WAHYU ILAHI


Oleh : Mln. Iman Mubarak Ahmad

وما كان لبشر أن يّكلّمه الله إلا وحيا أو من ورآىً حجاب أويرسل رسولا فيوحي بإذنه مايشآء , إنّه عليّ حكيم

"Dan tidaklah bagi manusia bahwasanya Allah berbicara kepadanya secara langsung kecuali dengan wahyu, atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang Rasul untuk mewahyukan dengan se-izin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Mahaluhur, Mahabijaksana." (Q.S.Al-Syuuraa 42 : 52)

Ayat ini menyebut tiga cara Tuhan berbicara kepada hamba-Nya dan menampakkan Wujud-Nya kepada mereka; (a) Dia berfirman secara langsung kepada mereka tanpa perantara.

(b) Dia membuat mereka menyaksikan kasyaf (penglihatan gaib), yang dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka mendengar kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, di waktu itu mereka tidak melihat wujud orang yang berbicara kepada mereka. Inilah arti kata-kata “dari belakang tabir,”

 (c) Tuhan menurunkan seorang rasul atau seorang malaikat, yang menyampaikan Amanat Ilahi. (Al-Qur’an dengan Terjemah dan Tafsir Singkat; Jemaat Ahmadiyah Indonesia)

وما كان لبشر أن يّكلّمه الله إلا (Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali) dengan perantaraan – وحيا (wahyu) yang Dia wahyukan kepadanya didalam tidurnya atau melalui ilham – أو (atau) melainkan - من ورآىً حجاب (di belakang tabir).

Seumpamanya Allah memperdengarkan Kalam-Nya kepadanya, tetapi dia tidak dapat melihat-Nya, sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Musa A.s. – أو (atau) kecuali - يرسل رسولا (dengan mengutus seorang utusan) yakni malaikat, seperti Jibril – فيوحي (lalu diwahyukan kepadanya) maksudnya, utusan itu menyampaikan wahyu-Nya kepada rasul yang dituju – بإذنه (dengan seizin-Nya) dengan seizin Allah – مايشآء (apa yang Dia kehendaki) apa yang Allah kehendaki - إنّه عليّ (Sesungguhnya Dia Maha Tinggi) dari sifat-sifat yang dimiliki oleh semua makhluk – حكيم (lagi Maha Bijaksana) di dalam perbuatan-Nya.
(Tafsir Jalalain; Jilid 4; hal.52; oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli & Imam Jalaluddin As-Suyuthi)


Apa itu Wahyu? Wahyu berasal dari Bahasa Arab, yaitu :
   ( وحى ـ يحى ـ وحيا ـ أوحى ) إليه بكذا  : “Mengajarkan, menunjukkan sesuatu kepadanya.”

Dalam Bahasa Arab terdapat satu ungkapan :أوحى الله في قلبه كذا  : “Allah mengilhamkan sesuatu kedalam hatinya.”(Kamus Arab-Indonesia/Prof.DR.H.Mahmud Yunus)

Wahyu (وحى) yang memiliki arti “Wahyu, Wali, Ilham”, adalah suatu hal yang dianggap “sakral” oleh masyarakat, khususnya bagi para penganut agama. Dalam kepercayaan Masyarakat Jawa, seorang yang mendapat wahyu mengenai peristiwa yang belum terjadi, disebut dengan istilah seseorang yang Weruh Sak Durunge Winarah atau tahu sebelum kejadian.(Bukti-Bukti Gus Dur Wali; Ahmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin).

Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi r.h. berkata :
هذا الرّزق لنا و لسائر الأنبيآء
“Wahyu itu adalah rezeki bagi kami (para wali) dan bagi para Nabi” (Al-Yawaqitu wal-Jawahir, Jilid II, hal.27)

Qadhi Iyadh Al-Yahshabiy berpendapat : “Adapun kata Wahyu itu berarti ‘Lekas atau Cepat’, oleh karena Nabi menerima apa yang datang dari Allah itu dengan lekas atau cepat, maka dinamakan wahyu dan bermacam-macam ilham dinamakan wahyu karena ia serupa dengan wahyu kepada Nabi. ‘Menulis’ itu juga dinamakan wahyu karena tangan orang yang menulis itu bergerak dengan cepat… ada orang berkata bahwa sebenarnya arti wahyu itu ‘SEMBUNYI’ dan ‘MENYEMBUNYIKAN’ , maka oleh karena itu beberapa macam ilham dinamakan wahyu pula.”
(Kitabus-Syifa; Juz I, hal.191)

Hadhrat Imam Mahdi wa Al-Masih Al-Mau’ud A.s. didalam Kitab Haqiqatul Wahyu, membagi Wahyu kedalam dua kelompok, yaitu Wahyil Ibtila (Wahyu sebagai ujian) dan Wahyil Istifa (Wahyu yang diberikan kepada orang-orang pilihan).

Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h. bersabda :
“Wahyu itu merupakan suatu fenomena yang muncul dari bawah sadar. Alam bawah sadar merupakan sarana yang lebih ampuh untuk mensintesakan informasi terkait melalui suatu cara yang misterius.
Agama-agama besar di dunia berkeyakinan bahwa Para Nabi dan orang-orang suci, mereka telah menerima wahyu dari sumber eksternal yang disebut sebagai Tuhan. Wahyu sepertinya merupakan pengalaman batin yang terjadi dalam ruang lingkup kejiwaan manusia.”

Kemudian, Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h. bersabda : “Wahyu adalah nama lain dari produk kejiwaan manusia, namun hal itu terjadi berdasarkan perintah dan kendali Tuhan.

Secara logis kita bisa simpulkan, Tuhan telah menciptakan sarana sistem penerimaan yang demikian maju dan rumit didalam fikiran manusia dengan tujuan akhir agar manusia bisa berkomunikasi dengan Wujud-Nya. Karena itu, Wahyu Ilahi tidak mengandung hal-hal yang nyeleneh atau tidak alamiah didalamnya.”
(Wahyu, Rasionalitas, Pengetahuan, dan Kebenaran; Mirza Tahir Ahmad)

Kebanyakan kaum Muslimin berpendapat bahwa sesudah Rasulullah SAW, tidak akan ada lagi wahyu. Menurut ajaran Islam, wahyu itu banyak macamnya. Yang terpenting diantaranya adalah : (1) Wahyu Syari’at dan (2) Wahyu Tanpa Syari’at.

Wahyu Syari’at tidak mungkin turun lagi sesudah Al-Qur’an. Karena, Syari’at Al-Qur’an telah sempurna dan berlaku sampai Hari Kiamat. Sedangkan, Wahyu Tanpa Syari’at mungkin saja turun sewaktu-waktu. (Tiga Masalah Penting, bab.Pintu Kenabian Tetap Terbuka, hal.14; Mln.H.Mahmud Ahmad Cheema,H.A.,SHD)

Wahyu Syar’i, yaitu wahyu syari’at yang diturunkan kepada Para Nabi yang mengemban amanat syari’at atau hukum.

Wahyu Ghair-Syar’I, wahyu bukan-Syari’at, yang diberikan kepada hamba-hamaba pilihan-Nya untuk memberi kepada mereka ketenteraman batin atau memperteguh iman semata berupa nubuatan-nubuatan atau kabar gaib mengenai masa depan dirinya, keluarganya, dan bahkan kaumnya sebagai ciri yang menandakan adanya hubungan dengan dan menunjukkan kebesaran Tuhan.

Didalam kategori yang disebut terakhir ini termasuk ilham yang diturunkan kepada Para Aulia, wujud-wujud suci lainnya, bahkan orang kebanyakan bila Allah menghendaki, bahkan kepada binatang sekalipun. Sifat dan bentuk wahyu-wahyu itu adalah menurut kadar yang sesuai dengan martabatnya masing-masing. (Dimana Letak Kesesatan Dan Berbahaya Ahmadiyah? Hal.16; R.Ahmad Anwar)

Imam Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuthi r.h. membagi dua kategori wahyu, yaitu Wahyu Hakiki dan Wahyu Ilham. Tentang Turunnya Isa bin Maryam pada Akhir Zaman, Beliau r.h. berpendapat bahwa Isa bin Maryam A.s. pada Akhir Zaman akan mendapatkan Wahyu Hakiki, yang bisa dianugerahkan oleh Allah SWT kepada Para Nabi / Rasul-Nya.

Imam Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuthi r.h. berkata :
Kalau dia mengatakan ada dalilnya, yaitu sabda Nabi : “Tidak ada wahyu sesudahku.” Kami jawab, “Tidak ada Hadis yang berbunyi demikian. Kalau pun ada, Hadis itu batil, tidak benar.”
(Turunnya Isa bin Maryam pada Akhir Zaman; Imam Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuthi)

Jamaah Muslim Ahmadiyah adalah Jamaah Muslim yang mempercayai Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiani (Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah) sebagai Imam Mahdi wa Al-Masih Al-Mau’ud A.s. Selama hidupnya, Hadhrat Imam Mahdi wa Al-Masih Al-Mau’ud A.s. senantiasa memperoleh Wahyu dari Allah Ta’ala, dan seluruh Wahyu yang diterima Beliau A.s. dikompilasikan kedalam sebuah kitab yang diberi nama “Tadzkirah”.

Sebagian Umat Islam menuduh bahwa Tadzkirah adalah Kitab Suci Jemaat Ahmadiyah. Apakah kenyataannya demikian? Ma’aadzaLlaah, Kitab Suci Jemaat Ahmadiyah adalah Kitab Suci Al-Qur’an, yang mana Jemaat Ahmadiyah telah menerbitkan Kitab Suci Al-Qur’an kedalam 100 Bahasa di dunia.

Lalu, apa Tadzkirah itu? Dalam Kata Pengantar Tadzkirah, Hadhrat Khalifatul Masih V a.t.b.a. menjelaskan bahwa :
“Tadzkirah berisi kompilasi Wahyu, Mimpi dan Kasyaf yang diterima oleh Hadhrat Masih Mau’ud A.s. Seluruhnya masih dalam konteks Al-Qur’an. Pengalaman rohani ini tidak menambah ataupun mengurangi ajaran Islam. Hadhrat Masih Mau’ud A.s., telah mengemukakan beberapa kali bahwa seluruh karunia ini, beliau terima karena beliau mentaati Nabi Suci Muhammad Saw.

 Beliau menulis :
Nabi Suci Muhammad Saw adalah tujuan dan kebenaran utama dalam urusan wahyu suci. Kurnia ini akan diberikan kepada siapa saja yang memiliki hubungan rohani dengan beliau Saw.” (Barahin-e-Ahmadiyyah)

Post a Comment

0 Comments