatan; ini adalah sebuah kekhawatiran yang sangat serius di mana seseorang bisa saja kecebur dan kecampak ke dalam sungai dan hanyut terbawa arus; tempat ini sangat angker dan mengerikan buat siapa saja, khususnya untuk anak – anak usia sekolah dasar.
Kabarnya, bila musim paceklik tiba ada orang – orang yang suka iseng sengaja memotong besi – besi pengaman jembatan tersebut buat dikilo ke Palembang. Demi sekeping rupiah pelaku tindak kriminal pencurian ini tak lagi mau berpikir keselamatan dan keamanan orang banyak. 
Semua warga selalu menggunakan jembatan itu untuk berbagai keperluan; seperti untuk bekerja, belanja ke pasar, anak – anak yang pulang – pergi ke sekolah dan lain – lain. 
Dengan kondisinya yang sudah lama dirusak, tidak mendapat perhatian khusus dari aparat – perangkat  desa setempat. Ini sungguh memprihatinkan bagi semua warga yang menggunakan jembatan tersebut. Sangat mengkhawatirkan mengingat jalur – sungai itu yang setiap hari terjadi pasang – surut air dari arah sungai Musi Banyu Asin. 
Oleh karena ada unsur kesengajaan dari orang – orang tertentu yang memotong besi – besi pengaman, maka pihak yang bertanggung jawab enggan memasang lagi besi – besi tersebut karena takut kecurian lagi. Sungguh miris kondisi masyarakat yang tidak lagi bisa merawat keamanan dan kenyamanan tempat – tempat umum.
Di desa Telang Karya Jembatan Enam ada hari pasar khusus yang bisa diakses oleh warga desa hanya seminggu sekali pada hari sabtu pagi. Orang – orang menyebutnya pasar "Kalangan". Mulai buka jam 7 pagi sampai jam 11 menjelang siang. Sesudah itu, mulai sepi lagi dan pasarnya selesai hari itu, dan jumpa lagi pada sabtu pagi berikutnya. 
Bagi warga desa Telang Karya untuk memenuhi belanja keperluan sehari-hari mereka, seperti; sayuran segar, ikan segar, bumbu dapur dan lain-lain hanya dapat diperoleh pada hari pasar "Kalangan" saja.
Posisi pasar "Kalangan" ada di bantaran sungai sebelah selatan, pasar ini sudah lama dan terkesan kumuh. Oleh aparat desa, dalam hal ini Bapak Kepala Desa Telang Karya, Abu Usama telah memindahkan pasar tersebut ke bantaran sungai sebelah utara agak ke barat. 
Ia telah membangun pasar baru sebagai pasar "Kalangan" yang baru dan lebih permanen. Anehnya, sudah lebih satu tahun selesai dibangun, namun pengguna pasar ogah pindah ke tempat baru yang telah disediakan. Kemungkinan utama karena jembatan tinggi dan rusak membuat mereka ogah pindah. Dan, kemungkinan kedua karena pasar yang baru dibangun itu masih terkesan sepi.
Penghidupan masyarakat di "Jembatan Enam" umumnya adalah petani padi dan buruh kasar di kebun kelapa. Meskipun di antara mereka ada yang punya profesi sebagai guru sekolah, atau sebagai ustaz yang mengajar di pondok pesantren, sebagai pedagang, namun masing – masing mereka tetap punya tanah sawah garapan yang jumlahnya minimal dua hektar. Di dalam masa satu tahun, ada yang bisa menggarap dua kali panen dan rata – rata setahun sekali panen. 
Terkait dengan transportasi publik hanya ada satu speedboat Haras Group milik seorang pengusaha transpotasi air;  Abu Usama dengan rute perjalanan Jembatan Enam Jalur Delapan ke Jembatan Ampera Palembang. Rute ini hanya ada satu kali pulang – pergi setiap hari, kecuali hari lebaran. 
Berangkat jam 7 pagi ke Palembang, kembali pada hari yang sama jam 2 siang dari Palembang ke Jalur Delapan. Dengan jarak tempuh memakan waktu 4 jam PP.
Tetapi, bagi mereka yang punya kendaraan pribadi roda dua dapat mengambil alternatif penyeberangan ke Palembang via muara Jalur Delapan, melintasi jalan Tanjung si api – api. Dan, ada pelabuhan Tanjung Si Api – Api yang menghubungkan Palembang ke pulau Bangka.
Hari menjelang siang, sekitar jam 10 pagi, Razi sudah kembali dari sekolahnya, di pintu masuk ia berdiri langsung memberi salam dan masuk, lalu menyalami dan mencium tangan ayah dan ibunya. 
Kadang – kadang ia suka mengagetkan ayahnya dengan diam – diam menyelinap masuk ke ruangan ayahnya tanpa suara. 
Dan tiba – tiba saja ia berteriak dengan suara sekencang – kencangnya...
‘huuuaaaaaa...’ Sambil ia ketawa terpingkal – pingkal ...‘ ha ha ha ...’ 
karena ia senang bisa melihat reaksi ayahnya  yang sedang terkejut. 
‘Astaghfirullah -al- ‘azhim. Razi sudah pulang sekolah?’ Sapa ayahnya sambil minta ganti seragam, ‘ganti seragam sekolah dengan bajumu yang lain.’
Razi segera membuka baju seragam sekolahnya lalu disimpan di gantungan baju, kemudian ia ganti bajunya yang biasa dipakai untuk bermain.
Ia adalah seorang anak lelaki yang cerdas, ganteng dan jenaka pula, Alhamdulillah ia sudah terdaftar pada nizam Waqf – E – Now dengan nomor 14150 A.

Post a Comment

1 Comments

  1. Panjang jembatan penyeberangan mereka sebenarnya ada 50 meter om.

    ReplyDelete