Sekiranya Tuhan Adalah Ruang, Akan Dia Akan Musnah

Menanggapi Tulisan Dedy Ibmar 

Manusia adalah mahluk yang termulia di muka bumi ini karena terlahir dengan potensi akal pikiran. Pikiran merupakan tahta singgasana luhur dari kesadaran manusia. Logika deduktif merupakan salah satu fitrat pikiran yang amat menakjubkan.

Pikiran pun mempunyai kemampuan merenungi masalah-masalah metafisika dan konseptual yang berkaitan dengan ketidak-terbatasan dan kekekalan. Pikiran memiliki kemampuan memecahkan teka-teki dari suatu rangkaian kausa sebab akibat yang tidak berujung.
Pikiran manusia merupakan entitas paling luhur dari kehidupannya. Pikiran mampu menerima dan mengolah semua pesan yang disampaikan kepadanya melalui semua indera. Pikiran bukanlah nama lain dari otak. Pikiran jauh lebih luhur dari otak karena justru dialah yang berfungsi sebagai penggeraknya. (Hazrat Mirza Tahir Ahmad, 1998)
Meski demikian, pikiran manusia pun memiliki keterbatasan. Sebuah pembelajaran dapat diambil ketika Galileo di abad ke-16 melihat alam di luar bumi menggunakan teleskopnya yang sederhana, ia demikian terpesona dengan temuannya. Dengan bangga ia menyatakan telah berhasil memperluas cakrawala penglihatan manusia lebih dari seratus kali.
Namun tanpa disadarinya, tidak lama setelah itu datang suatu hari bagi manusia di mana alam semesta ini terlihat seratus juta kali lebih besar dan lebih luas dibanding apa yang dilihatnya pada waktu itu. Ia hanya bisa membandingkan temuannya itu dengan keadaan di masa sebelum dirinya saja. Sudah berulang kali terjadi, betapa semunya lonjakan kegembiraan manusia atas hasil temuannya.
Apa yang kita ketahui di masa sekarang mungkin sudah bermilyar kali lebih luas dibanding keadaan seribu tahun yang lalu. Dan apa yang akan diketahui umat manusia seribu tahun mendatang, bisa jadi bermilyar kali lebih canggih dibanding keadaan sekarang. Hal ini membuktikan bahwa adanya percepatan dari upaya penjelajahan area baru, terasa sekali betapa terbatasnya kapasitas indera yang dimiliki manusia.
Suatu spektrum kehidupan dan suara yang sangat luas masih berada di luar jangkauan persepsi yang normal. Kalau kita mampu memperbaiki kemampuan persepsinya maka kita akan mampu melihat lebih banyak warna dan mendengar lebih banyak suara.  
Bentuk dan warna yang kita lihat nyatanya amat berbeda di mata beberapa jenis hewan. Daya penglihatan dari dunia material, persepsi mengenai warna, bau dan rasa, nyatanya amat berbeda sehingga yang namanya realitas berubah menjadi suatu realitas relatif. Fitrat pikiran manusia memiliki keterbatasan, terutama dalam mencapai kebenaran pada wilayah atau domain yang melampaui ruang dan waktu.
Terkait ruang, secara matematika dapat dibuktikan bahwa ruang yang kita huni dan semesta yang ada tidak mungkin bersifat kekal terkait masa lalunya, dan tidak mungkin abadi terkait masa depannya. Guna menjelaskan bahasan ini kita memerlukan definisi ilmiah yang disebut sebagai ‘entropi.’
Entropi mengandung makna bahwa alam material ini dalam bentuk apa pun eksistensinya secara berkesinambungan akan kehilangan sebagian dari massanya, di mana energi yang menghilang tak mungkin dipulihkan kembali.
Paul Davies seorang Professor di bidang Filsafat Alam di Universitas Adelaide yang juga pemenang penghargaan Templeton Prize menyatakan dalam bukunya, God and the New Physics (1990) bahwa:
 Para ahli fisika telah menemukan suatu kuantitas matematika yang disebut sebagai entropi untuk mengukur kadar kerancuan, dimana banyak dari eksperimen yang dilakukan secara hati-hati telah membuktikan bahwa total entropi merupakan sistem yang tidak pernah menyurut. 
Dalam hal ini, alam semesta hanya memiliki keteraturan yang terbatas dan selalu merosot secara irreversible ke arah kerancuan, yang berakhir pada ekuilibrium thermodinamika.
Ada dua kesimpulan yang bisa ditarik. Pertama, alam ini akan mati, terbenam di dalam entropinya. Hal ini disebut sebagai ‘kematian kehangatan’ (heat death) oleh para ahli fisika di dunia. Kedua, alam semesta ini tidak mungkin kekal selamanya, kalau tidak maka alam ini sudah mencapai akhir ekuilibriumnya pada waktu tidak terbatas di masa lalu. Kesimpulannya, alam ini tidak selamanya ada.
Dalam reaksi sederhana bila hidrogen dibakar dalam sebuah tabung yang penuh oksigen dengan cara menyemprotkan hidrogen menyala ke dalamnya, maka ia hanya akan terbakar selama oksigen masih ada. Apa yang tertinggal dari proses itu adalah air.
Suatu benda panas secara berangsur suhunya akan mendingin. Jika benda itu menjadi sama dingin dengan suhu di sekelilingnya, berarti ia telah mencapai suatu ekuilibrium. Arus hangat dari benda yang panas kepada atmosfir yang dingin tidak akan berbalik arahnya. Selalu suhu panas yang mengalir ke arah dingin.Ketika reaksi kimia ini sedang berlangsung, terjadilah pelepasan energi. Guna mengkonversi air agar kembali menjadi hidrogen dan oksigen, hanya mungkin jika jumlah energi yang dilepas saat sintesa air tersebut dipasok kembali untuk memisahkan komponen air, yaitu oksigen dan hidrogen tadi.
Ketika keseluruhan panas dari alam semesta telah habis dan telah mencapai titik ekuilibrium, tidak akan ada lagi pertukaran panas yang dimungkinkan dan tidak akan ada lagi reaksi kimiawi yang bisa terjadi. Keadaan inilah yang oleh para ilmuwan dikatakan sebagai ‘kematian kehangatan’ (heat death) dari alam semesta.
Quantum (kuantita) dari energi alam yang dikonsumsi akan terus meningkat sedangkan quantum dari energi yang bisa dibakar di alam semesta akan terus menurun.
Dengan demikian, akan tiba suatu masa nanti, meski mungkin masih lama sekali, ketika seluruh alam semesta akan terbenam dalam keadaan inertia (lembam) yang tidak bisa dipulihkan kembali kepada bentuk material semula. Tidak ada tindakan yang bisa diambil, tidak akan ada reaksi yang mungkin timbul. Nama lainnya adalah kematian mutlak atau ketiadaan. (Hazrat Mirza Tahir Ahmad, 1998).
Misalnya pun proses entropi memerlukan masa selama satu triliun tahun, pangkat satu triliun sampai datangnya ‘kematian kehangatan’ alam semesta, tetap saja ada ujungnya.
Sekarang beralih dari peninjauan ke belakang, kembali ke masa kini dan bertanya mengapa alam semesta ini eksis di sekitar kita? Bukankah mestinya sudah musnah sama sekali dihancurkan oleh entropi, karena tidak bisa menghindar dari deteksi ketika sedang mundur ke masa lalu?
Sebagian orang dibingungkan oleh hal ini, padahal sebenarnya merupakan persamaan matematika yang sederhana saja. Suatu bentuk yang bisa membusuk tidak mungkin bersifat kekal. Jika bentuk itu kekal adanya maka tak mungkin ia membusuk.
Pilihan yang tersisa hanyalah mempercayai adanya sang Pencipta Abadi yang tidak terpengaruh oleh entropi atau pun pembusukan. Ajaibnya hal ini merupakan konklusi tak terelakkan yang ditarik oleh Aristoteles dua ribu empat ratus tahun yang lalu sebelum masa kita. Konklusi itu tetap valid pada saat ini sebagaimana juga pada waktu itu.
Profesor Edward Kessel, Rektor dari Universitas San Fransisco mengungkapkan dalam bukunya Lets Look at Facts, Without Bent or Bias (1968) bahwa:
 Hidup masih berlanjut dan proses kimiawi dan fisika masih terus berjalan, kiranya jelas kalau alam semesta kita ini tidak eksis dari kekekalan. Karena kalau demikian adanya maka alam ini sudah lama kehabisan energinya dan berhenti total.
Karena itu, meski bukan dengan sengaja, ilmu pengetahuan membuktikan kalau alam ini memiliki awal. Dengan cara demikian maka terbuktilah realitas wujud Tuhan, karena segala sesuatu yang mempunyai awal pasti tidak berawal dari dirinya sendiri dan menuntut adanya wujud Penggerak Utama, sang Pencipta, Tuhan
.’
 
Apa pun yang tersisa pada akhirnya akan dihabiskan oleh entropi. Hal seperti itu akan terjadi, karena jika tidak ada sosok Pencipta maka tidak akan ada awal dari alam semesta yang bisa divisualisasikan. Jika memang tidak ada awalnya, tentunya hal itu bisa dianggap bersifat kekal.
Namun faktor-faktor yang dikemukakan di atas pasti telah menihilkannya sama sekali. Setiap benda yang bersifat terbatas pasti mempunyai akhir, untuk kemudian lenyap ke sumur ketiadaan tanpa dasar.
Jika demikian adanya, maka tidak ada justifikasi bagi eksistensi apa pun yang ada sekarang. Bagaimana mungkin kita menghindari tangan entropi yang tidak mengecualikan siapa pun? Kalau sudah dinihilkan, bagaimana mungkin muncul kembali dari ketiadaan tanpa batas?
Hanya sang Pencipta yang Maha Kekal saja yang tidak mungkin tersentuh oleh entropi. Bentuk eksistensi-Nya pasti berbeda sama sekali dari segala sesuatu yang diciptakan atau akan diciptakan-Nya. Bila ada yang menganggap bahwa Dia menciptakan sesuatu yang sama dengan Wujud-Nya maka eksistensi substansial-Nya tidak lagi bisa dikatakan sebagai kekal.
Karena itu jika kita berbicara tentang  entropi, kita sedang berbicara tentang ciptaan dan bukan tentang sang Pencipta. Apa pun yang diciptakan tidak mungkin mencipta sang Pencipta. Dia adalah Kausa Awal dari segala ciptaan yang terbatas.
 Segala sesuatu yang ada di atas bumi ini akan binasa. Dan yang akan tetap kekal hanyalah wujud Tuhan engkau, Pemilik segala kemegahan dan kemuliaan. (QS.55 Ar-Rahman:27-28) 
Dilema entropi dibanding eksistensi alam semesta ini hanya bisa diatasi dengan solusi yang ditawarkan Al-Quran empat belas abad yang silam. Masalahnya bukan semata hanya tentang alam semesta yang berulang muncul diciptakan dari apa yang tersisa dari alam sebelumnya. Setiap kali alam diciptakan baru oleh sang Pencipta yang sama, Dia juga akan mengakhirinya setelah selesai dengan takdir yang telah ditetapkan atasnya.
Ajaibnya, Al-Quran sudah menyampaikan hal ini di masa ketika umat manusia masih amat jahil. Adalah pernyataan-pernyataan seperti ini yang menggambarkan bagaimana wilayah yang tidak dikenal atau gaib ditransformasikan menjadi sesuatu yang dikenal.
Meski tidak diperhatikan dan tidak dihargai selama lebih dari seribu tahun, tiba-tiba semuanya muncul hidup di tengah zaman modern dari masa eksplorasi dan penemuan ini, seolah-olah memang sudah ada dari dulunya.
Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel yang ditulis Dedy Ibmar berjudul:Ruang adalah Tuhan yang Sebenarnya.

Post a Comment

0 Comments