PAMOR "AHLUL BAIT"


Oleh : Mln. Rafiq Ahmad

Pada saat ini tidak diragukan lagi banyak masyarakat khususnya yang beragama islam sangat senang, bahkan bangga apabila memiliki silsilah yang berasal dari orang terhormat maupun berpengaruh.

Baik itu dari silsilah kebangsawanan, kepahlawanan, kedinasan, Bahkan sampai silsilah kedaerahan dan ketokohan. Semua hal tersebut sudah sangat lumrah dijadikan objek perkenalan dan kedudukan sosial.

Hal tersebut pada hakikatnya tidak terlarang dan tidak menjadikan berdosa, dengan syarat silsilah tersebut tidak dijadikan syarat kemuliaan, kebenaran dan kesucian seseorang diantara yang lainnya sehingga dengan mudahnya merendahkan, menyalahkan dan menghakimi orang lain.  karena hal tersebut bertentangan dengan syariat islam, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat : 11 dan 13.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ١١

11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

ۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
13. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal

Hadhrat Muhammad mustofa Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersada kepada abu Dzar ;
“Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan taqwa. (HR. Ahmad,.5;158)

Selain itu, Imam Namaw rahimahullah menjelaskan “Siapa saja yang amalnya itu kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa menolong dirinya oleh karenanya jangan terlalu Berharap dari nasab atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akhirnya sedikit dalam Beramal (Syarh Shahih Muslim, 17;21).

Padahal sangat jelas keterangan dari dalil-dalil tersebut. Tapi sangat disayangkan beberapa diantara masyarakat tidak perduli dengan keterangan tersebut bahkan seakan-akan menolak. Mereka menyatakan diri sebagai orang yang lebih terhormat, lebih berjasa, lebih hebat, lebih mulia dan lebih suci dari yang lain. Khususnya mereka dari kalangan yang merasa dari silsilah "Ahlul Bait".

"Ahlul Bait" secara historiografi Islam merupakan garis keturunan biologis yang berasal dari pendiri Islam yaitu, Hadhrat Muhammad mustofa Shallallaahu 'alaihi wassalam.

Hal itu pada dasarnya suatu kebanggaan tersendiri karena memiliki silsilah dari seorang yang dimuliakan dari kalangan umat Islam. Tapi bukan berarti menjadi sebuah legalitas untuk menilai dan menghakimi seseorang dan kelompok yang bukan dari mereka "Ahlul Bait".

Padahal konsep syari'at Islam berkenaan dengan "Ahlul Bait" bukan berdasarkan dari garis keturunan secara biologis akan tetapi dari nilai-nilai tekad dan usaha dalam mencapai kebaikan dan keridhoan dari pemilik Agama Islam itu sendiri yaitu, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana diformalkan di dalam Al-Qur'an :

وَنَادَىٰ نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ

Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.” (Surat Hud, Ayat 45).

قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ

Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.” (Surat Hud, Ayat 46)

Selain itu terdapat sebuah tarikh bahwa anaknya Nabi Adam as yang bernama Qabil yang berperilaku jahat tidak diterima sebagai pewaris kemuliaan Nabi Adam as.
Lalu dijelaskan juga di dalam sebuah hadits, "Dari Abu Hurairah, di mana beliau berkata,

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ « يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِى عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِى عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِى مَا شِئْتِ مِنْ مَالِى لاَ أُغْنِى عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri ketika turun ayat, ” Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214). Lalu beliau berkata, “Wahai orang Quraisy -atau kalimat semacam itu-, selamatkanlah diri kalian sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai Bani ‘Abdi Manaf, sesungguhnya aku tidak dapat menolong kalian sedikit pun dari Allah. Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah. Wahai Fatimah puteri Muhammad, mintalah padaku apa yang engkau mau dari hartaku, sesungguhnya aku tidak dapat menolongmu sedikit pun dari Allah.” (HR. Bukhari no. 2753 dan Muslim no. 206).

Ath Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian –wahai manusia- adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thobari, 21:386)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,  “Sesungguhnya kalian bisa mulia dengan takwa dan bukan dilihat dari keturunan kalian” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13: 169)

Jadi, seseorang yang berasal dari keluarga orang-orang mulia, agung dan juga suci bukan berarti secara otomatis dia akan menjadi mulia, agung dan juga suci tetapi yang menentukan adalah seseorang yang paling baik amal-nya dan ketaqwaan-nya.








Post a Comment

0 Comments