Contoh Teladan Nabi Muhammad, Cara Menghentikan Terorisme dan Ekstremisme

Qasim Rashid

Tulisan ini adalah tanggapan untuk tulisan dari Fathima Imra Nazeer, yang berjudul To Prevent Another Charlie Hebdo, Reconsider the Example of Mohammed yang menyatakan bahwa serangan para ekstremisme Islam disebabkan karena memang di dalam Al-Qur'an ataupun Hadist Nabi Muhammad saw terdapat contoh untuk membunuh para pelaku penghujatan atau penghinaan terhadap Islam atau Nabi Muhammad saw. Lebih lanjut ia menyimpulkan bahwa menyebut Nabi Muhammad saw sebagai contoh yang sempurna, tanpa penelitian dan kritik adalah hal yang bodoh dan membahayakan. 

Adalah hal yang sangat penting, umat manusia harus tetap bersatu untuk melawan segala bentuk ekstremisme dengan pendidikan, kasih sayang, dan keadilan.

Teladan Nabi Muhammad telah menunjukkan bagaimana kita bisa mengatasi terorisme secara damai. Sayangnya, dunia yang masih belum pulih oleh serangan mengerikan di Perancis yang mengakibatkan tewasnya dua belas orang, kelompok anti agama menggunakan kesempatannya melanjutkan serangan anti Islam mereka. Salah satunya adalah blogger HuffPost Fathima Imra Nazeer.

Contoh nabi Muhammad
Nazeer menuduh bahwa para ekstremis mendapatkan justifikasi kekerasan mereka dari contoh Nabi Muhammad sendiri. Ia membeberkan tiga alasan untuk mendukung tuduhannya tersebut. Sayangnya, setiap tuduhannya tersebut tanpa didasari logika, alasan, dan fakta.

Berikut tuduhannya:

Tuduhan 1: "Pertama, hukum Syariah yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis telah menetapkan hukuman mati terhadap penghujatan/penghinaan agama."

Nazeer dapat menganggap ini sebagai tantangan terbuka baginya untuk menunjukkan di bagian mana di dalam Al Qur'an yang menetapkan hukuman mati untuk pelaku penghinaan agama.

Seperti yang saya rinci dalam tulisan saya Islam mendukung kebebasan berbicara (USA Today op-ed,) Al-Qur'an tidak pernah menyebutkan tentang hukuman dunia apapun terhadap penghujatan – apalagi hukuman mati. Muslim diberitahu untuk mengabaikan penghinaan atau berbagai ejekan.

Nazeer dengan mudahnya menyensor para pembacanya bahwa hadits selalu tunduk dibawah Al-Qur'an, sehingga tidak akan pernah dapat dijadikan sebagai pilihlan utama dibandingkan Al-Qur'an. Bagaimanapun, Nazeer dapat bebas menunjukkan hadits-hadits yang dianggap mendukung ajaran Al-Qur'an tentang hukuman mati terhadap penghujatan, tetapi dia harus memperhatikan hal tersebut. Para ulama telah banyak menulis buku-buku dan artikel untuk membongkar mitos barbar ini. Nazeer harus meluangkan waktunya membaca karya-karya para ahli tersebut, bukannya mencoba untuk membenarkan ideologi teroris.

Fun Fact : Kata pemfitnahan (blasphemy) tidak ditemukan dalam Al-Qur'an.

Tuduhan ke-2: "Kedua, meskipun Al-Quran secara eksplisit tidak menetapkan untuk membunuh para pelaku penghujatan, tetapi Al-Quran mendorong pembunuhan terhadap "orang-orang yang menebarkan kejahatan" terhadap Allah dan Nabi Muhammad…. mereka yang menganggap ayat-ayat ini dengan serius telah melakukan banyak kesalahan."

Sebagai catatan, setiap Muslim yang saya kenal,  melihat ayat ini dengan sungguh-sungguh seperti yang kita lakukan untuk semua ayat Al-Qur'an - dan saya menganggap ini sebagai cara yang efektif untuk menghindari kejahatan, bukan menciptakannya. Syukurlah, sekarang Nazeer telah mengakui bahwa Al-Qur'an tidak menyebut hukuman pembunuhan terhadap para penghujat. Namun kemudian ia mengklaim bahwa hadits telah mengajarkan pembunuhan untuk penghujatan. Saya akan menunjukkan bahwa hadits tidak mendukung klaim Nazeer tersebut.

Ayat yang dikutip oleh Nazeer adalah Al-Qur'an 5:33:

"Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah swt. dan Rasul-Nya dan berdaya upaya mengadakan kekacauan di bumi ini ialah mereka dibunuh atau disalib atau pun di potong tangan dan kaki mereka disebabkan oleh permusuhan mereka, atau mereka diusir dari negeri. Hal demikian adalah penghinaan bagi mereka di dunia ini; dan di akhirat pun mereka akan mendapat azab yang besar."

Nazeer mengklaim, tanpa alasan ataupun pembenaran apapun lagi, ayat ini telah mengizinkan untuk mendefinisikan kartun yang melecehkan tersebut sebagai "menebarkan kejahatan."  Selain definisi yang tidak mendasar ini, Nazeer melakukan tiga kesalahan besar.

Pertama, Nazeer mengabaikan latar belakang di balik ajaran ini. Hukuman ini bukan sebagai respon terhadap penghinaan atau pemfitnahan, tetapi sebagai respon terhadap pembunuhan. Dalam ayat-ayat sebelum 5:32, Al-Qur'an menceritakan kisah "dua anak-anak Adam," Kain dan Habil.

Dalam Al-Qur'an 5:28, Habil berkata kepada saudaranya Kain, si pelaku kejahatan:

“Jika engkau menjangkaukan tangan engkau terhadapku untuk membunuhku, aku tidak akan menjangkau tanganku terhadap engkau untuk membunuh engkau. Sesungguhnya, aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam.”

Al-Qur'an 5:30 kemudian menambahkan mengenai Kain,

"Tetapi nafsunya telah membujuknya supaya membunuh saudaranya. Maka ia membunuhnya dan ia menjadi di antara orang-orang yang merugi."

Meskipun Habil menolak untuk melawan, Kain  tetap membunuhnya, sehingga melakukan kejahatan. Hal ini sangat jauh dibandingkan dengan kelompok ekstrimis yang secara proaktif membunuh kartunis yang jelas-jelas tidak membahayakan mereka.

Kedua, Nazeer mengabaikan ayat sesudah 5:32, yaitu surah 5:33 yang menyatakan, "Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu berkuasa atas mereka. Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Pengampun Maha Penyayang." Jadi bahkan jika seseorang melakukan kejahatan, yaitu pembunuhan dan melakukan peperangan, jika mereka menyerah dan bertobat dari tindakan mereka maka Al-Qur'an mendorong melakukan pengampunan dan belas kasihan.

Dan yang ketiga, Nazeer menghilangkan fakta tersirat dalam Surah 5:33. Hanya kekuasaan yang berdaulat - bukan individu - yang dapat menghukum seseorang tawanan perang atau melakukan pembunuhan. Hal ini yang Nabi Muhammad contohkan pada negara berdaulat seperti pada Piagam Madinah.  Dalam konstitusi sekuler ini orang-orang Yahudi dan Muslim bersekutu menjadi salah satu negara kesatuan Madinah dan dijamin kebebasan beragama untuk semua orang tanpa memandang agama.

Para ekstremis yang melakukan serangan teror di Paris, mereka bukanlah termasuk orang yang dibunuh (seperti Habil), tidak juga sedang dikejar oleh siapapun yang mencoba untuk membunuh mereka (seperti orang-orang Muslim ketika mereka mengungsi dari Mekah), dan tentu saja mereka bukan negara berdaulat yang memegang otoritas (seperti orang-orang Yahudi dan Muslim di Madinah).

Secara harfiah tidak ada di dalam Surah 5:32 yang mengizinkan tindakan barbar mereka.

Nazeer, seperti para teroris, menolak untuk membaca Al-Qur'an secara keseluruhan dan terlalu picik untuk memenuhi praduga. Tindakan seperti itu adalah kejahatan bagi  Al Qur'an - atau hukum apapun – yang harus dibaca, dan itu adalah kejahatan bagi akal sehat. Tidak ada dalam Surah 5:32 yang membenarkan klaim Nazeer bahwa kartun pelecehan tersebut sama dengan kejahatan.  Contoh yang jelas telah Allah terangkan dalam Al Qur'an yaitu Kain membunuh Habil. Artinya, Al-Qur'an mendefinisikan kejahatan seperti pembunuhan berencana - bukan penghujatan/penghinaan.

Fun Fact: Seperti halnya Taurat, Al-Qur'an menyamakan orang yang membunuh satu orang seolah-olah telah membunuh seluruh umat manusia, dan siapa yang menyelamatkan satu nyawa seolah-olah sama dengan menolong semua umat manusia. Dengan demikian, seorang karyawan Muslim Lassana Bathily, yang menyelamatkan orang-orang Yahudi dari teroris di Kosher deli, telah menggenapi kabar suka dari Talmud dan Al-Qur'an telah menyelamatkan seluruh umat manusia.

Tuduhan 3: "Ketiga, banyak Hadits yang meriwayatkan tentang kejadian di mana NAbi Muhammad saw memerintahkan pembunuhan orang-orang yang menghinanya."

Klaim Nazeer sama sekali tidak benar, dan akan saya jelaskan.

Tapi sekarang, kita anggap saja bahwa argumen Nazeer benar. Saya sudah jelaskan bahwa dalam hukum dasar Islam, Al-Qur'an berada diatas hadits yang bertentangan dengan Al-Qur'an. Ini bukan pendapat pribadi saya.

Nabi Muhammad saw sendiri memperingatkan,

"Setiap kali sebuah hadis yang diberikan kepadamu yang mengatasnamakanku, maka bandingkanlah dengan Al-Qur'an. Jika sesuai dengan Al-Qur'an, terimalah, dan jika bertentangan, buanglah." [1]

Demikian juga,

"Tidak diragukan bahwa, akan ada hadits yang muncul setelah saya yang menyatakan bahwa saya yang mengatakannya. Jadi, kamu harus menguji hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Jika itu sesuai dengan Al-Qur'an terimalah, jika tidak tolaklah. "[2]

Demikian Salama meriwayatkan: "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa (sengaja) mengatakan apa yang  tidak saya katakan (pasti) dia menempati tempat duduknya di neraka." "[3]

Dengan demikian, setiap hadis yang bertentangan dengan Al-Qur'an harus ditolak. Oleh karena di dalam Al-Qur'an telah tegas mengatakan bahwa tidak ada hukuman apapun terhadap pemfitnahan/penghujatan, maka setiap hadits yang bertentangan dengan itu harus ditolak.

Fun Fact: Sebagian besar Hadits ditulis 100-300 tahun setelah Nabi Muhammad saw.

Tidak bisa dipungkiri, kenyataan bahwa tidak ada hadits yang menunjukkan Nabi Muhammad saw telah membunuh siapa pun, atau telah ada yang dibunuh oleh orang lain atas kejahatan pemfitnahan/penghujatan. Tetapi hebatnya, Nazeer mengutip riwayat dari Asma binti Marwan sebagai contoh di mana Nabi Muhammad saw diduga telah membunuh seseorang karena menghujat - tetapi dia mengutipnya sambil mengakui, "... para ulama modern mempertanyakan kebenaran riwayat tersebut."

Tidak hanya ulama modern, namun ulama awwalain dan klasik juga membuang kisah ini karena tidak masuk akal. Saya sampaikan kutipan dari  buku saya "EXTREMIST" di mana saya menganalisis tuduhan tak berdasar ini secara rinci.

Ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini kira-kira satu abad setelah kewafatan Nabi Muhammad saw. Sebelum Ibnu Ishaq, Ibnu Sa'ad dan Sunan Abu Dawud juga telah meriwayatkan peristiwa ini. Tidak ada satupun yang menyebutkan atau bahkan menyiratkan bahwa seorang sahabat (dalam hal ini Umair bin Adi) telah membunuh seorang penyair atas perintah Nabi Muhammad saw. Juga tidak disebutkan bahwa Nabi Muhammad memberi perintah semacam itu- tetapi entah bagaimana Ibnu Ishaq membuat kesimpulan yang fantastis ini seabad kemudian.

Di antara para sejarawan yang disebutkan oleh Ibn-e-Ishaq berkaitan dengan kejadian ini, dua nama yang terkenal: Ikrama Maula Ibnu Abaad dan Muhammad bin Al Hujaaj. Dalam sejarah, Ikrama telah dikenal sebagai seorang pendusta dalam penyampaian hadits. Sebagai contoh, ketika menasehati pelayannya, seorang ulama terkenal Sa'id bin Al Musayyab mengatakan: "Jangan menghubungkan ucapan yang tidak benar kepada saya, seperti cara Ikrama menghubungkan ucapan tidak benar terhadap Ibnu Abbas." [4]

Demikian juga, Muhammad Ibn Al-Hajjaj juga dianggap tidak jujur dalam menyampaikan peristiwa sejarah Islam. Malah Imam Jozi mengutip Ibnu Adi mengenai peristiwa tentang Asma binti Marwan ini dengan mengatakan bahwa ini tidak benar dan Muhammad bin Al-Hujjaj telah mengarang-ngarang hadits tersebut. [5]

Setiap peneliti  yang berpikiran adil akan membuang cerita-cerita yang penuh dengan ketidakakuratan dan pemalsuan sejarah, dan menerima dua cerita yang saling melengkapi.

Kesimpulan

Saya setuju dengan Nazeer pada satu poin penting- undang-undang penghujatan harus ditiadakan. Secara pribadi saya telah menyampaikan ceramah yang tak terhitung jumlahnya, dan dua buku yang mengutuk undang-undang penghujatan. Undang-undang tersebut tidak memiliki tempat di dunia yang beradab - belum lagi Islam mengutuk undang-undang tersebut.

Dan, sebagaimana Islam dan Nabi Muhammad tidak luput dari kritik, begitupula dengan Nazeer. Dengan demikian maka artikelnya yang tidak akurat harus dibantah. Disamping tidak akurat, juga merupakan penghinaan yang lebih dalam. Bukannya aktif mendukung Muslim yang mengutuk teroris, Nazeer mencoba memberi tempat bagi kelompok teroris seperti ISIS, Taliban, dan Al-Qaeda. Saya mohon dia untuk menggunakan logika, perasaan kasih sayang, dan fakta yang bukan dari pandang anti-teis. Pendekatan logis yang berdasarkan fakta akan mendorong pemahaman yang lebih baik dan paling efektif untuk melawan ideologi ekstremis.

Nabi Muhammad  saw telah mencontohkan bahwa belas kasih, kebebasan beragama yang universal, dan pendidikan merupakan metode terbaik untuk mencegah serangan lain seperti serangan terhadap Charlie Hebdo. Serangan tersebut terjadi karena ketidaktahuan terhadap contoh Nabi Muhammad saw dalam hal keadilan dan kasih sayang. Dan Nabi Muhammad saw dengan tegas bersabda bahwa, "Obat ketidaktahuan adalah bertanya”. Eksisnya kelompok ekstrimis adalah karena mereka tidak belajar dan tidak mau bertanya, tapi percaya kepada ulama-ulama yang buruk secara membuta. Jalan menuju pengetahuan dan perdamaian datang dari mempelajari kehidupan Nabi Muhammad dengan pendidikan dan kejujuran.

Kita memiliki perjalanan panjang di depan kita, tetapi kita bisa bekerjasama untuk pendidikan, kebebasan beragama yang universal, dan perdamaian serta masa depan yang lebih toleran.


Note: 
Qasim Rashid adalah Juru Bicara Nasional Jamaah Muslim Ahmadiyah USA, seorang penulis buku Best Seller #1 Amazon yang berjudul EXTREMIST, dan buku the Wrong Kind of Muslim yang menerima Kirkus Star dan terpilih sebagai Top 100 Buku Indie 2013 versi Kirkus. 


Referensi:
1. Al-Tibiyan wat Tabayyen, vol. 2, 28.
2. Sanan Dar Qatni, vol. 2, 513, Book - Imrani Abee Musa, Matba Farooqi.
3. Sahih Jami' Bukhari, vol. 1, Book 3, #109.
4. Al Marefat Wal Tareekh LeAbi Yousuf Yaqoob Baab Ikrama Mola Ibn Abbas.
5. Al Halal Wal Mutanahiyya, vol. 1, 175.



Sumber:
http://www.huffingtonpost.com/qasim-rashid/prophet-muhammads-example_b_6467386.html
Terjemah: Bushra Nadia
Editor: Nurul & Jusman

Post a Comment

2 Comments