Kenapa Namanya JEMAAT bukan JAMAAH?



Oleh : Mln. Yusuf Awwab

Saat perjalanan pulang dari Purwaodadi ke Kudus. Seorang mubaligh bertemu dengan seorang pria di sebuah gubuk kecil pinggir jalan saat sang Mubaligh menepikan motornya karena mengantuk. Si pria berperawakan kurus, berambut ikal dengan gigi yang agak kedepan. Di dekatnya terparkir sebuah motor bebek berwarna hitam. Sepertinya pria tersebut sedang menunggu seseorang karena terdapat dua helemt di motornya. 
“Permisi, Mas.” Sapa sang mubaligh melemparkan senyum.
“Monggo.” Jawab si pria seraya menggeser duduknya. Tangannya sibuk memainkan smartphone. Ia hanya menoleh sebentar lalu kembali dengan HP-nya. Sang mubaligh meletakan helmet-nya dan duduk dengan mengambil sedikit jarak darinya. 
Matahari menyengat panas. Sinarnya membakar kendaraan-kendaraan yang lalu lalang di jalan. Dari arah lain sebuah truk melaju kencang dan menyalip beberapa kendaraan di depannya. Kepulan asap hitam keluar dari knalpotnya lalu bersatu dengan serpihan-serpihan debu. Sang mubaligh menutupi hidungnya dengan sebelah tangan. Sementara si pria nampak tidak terpengaruh. Ia begitu asik dengan smartphone di tangannya.
“Sedang nunggu orang, Mas?” tanya sang mubaligh membuka percakapan.
“Oh iyah.” Jawab si pria pendek. Ia tampak acuh. Wajahnya sama sekali tidak berpaling dari smartphone.
Udara bertiup halus. Hawanya yang sejuk menerpa pohon-pohon kering di sekeliling gubuk. Si pria nampak bergumam sendiri dan sesekali tertawa. Sepertinya ia sedang terlibat chatting dengan seseorang via smartphone.
“Minum, Mas” Tawar sang mubaligh seraya menyodorkan satu botol air mineral.
“Suwun, Mas.” Tolak si pria.
 “Hari ini panas sekali yah, Mas?” ujar sang mubaligh membuka percakapan. Namun sayangnya tidak ada respon dari pria tersebut. Ia tetap asik di depan HP-nya. Sang mubaligh terpaksa garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Suasana pun hening. Tidak ada percakapan sama sekali. Tiba-tiba HP si pria berdering. 
“Hei, ada di mana sekarang? Sudah ditunggu dari tadi kok belum muncul juga.” Ujar si pria dari balik telpon.
“Oke, saya tunggu, tapi cepet loh.” ujar si pria sambil menutup HP tersebut.
“Kawannya masih di jalan yah, Mas?” Tanya sang mubaligh membuka percakapan.
“Apa, Mas?” ucap orang tersebut balik bertanya.
“Itu, kawan Mas yang barusan nelpon masih di jalan yah?” jelas sang mubaligh
“Oh, iyah.” Jawab si pria pendek.
“Kok bisa tidak sama-sama, Mas?” tanya sang mubaligh.
“Dia aslinya Jati, Mas.” Jawab si pria sambil memainkan smartphone-nya.
“Loh, Mas sendiri asli mana?” Susul sang mubaligh. Si pria tidak menjawab. Ia nampak kembali tersenyum-senyum sendiri dengan media sosialnya.
“Kenapa, Mas? Tanya si pria tiba-tiba.
“Kawan Maskan asli Jati, nah Mas sendiri asli mana?” ulang sang mubaligh.
“Saya asli sini, Mas.” Ujarnya pendek.
“Belum pernah merantau, Mas?” Ucap sang mubaligh mencoba mencari bahan obrolan.
“Memang kenapa, Mas?” Acuh si pria. Wajahnya sama sekali tidak berpaling dari smartphone-nya.
“Biasanya kan orang jawa banyak yang merantau.” Terang sang mubaligh.
“Nah Mas sendiri kenapa tidak merantau?” Ujar si pria balik bertanya
“Saya perantau, Mas.” Jawab sang mubaligh
“Kok bisa ada di sini?” Susul si pria cuek.
“Saya dibimbing oleh takdir, Mas.” Ujar sang mubaligh.
“Mas orang "djarum"yah?”
“Bukan, Mas.”
“Apa Mas ini PNS?”
“Bukan, saya bukan PNS.”
“Istri Mas orang sini?”
“Istri saya orang Bogor.”
“Loh piye iki. Jadi Mas ini ngapain di sini?” Kaget si pria seraya menolehkan wajahnya ke arah sang mubaligh.
“Saya Mubaligh Jemaat Ahmadiyah, Mas.”
“Oooh.” Ucap si pria sambil menatap tajam ke sang mubaligh. “Kok, bisa?” Lanjutnya.
“Maksudnya?” Tanya sang mubaligh.
“Ahmadiyah kan sesat. Kok bisa Anda ini percaya.”
“Sejauh apa Mas tahu tentang Ahmadiyah?”
“Sejauh kesesatannya lah.” Ujar si pria pongah sambil menyebutkan satu per-satu kesesatan versinya.
“Baik, saya akan jelaskan yah, Mas” Jawab sang mubaligh.
“Gak usah. Saya gak mau denger.” Potong si pria. “Karena saya yakin penjelasan Anda juga ngawur.” Lanjutnya.
“Loh tahu darimana penjelasan saya ngawur, saya kan belum menjelaskan?”
“Gak perlu. Anda mau jelaskan pakai dalil apa. Saya 12 tahun di pesantren, Mas. Semua kitab sudah saya lahap. Daripada nantinya Anda malu sendiri.” Ucapnya. “Dari namanya sendiri udah aneh, JEMAAT kayak orang Kristen.” Cibirnya.
“Oh yah, saya mau tanya Mas.” Lanjutnya. “Kenapa namanya JEMAAT AHMADIYAH Masbukan JAMAAH AHMADIYAH. Kalau memang Islam harusnya JAMAAH bukan JEMAAT. JEMAAT itu kan sebutan untuk orang Kristen atau jangan-jangan kelompok Anda ini memang dilahirkan oleh orang Kristen untuk menghancurkan Islam.” Sinis si pria.
“Boleh saya tanya ini hari apa, Mas?” tanya sang mubaligh.
“HARI JUM’AT, memangnya ada apa?”
“Kenapa disebutnya HARI JUM’AT bukan HARI JUM’AH. Padahal tulisannya JUM’AH.” Ujar sang mubaligh. Si pria terdiam. Wajahnya dilemparkan ke tempat lain dan tak berani menatap balik sang mubaligh.
“Lalu kenapa orang juga sering menyebut SHOLAT bukan SHOLAH. Padahal tulisannya SHOLAH. Coba Mas jawab. Tadi mas bilang kalau Mas sudah 12 tahun di pesantren. Kalau Mas bisa menjawab pertanyaan saya tersebut. Saya akan menjawab pertanyaan Mas tadi.” ujar sang mubaligh.
Wajah si pria memerah. Ia langsung beranjak dari duduknya. Memakai helmet, menghidupkan motor dan pergi dari tempat tersebut. Awan putih merayap menutupi matahari. Sejenak suasana sekitar menjadi sejuk. Sang mubaligh menghidupkan motornya dan membawa lari tunggangannya menyusuri jalan aspal purwodadi-kudus. 


Post a Comment

0 Comments