Membelakangkan Akal Demi Tradisi


Oleh : Mln. Husnur Rasyidi

Dalam sejarah Nabi-Nabi terdahulu yang mana termuat dalam Kitab suci Al-Quran, bahwa upaya menyampaikan amanat Ilahi yang mereka telah lakukan amat sedikit sekali yang mengikutinya. Apa permasalahannya? Adalah ketidakmampuan mereka untuk menggunakan akal karena terbelenggu adat tradisi.

Sebagaimana dalam Al-Quran dikisahkan bagaimana Hazrat Ibrahim as mengajak kaumnya untuk menyembah Allah SWT.  Beliau menanyakan kepada kaumnya kenapa kalian menyembah sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat bahkan tidak bisa mendengar karena itu adalah berhala?

 Tetapi apa jawaban kaum beliau bahwa kami kan mencontoh ini dari bapak-bapak kami terdahulu (Q.S. Asy-Syuara : 70-75 / Q.S. Al-Anbiyaa : 53-54 ). Di tempat lain juga dikisahkan bagaimana gigihnya beliau menyampaikan seruan untuk menyembah hanya pada satu Tuhan.

Dalam surah Al-An’am : 77-80 mengisahkan bagaimana beliau as mengajak kaum beliau menggunakan akal mereka dengan menggunakan analogi-analogi. Tetapi upaya yang beliau lakukan itu masih tidak bisa diterima oleh kaum beliau. Alasannya adalah mereka sulit untuk mengubah tradisi kepercayaan yang mereka telah lama lakukan, sehingga walaupun akal bisa menerimanya tetapi masih kalah kuat dengan kepercayaan yang sudah dianut secara turun temurun.

Tugas seorang utusan Allah Taala, siapapun dia, diutus ke dunia menurut Al-Quran suci ada dua hal yang utama, sebagaimana diterangkan dalam surah Asy-Syuara ayat 109 yaitu    فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ  “maka bertakwalah kepada Allah, dan taatlah kepadaku”. Dan setiap Rasul diutus oleh Allah Taala dalam menyampaikan amanat Ilahi tidak mengharapkan apapun sebagai imbalan.

Termuat dalam sejarah bahwa bagaimana Hazrat Rasulullah Muhammad saw. diiming-imingi oleh para pemuka kaum Quraisy agar berhenti dari da’wanya. Mereka menjanjikan segala kenikmatan duniawi asalkan beliau saw berhenti mengajak mereka meninggalkan sembahan-sembahan mereka yang notabenenya dari dulu mereka anut.

 Tetapi karena da’wa yang dilakukan oleh beliau saw dan juga para Nabi sebelum beliau itu murni hanya mengharap ridho Ilahi maka beliau saw menolak tawaran dari mereka.

Sejarah merupakan sebuah pembelajaran yang semestinya membuat kita mampu menjadi insan yang lebih baik lagi. Mengulangi kesalahan yang pernah terjadi di masa lampau adalah laksana masuk ke lubang sama.

Begitu juga dengan kepercayaan yang sebenarnya kalau ditimbang dengan akal justru itu tidak sejalan patutlah ditinggalkan. Dan begitu pula ajakan kearah kebenaran yang dikumandangkan oleh seseorang yang dilatarbelakangi oleh kecintaan dan semata-mata demi Ridho Ilahi tanpa ada maksud dan harapan akan imbalan tentu semestinya perlu dipikirkan dengan hati nurani yang terdalam.

Apalagi orang itu dikenal tidak ada cela yang dilakukan sebelumnya bahkan dipuja dan dipuji. Jangan sampai kepercayaan lama yang telah mengakar di masyarakat dan dilakukan secara turun temurun menjadi faktor penghambat menuju kearah kebenaran.

Hazrat Masih Mauud as menulis dalam buku beliau “Kemenangan Islam” bahwa
“Timbanglah pohon dengan buahnya, matahari dengan cahayanya”

Sebuah kalimat yang pendek dengan makna yang dalam. Tentulah bila kita mengukur pohon itu baik atau bagus, pasti dari buahnya, apabila buahnya lebat lagi lezat tentulah pohon itu pohon yang baik bahkan berasal dari bibit unggul.

Begitu pula bukanlah matahari kalau tidak menyinari dengan cahayanya yang memberikan kehidupan bagi makhluk hidup. Allah Taala menganugerahi manusia akal yang sehat adalah merupakan pemberian yang tak ternilai harganya maka menggunakan pemberian itu dengan sebaik-baiknya merupakan sebuah ungkapan sukur kita kepada-Nya.


Post a Comment

0 Comments