Menuntut Berdirinya Sistem Khilafah dengan Syariat Islam







Oleh: Mln. Muhammad Ali

Kalau berbicara Negara Islam dan upaya untuk menegakkannya, pikiran kita dengan segera tertuju kepada salah satu ormas yang sangat getol dalam hal ini. Siapa dia?... Siapa lagi kalau bukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Ormas satu ini tak henti-hentinya menggelar aksi demi aksi, menyampaikan tuntutannya agar khilafah didirikan seraya menolak paham sekuler dan demokrasi. ‘Khilafah yes, Demokrasi no’ katanya. Bagi mereka segala persoalan yang ada pada bangsa ini hanya bisa beres dengan Sistem Khilafah. Bahkan baru-baru ini saya membaca satu berita bahwa penyebab rupiah anjlok adalah karena Sistem Khilafah belum dijalankan.

Melihat dan merasakan fenomena ini, muncul pertanyaan sederhana di benak saya, seperti apa kira-kira sistem khilafah menurut mereka ini akan membenahi amburadulnya sistem transportasi di Jakarta, misalnya? Bukankah sopir angkot yang kerap melanggar aturan ber-lalu-lintas hampir semuanya adalah orang islam?. Bukankah banyak sekali pemilik angkot yang menyandang gelar haji? Pegawai DLLAJ yang memberikan ijin trayek dan mengatur angkot juga bukankah mereka mayoritas Islam? Polisi yang mengatur lalu-lintas juga mayoritas beragama Islam?

Apakah PKL bisa ditertibkan dengan syariat Islam? Bukankah banyak juga dari para PKL ini yang adalah orang-orang awak yang memiliki slogan, ‘Adat bersendikan Sara’ dan Sara’ bersendikan Kitabullah? Mengapa mereka melanggar aturan negara?

Para koruptor kelas kakap sebagian besar umat Islam. Para hakim dan jaksa penuntut kebanyakan umat islam. Para pegawai pemda yang menilep uang pajak, uang IMB, uang KTP dan berbagai pungli adalah makhluk-makhluk yang beragama islam.

Lalu mari kita tengok para politikus yang katanya dari partai-partai Islam, apakah mereka bisa jadi teladan yang menjunjung tinggi akhlak Islam? Tidakkah mereka hanya berebut harta, tahta dan sebagian wanita? Bisakah mereka menerapkan syariat Islam untuk dirinya sendiri? Baru-baru ini kita melihat dan menonton berita di salah satu kota anggota DPRD nya korupsi berjamaah. Bukankah mereka adalah mayoritas beragama Islam?

Andaikan tuntutan kelompok Hizbut Tahrir ini dipenuhi siapakah yang harus menjadi khalifah? Dan kalaupun sudah ditentukan orangnya, beranikah dia menjadi khalifah? Atau jika dia mau dan bersedia, apakah umat NU dan Muhammadiyah sebagai ormas terbesar di negeri ini mau membubarkan diri dan kemudian bernaung di bawahnya?

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana pula jika semua negara Islam mengangkat khalifahnya masing-masing? Akan berapa banyak khalifah Islam di dunia? Bukankah Nabi Muhammad saw mengatakan jika dalam suatu masa ada dua khalifah, satu diantaranya harus dibunuh? Lalu jika di dunia ini terbentuk 100 khalifah, maka betapa dahsyatnya acara pesta pora saling membunuh di antara umat Islam untuk menyisakan satu khalifah sesuai dengan perintah Rasulullah saw. Semua ini harus betul-betul dicerna dengan akal sehat.

Pembaca yang budiman, khalifah Islam sudah lama tiada, untuk menghidupkannya kembali harus melalui tahapan Khilafah ‘alaa minhajin nubuwwah sebagaimana dinubuatkan oleh Nabi Muhammad saw. Artinya, Allah SWT harus menurunkan nubuwwahnya dahulu kepada orang yang ditunjuk-Nya sebagaimana Allah SWT mengangkat Adam sebagai khalifah.

Khalifah ‘alaa minhajin nubuwwah adalah pembuka jalan bagi terbentuknya Nizham Khilafah Islamiyyah yang kedua kalinya. Khalifah Islam akan terbentuk dengan sendirinya walaupun tanpa pengakuan dari seantero umat Islam yang berjumlah sekitar satu milyar. Khalifah Islam tidak harus menguasai teritori. Keberadaannya untuk menguatkan pengamalan nilai-nilai agama, menghilangkan ketakutan dan menciptakan perdamaian dan keamanan (QS. 24:56), bukan malah membuat kekacauan dan ketakutan. Setiap negara Islam tak masalah memiliki pimpinan duniawinya masing-masing. Lambat laun sebagian umat Islam di seluruh dunia akan bernaung di bawah satu bendera, satu kepemimpinan rohani.

Post a Comment

0 Comments