MENGENAL KEBERADAAN TUHAN


Oleh : Mln. Yusuf Awwab

Dalam sebuah perjalanan dari Semarang ke Kudus, seorang Mubaligh duduk bersebelahan dengan seorang pria berusia 40 tahunan.

Perawakan pria tersebut agak gempal dengan kacamata mines tersemat di antara kedua tulang hidungnya. Pria tersebut berkali-kali mengeluarkan sendawa. Ia terus memegang kepalanya seperti ada sesuatu yang dirasakan.

“Anda pusing, mas?” Tanya sang Mubaligh

“Iya, mas. Saya kalau naik mobil yang ber-AC pasti seperti ini.” Ujar pria tersebut.

Seketika si pria menahan mulutnya. Ada sesuatu yang hendak keluar. Sang Mubaligh membuka tas yang ada di pangkuannya lalu mengambil kresek hitam dan memberikannya kepada pria berkacamata tersebut.

 Oooee... Oooee! Si pria mengeluarkan semua yang ada dalam perutnya. Setelah dirasa sudah keluar semua, ia pun mengikat kresek hitam tersebut lalu menyimpannya di bawah kursi yang didudukinya.

Awan pekat bergerombol membentuk gumpalan-gumpalan hitam menutupi sinar matahari. Mendadak cahaya kilat merobek gumpalan tersebut. Suaranya yang menggelegar membuat si pria menutup telinganya.

Ia menaikan kerah jaketnya guna menghindari dinginnya AC. Kedua tangannya dilipat menempel kuat dengan dada, sementara di luar hujan mulai turun dengan derasnya.

“Anda tidak kuat AC yah, mas?” Tanya sang Mubaligh membuka percakapan

 “Iya,” jawab si pria pendek.

“Kalau gitu kita tutup saja AC-nya.” Ujar sang Mubaligh

“Memang bisa, mas? Ucap si pria heran.

“Kalau bisa sih saya seneng sekali.” Lanjut pria itu

 “Ini saja kita putar biar AC di tempat duduk kita tidak keluar.” Kata sang Mubaligh sambil berdiri memutar AC kursi bus khusus penumpang yang bentuknya bundar seperti cctv.

Udara dingin mulai berkurang, namun tidak sepenuhnya hilang karena kursi AC di penumpang yang lain hidup semua. Si pria memejamkan matanya mencoba untuk bisa menghalau rasa dingin dengan berusaha tidur.

Suara nyanyian Nela Kharisma dengan lagunya Jaran Goyang seakan mengusir kejenuhan para penumpang. Si pria mencoba menempelkan kepalanya ke kaca mobil, namun sebentar kemudian kepalanya dibalikan lagi ke posisi semula. Ia nampak tersiksa dengan udara dingin AC bus tersebut. Bagi si pria waktu berjalan begitu lambat.

Di luar hujan semakin deras. Tetesan air hujan yang menempel di kaca jendela seolah menyatu dengan udara AC bus membentuk aliran hawa dingin yang menyelimuti kulit.

“Punya balsem, mas ?” Tanya si Pria memecahkan keheningan.

“Tidak punya, mas. Saya tidak pernah membawa balsam.”jawab sang Mubaligh

“Saya tadi lupa beli, biasanya saya naik bus non AC dan jarang sekali naik bus AC. Karena saya sering muntah kalau naik bus AC.” Ujarnya sambil tersenyum.

“Mungkin anda terlalu membebankan pikiran anda, mas.” Kata sang Mubaligh

“Maksud, mas?” Tanya si pria heran

“Selama ini otak mas sudah terkonsep sebuah pemikiran bahwa naik bus AC pasti mabok. Oleh karena itu otak pun merespon dan menyimpannya dalam memori, lalu mentransfer informasi tersebut ke seluruh tubuh bahwa naik bus AC itu mabok sehingga sel-sel tubuh pun menerima pesan tersebut dan mengaplikasikan ke tubuh. Jadi setiap kali melihat bus AC, tubuh anda akan memandangnya sebagai bus yang pasti akan membuat anda mabok.” Ujar sang Mubaligh

“Ah, anda bisa aja, mas.”

“Loh, memang seperti itu kan. Semuanya tergantung niat. Kalau niatnya mabok pasti mabok.” Ucap sang Mubaligh

“Jadi niat itu adanya dimana mas, hati apa otak. Kok nyambungnya ke niat?” potong si pria

“Niat itu adanya di hati.” Jawab sang Mubaligh tersenyum

“Lalu apa hubungannya dengan otak? Bukankah hati itu hanya organ tubuh yang fungsinya sekedar menyaring berbagai macam barang yang masuk ke tubuh sebelum menuju jantung.” Ujar si pria seraya berusaha memperbaiki duduknya.

“Saya setuju.” dukung sang Mubaligh

“Kalau begitu ucapan mas bahwa niat itu adanya di hati, salah dong?” lanjut si pria menatap kearah sang Mubaligh.

“Tadi saya tertarik dengan perkataan mas tentang otak, karena otak itu sepeti chip yang fungsinya memerintah seluruh tubuh.” Lanjut orang tersebut. “Tangan kita ini digerakan bukan dengan hati tapi otak. Kaki kita ini, mulut juga, mata dan semua yang ada di tubuh diatur oleh otak dan tidak ada kaitannya dengan hati.” Papar pria tersebut.

“Makanya saya itu aneh dengan orang-orang yang berkata bahwa niat itu adanya di hati. Padahal segala sesuatu itu adanya di otak dan harus sesuai dengan pemikiran yang keluar dari otak. Bukan begitu mas?” ujar si pria. Sang Mubaligh tersenyum.

“Mas, saya ingin tanya yah sebenarnya surga dan neraka itu ada atau tidak?” tanya si pria.

“Saya percaya ada.” Jawab sang Mubaligh.

“Mas, sudah pernah melihatnya belum, kok percaya?”

“Saya memang belum melihatnya, tapi…..”

“Enggak..enggak! Saya hanya ingin tanya mas sudah pernah lihat apa belum. Jawab itu saja!” potong si pria.

“Belum!” jawab sang Mubaligh.

“Tenang, Mas! Bukan hanya mas tapi saya dan milyaran manusia yang ada di bumi ini pun belum pernah melihatnya. Coba siapa yang sudah pernah kesanah? Tidak ada kan. Itu artinya surga dan neraka cuma sekedar mitos atau cerita semata. Oleh karena itu diragukan keberadaannya.” tegas si pria.

 “Begitu juga dengan keberadaan Tuhan. Coba siapa yang sudah pernah melihat Tuhan. Bahkan orang-orang yang mengaku nabi pun tidak pernah melihat Tuhan. Betul tidak, mas? kalau saya salah silahkan dikoreksi. Makanya segala sesuatu itu harus masuk logika. Kalau cuma mengandalkan katanya…katanya, yah bagaimana. Hidup ini harus dengan akal bukan dengan cerita atau katanya semata. ” Si pria mengakhiri kata-katanya sambil memijat kepalanya yang pusing.

Hujan mulai agak redah, namun tetesannya masih terlalu banyak. Sementara bus berjalan pelan menyatu dengan tumpukan kendaraan yang mulai memadati jalan.

“Boleh saya menanggapi apa yang disampaikan, mas?” ujar sang Mubaligh tiba-tiba.

“Oh, Silahkan mas.” Kata si pria

“Saya setuju bahwa hati hanya organ tubuh yang fungsinya sebagai penyaring, sedangkan inti tubuh manusia adalah otak. Tadi saya mengatakan bahwa niat itu ada dalam hati. Karena hati yang saya maksud disini adalah Qalbun bukan liver.” Ujar sang Mubaligh. Si pria menolehkan wajahnya. Sang Mubaligh tersenyum.

“Qalbun berbeda dengan Liver. Liver atau hati yang mas maksud adalah kabada. Kabada dalam bahasa Arab adalah hati yang fungsinya sebagai penyaring darah ke jantung. Sementara hati yang saya maksud adalah Qalbun.” Lanjut sang Mubaligh

“Dalam bahasa Arab Qalbun adalah inti dari tubuh manusia yang fungsinya untuk menyimpan data, membolak-balikan memori atau ingatan seseorang serta mengatur seluruh saraf dan organ tubuh manusia. Dan dalam bahasa Inggris pun Qalbun diterjemahkannya mind yaitu ingatan atau pikiran. Dan semua itu adanya di dalam otak bukan hati. Jadi maksud Qalbun disini bukan lah hati tapi otak.”
Sang Mubaligh menarik nafas mengatur ritme ucapannya agar nampak tenang dan jelas.

“Oleh karena itu nabi saw menjelaskan bahwa dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, jika segumpal daging ini rusak maka seluruh tubuh manusia pun akan rusak atau cacat. Segumpal daging itu adalah Qalbun yaitu Otak. Jadi saya setuju dengan mas bahwa otak itu adalah chip, karena nabi pun berkata demikian. Dan saya juga setuju bahwa segala sesuatu itu harus bisa dicerna dengan akal.”

“Lalu bagaimana dengan niat, karena di otak tidak ada niat?” potong si pria

“Niat itu bahasa ruhani, Mas. Bahasa logikanya adalah kemauan yang timbul dari buah pemikiran tentang sesuatu yang hendak dicapai.” Jawab sang Mubaligh.

Si pria mengkerutkan dahinya mencoba untuk memahami ucapan sang Mubaligh.

“Niat itu kurang lebih artinya sama seperti Ide, gagasan, hasrat, keinginan dan kemauan. Mas.” Terang sang Mubaligh. Si Pria menarik tuas pengatur kursi. Direbahkan tubuhnya sedikit seraya menjulurkan kakinya.

“Lalu bagaimana dengan surga dan neraka?” ujar pria tersebut menoleh.

“Surga, Neraka dan Tuhan itu semuanya ghaib, Mas.”

“Loh, tadi mas bilang setuju bahwa segala sesuatu harus bisa dicerna akal. Lalu bagaimana cara mencerna yang model-model seperti itu?” potong si pria.

“Tidak semua yang ada di bumi dan alam jagat ini harus disaksikan dengan mata, mas.”

“Betul tapi teknologi kan bisa membantu hingga kita pun mengetahuinya dan diterima akal. Saya juga belum pernah melihat planet-planet dan galaksi-galaksi yang jauh di angkasa itu, tapi bukan berarti hal tersebut ghaib. Karena dengan bantuan teknologi kita bisa mengetahuinya, iya tidak mas?” potong si pria menjelaskan

“Betul mas. Tapi jangan lupa kita ini tidak hanya memiliki indra penglihatan, namun juga indra perasa. Selama ini kita hanya mengandalkan indra penglihatan tapi mengabaikan Indra perasa.” Ujar sang Mubaligh.

“Maksudnya?”

“Saya ingin tanya, apakah kepala mas masih pusing?”

“Agak lumayan lah. Tapi memang masih pusing sih.” Jawabnya

“Sekarang saya ingin tanya kembali. Apakah mas bisa melihat wujud atau bentuk dari pusing tersebut. Kira-kira seperti apa bentuk atau wujud pusing tersebut mas, coba ceritakan kepada saya?” ucap sang Mubaligh.

Si pria melepas kacamatanya, lalu mengucek salah satu matanya dengan ujung jarinya.

“Mungkin jika pusing yang ada di kepala mas itu bentuknya seperti batu, saya yakin mas akan mengangkat dan melemparkannya ke luar, sehingga kepala mas tidak lagi pusing. Tapi masalahnya pusing itu tidak berbentuk, tidak berwujud. Ia hanya bisa dirasakan namun tidak bisa dilihat.” Jelas sang Mubaligh.

“Jadi pusing itu ghaib mas. Semua orang yang mengalami pusing hanya bisa merasakan tanpa tahu bentuk dan wujudnya. Begitu juga dengan Tuhan mas. Tuhan itu ghaib tidak ada seorang pun bahkan betul kata mas tadi, bahwa para nabi pun tidak pernah meliihat wujud-Nya. Namun mereka yaitu para nabi bisa merasakan keberadaan-Nya. Sama seperti mas yang merasakan keberadaan pusing namun tidak pernah bisa melihat wujud pusing itu sendiri.”

 Si pria terdiam. Kedua ujung kakinya yang dilonjorkan digerak-gerakan.

Sang Mubaligh mendekatkan tubuhnya agar suaranya bisa terdengar jelas.
“Jadi para nabi itu adalah orang pertama yang merasakan keberadaan Tuhan. Mereka menceritakan hal tersebut kepada para pengikutnya. Dan para pengikutnya meyakini cerita tersebut karena melihat tingkah laku dan perbuatan para nabi tersebut. Sama seperti saya yang percaya bahwa mas sedang pusing padahal saya sendiri tidak mengalaminya. Kenapa seperti itu? Karena saya melihat gerak, gesture dan tingkah laku mas. Jadi meski saya tidak bisa melihat wujud pusing yang dimiliki mas, tapi saya percaya mas sedang pusing. Nah, seperti itu lah keberadaan Tuhan mas. Tidak nampak tapi bisa dirasakan.” Papar sang Mubaligh.

“Terminal Kudus ..! Terminal Kudus persiapan!!!” Tiba-tiba kondektur bus berteriak.

Beberapa penumpang yang hendak turun mulai beranjak dari kursinya dan marapat ke pintu bus.

“Aduh maaf mas sepertinya saya harus  turun di sini.” Ujar sang Mubaligh

“Oh..iyah mas. Memang Njenengan asli kudus mas? Tanya si pria

“Saya menetap di Kudus mas. Tapi saya asli Tangerang. Mas sendiri?”

“Saya asli Cirebon tapi keluarga di Surabaya.”

Kondektur bus kembali berteriak.
“Terminal habis!...Terminal habis..!!!

Sang Mubaligh beranjak dari kursinya sambil meletakan tas ke pundak.
“Saya turun dulu mas.” Ujar sang Mubaligh

“Oh iyah…makasih yah mas.” Ucap si pria.

Udara bertiup dingin. Meski awan hitam sudah mulai terurai, namun rintik hujan masih membasahi bumi. Sang Mubaligh turun dari bus dan berlari menghindari hujan untuk mencari tempat berlindung. Saat bus melaju pergi sang Mubaligh baru sadar jika ia belum kenalan dengan pria tersebut.

Post a Comment

4 Comments

  1. Y,kelupaan minta nomer contact😁

    ReplyDelete
  2. Semoga kisahnya selalu beberkat.
    Jazakumullah kisahnya tuan

    ReplyDelete
  3. Sptny Saya kenal dengan sosok mubaligh di kisah ny,.sehat n sukses trs pa mubaligh

    ReplyDelete